Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengungkapkan fakta menarik terkait keikutsertaan Warga Negara Asing (WNA) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Data menunjukkan bahwa iuran yang dikumpulkan dari WNA peserta JKN justru lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk pelayanan kesehatan mereka. Hal ini disampaikan dalam acara temu media di Surakarta, Jawa Tengah, pada Selasa, 16 September 2025. Ghufron mencontohkan, di Bali, pengeluaran BPJS untuk pengobatan WNA bahkan tidak mencapai Rp 1 miliar per tahun.
"Yang menarik iuran yang dikumpulkan dari semua ini, masih lebih banyak dari yang kita keluarkan untuk mengobati atau pelayanan kesehatan bagi 124 ribu orang asing ini," ujar Ghufron. Pernyataan ini seolah menepis keraguan atau pertanyaan yang mungkin muncul di benak masyarakat mengenai keberadaan WNA dalam sistem JKN.
"Di Bali itu tidak sampai Rp 1 miliar, per bulan, dengan 15 ribu orang pendudukan asing," lanjutnya. Angka ini memberikan gambaran yang lebih konkret mengenai proporsi biaya yang dikeluarkan untuk WNA peserta JKN di salah satu destinasi wisata populer Indonesia.
Penjelasan ini menjadi penting untuk meluruskan persepsi yang mungkin berkembang di masyarakat. Kehadiran WNA sebagai peserta JKN bukanlah sebuah anomali atau celah yang dieksploitasi, melainkan sebuah kewajiban yang diatur oleh undang-undang.
Ghufron menegaskan bahwa WNA yang bekerja secara formal di Indonesia selama minimal 6 bulan wajib menjadi anggota JKN. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), khususnya pasal 14. Pasal tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta JKN, termasuk WNA yang bekerja di Indonesia selama minimal 6 bulan.
"Adalah sebuah kewajiban menurut UU No 24 tahun 2011, tentang BPJS, terutama di pasal 14 yang menyebutkan bahwa tidak saja semua orang wajib menjadi peserta, termasuk orang asing yang bekerja paling tidak 6 bulan, dan ini umumnya yang dimaksud adalah bukan wisatawan, tapi pekerja di sektor formal ya, bukan informal," jelas Ghufron.
Penting untuk digarisbawahi bahwa WNA yang menjadi peserta JKN bukanlah wisatawan yang memanfaatkan fasilitas kesehatan secara gratis. Mereka adalah pekerja formal yang memberikan kontribusi ekonomi bagi Indonesia dan memiliki kewajiban untuk mengikuti program jaminan sosial yang berlaku.
"Iya ini termasuk pekerja penerima upah atau PPU ya. Jadi seperti PPU pada umumnya," tandasnya. Ini berarti WNA yang terdaftar sebagai peserta JKN diperlakukan sama seperti pekerja Indonesia lainnya yang menerima upah. Mereka membayar iuran JKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama.
Lebih lanjut, Ghufron menjelaskan bahwa WNA yang terdaftar sebagai peserta JKN tidak hanya berada di Bali. Mereka tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Jakarta, Yogyakarta, dan Sulawesi. Hal ini menunjukkan bahwa keikutsertaan WNA dalam program JKN merupakan fenomena nasional, bukan hanya terjadi di daerah-daerah tertentu.
Sektor pekerjaan yang digeluti oleh WNA peserta JKN juga beragam, mulai dari pertambangan, perhotelan, hingga sektor-sektor lainnya. Keberagaman ini mencerminkan kontribusi WNA dalam berbagai bidang ekonomi di Indonesia.
Keikutsertaan WNA dalam program JKN juga memiliki dampak positif bagi keberlangsungan program itu sendiri. Dengan jumlah peserta yang semakin banyak, termasuk WNA, dana yang terkumpul akan semakin besar. Hal ini akan membantu BPJS Kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan merata bagi seluruh peserta, termasuk WNI.
Selain itu, keikutsertaan WNA dalam program JKN juga dapat meningkatkan citra Indonesia di mata dunia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang inklusif dan memberikan perlindungan sosial bagi seluruh pekerja, tanpa memandang kewarganegaraan.
Namun demikian, perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap keikutsertaan WNA dalam program JKN. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kecurangan yang dapat merugikan program JKN. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan memperketat proses pendaftaran dan verifikasi data WNA peserta JKN.
Selain itu, perlu adanya sosialisasi yang lebih luas mengenai aturan dan ketentuan yang berlaku bagi WNA peserta JKN. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa WNA memahami hak dan kewajiban mereka sebagai peserta JKN.
Dengan pengawasan yang ketat dan sosialisasi yang efektif, keikutsertaan WNA dalam program JKN dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh pihak, baik bagi BPJS Kesehatan, WNA peserta JKN, maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Keberadaan WNA dalam sistem JKN bukanlah sebuah masalah, melainkan sebuah realitas yang harus dikelola dengan baik. Dengan pengelolaan yang tepat, keikutsertaan WNA dalam program JKN dapat menjadi kontribusi positif bagi pembangunan kesehatan di Indonesia.
Pernyataan Ali Ghufron Mukti ini menjadi angin segar di tengah berbagai isu yang kerap menerpa BPJS Kesehatan. Dengan transparansi dan penjelasan yang detail, diharapkan masyarakat dapat memahami bahwa keikutsertaan WNA dalam JKN adalah legal dan memberikan manfaat bagi keberlangsungan program jaminan sosial ini.
Lebih lanjut, data yang disampaikan oleh Ghufron juga membuktikan bahwa program JKN tidak hanya menguntungkan WNI, tetapi juga memberikan manfaat bagi WNA yang bekerja dan berkontribusi di Indonesia. Hal ini sekaligus menegaskan komitmen pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan sosial bagi seluruh pekerja, tanpa memandang asal negara.
Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa keikutsertaan WNA dalam JKN tidak disalahgunakan dan memberikan dampak positif yang maksimal bagi sistem kesehatan Indonesia. Perlu adanya koordinasi yang baik antara BPJS Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan instansi terkait lainnya untuk memastikan bahwa seluruh WNA yang bekerja di Indonesia terdaftar sebagai peserta JKN dan membayar iuran sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, perlu adanya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan bagi seluruh peserta JKN, termasuk WNA. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, meningkatkan kompetensi tenaga medis, dan menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai.
Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan program JKN dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh peserta, baik WNI maupun WNA, dan berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Keberadaan WNA sebagai peserta JKN juga menjadi indikator bahwa Indonesia semakin terbuka dan ramah terhadap tenaga kerja asing yang berkualitas. Hal ini dapat menarik lebih banyak investasi dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia.
Namun, perlu diingat bahwa kehadiran tenaga kerja asing juga harus diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pemerintah perlu berinvestasi dalam pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja Indonesia agar dapat bersaing dengan tenaga kerja asing.
Dengan demikian, keikutsertaan WNA dalam program JKN dapat menjadi bagian dari strategi pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Program ini tidak hanya memberikan perlindungan sosial bagi pekerja asing, tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Sebagai penutup, penjelasan dari Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, mengenai keikutsertaan WNA dalam program JKN memberikan gambaran yang lebih jelas dan komprehensif mengenai isu ini. Dengan data dan fakta yang disampaikan, diharapkan masyarakat dapat memahami bahwa keikutsertaan WNA dalam JKN adalah legal, memberikan manfaat, dan merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam memberikan perlindungan sosial bagi seluruh pekerja.
Penting untuk terus mengawal dan mengawasi pelaksanaan program JKN agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh peserta dan berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.