Polemik udang beku asal Indonesia yang sempat menghebohkan pasar Amerika Serikat (AS) akhirnya menemukan titik terang. Pemerintah Indonesia melalui Badan Karantina Indonesia (Barantin) telah mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan bahwa udang beku tersebut aman untuk dikonsumsi. Pernyataan ini didasarkan pada hasil uji laboratorium komprehensif yang dilakukan terhadap 18 kontainer udang yang telah direimpor kembali ke Tanah Air. Drama Panca Putra, Deputi Bidang Karantina Ikan Barantin, secara langsung menyerahkan sertifikat pelepasan kepada pemilik udang di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, pada Rabu, 17 September 2025, sebagai bentuk jaminan keamanan produk.
Namun, di balik pernyataan aman dan proses pelepasan udang beku ini, terdapat serangkaian temuan penting yang perlu diungkapkan. Temuan-temuan ini tidak hanya memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai duduk perkara sebenarnya, tetapi juga menyoroti berbagai aspek penting terkait sistem pengawasan dan keamanan pangan Indonesia, serta implikasinya terhadap kepercayaan pasar ekspor.
1. Penolakan Awal dan Indikasi Cemaran Radioaktif Cs-137:
Kasus ini bermula dari penolakan yang dilakukan oleh otoritas AS terhadap lima kontainer udang vaname asal Indonesia. Penolakan tersebut didasarkan pada indikasi adanya paparan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) yang terdeteksi melalui sistem Import Alert 99-51 pada 14 Agustus 2025. Cs-137 merupakan isotop radioaktif yang dihasilkan dari fisi nuklir, dan paparan terhadap zat ini dapat menimbulkan risiko kesehatan yang serius.
Penolakan ini menjadi pemicu penarikan kembali (reimpor) terhadap seluruh 387 kontainer udang vaname yang diekspor ke AS pada periode Juni hingga Agustus 2025. PT BMS, selaku eksportir, bertanggung jawab untuk melakukan reimpor seluruh kontainer tersebut, termasuk 18 kontainer yang telah tiba lebih dulu di Pelabuhan Tanjung Priok.
Indikasi adanya cemaran radioaktif Cs-137 pada udang beku ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran yang besar di kalangan masyarakat, terutama konsumen. Pertanyaan mengenai sumber kontaminasi, potensi risiko kesehatan, dan efektivitas sistem pengawasan pangan pun bermunculan.
2. Proses Pemeriksaan Ketat dan Hasil Uji Laboratorium yang Aman:
Menanggapi kasus ini, Barantin bersama dengan sejumlah instansi terkait, seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan Bea Cukai, melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan ketat terhadap udang beku yang direimpor. Proses pemeriksaan ini meliputi tindakan karantina, pengambilan sampel, dan uji laboratorium yang komprehensif.
Uji laboratorium dilakukan untuk mendeteksi keberadaan dan kadar radioaktif Cs-137 pada sampel udang. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa tidak ditemukan radiasi berbahaya pada udang beku tersebut. Hasil pengukuran berada di bawah ambang batas normal (±9.500 cps), yang mengindikasikan bahwa udang tersebut aman dari paparan radioaktif yang signifikan.
Hasil uji laboratorium ini menjadi dasar bagi Barantin untuk mengeluarkan sertifikat pelepasan dan menyatakan bahwa udang beku tersebut aman dan layak dikonsumsi. Meskipun demikian, proses pemeriksaan ketat tetap dilakukan terhadap kontainer udang lainnya yang masih dalam perjalanan menuju Indonesia.
3. Pentingnya Kerjasama Antar-Instansi dalam Pengawasan Pangan:
Kasus udang beku ini menjadi bukti nyata pentingnya kerjasama dan koordinasi antar-instansi pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penjaminan keamanan pangan. Keterlibatan Barantin, BRIN, Bapeten, BPOM, dan Bea Cukai menunjukkan bahwa pemerintah serius dalam menangani isu ini dan berupaya untuk memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat dan pasar ekspor.
Setiap instansi memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing dalam proses pengawasan ini. Barantin bertanggung jawab atas tindakan karantina dan pengambilan sampel. BRIN memiliki keahlian dalam melakukan analisis dan pengukuran radioaktivitas. Bapeten bertugas untuk memastikan keselamatan nuklir dan radiasi. BPOM berperan dalam pengawasan keamanan pangan secara keseluruhan. Bea Cukai bertanggung jawab atas pengawasan lalu lintas barang impor dan ekspor.
Kerjasama yang solid antar-instansi ini memungkinkan dilakukannya pemeriksaan yang komprehensif dan akurat, sehingga dapat memberikan hasil yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Penguatan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan:
Kasus udang beku ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan penguatan terhadap sistem jaminan mutu dan keamanan pangan Indonesia. Pemerintah perlu memastikan bahwa sistem pengawasan pangan yang ada sudah memadai untuk mendeteksi potensi bahaya dan mencegah produk yang tidak aman beredar di pasar.
Beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain:
- Peningkatan kapasitas laboratorium: Laboratorium pengujian pangan perlu dilengkapi dengan peralatan yang canggih dan tenaga ahli yang kompeten agar dapat melakukan analisis yang akurat dan cepat.
- Pengembangan sistem pelacakan (traceability): Sistem pelacakan yang efektif memungkinkan untuk melacak asal-usul produk pangan dan mengidentifikasi potensi sumber kontaminasi.
- Peningkatan pengawasan di tingkat produksi: Pengawasan yang ketat perlu dilakukan di tingkat produksi, mulai dari budidaya hingga pengolahan, untuk memastikan bahwa produk pangan diproduksi sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
- Peningkatan kesadaran pelaku usaha: Pelaku usaha perlu diberikan edukasi dan pelatihan mengenai pentingnya keamanan pangan dan cara memproduksi produk pangan yang aman.
- Harmonisasi regulasi: Regulasi terkait keamanan pangan perlu diharmonisasi dengan standar internasional agar produk pangan Indonesia dapat diterima di pasar global.
5. Menjaga Kepercayaan Pasar Ekspor dan Citra Indonesia:
Kasus udang beku ini dapat berdampak negatif terhadap kepercayaan pasar ekspor terhadap produk perikanan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah yang proaktif untuk menjaga kepercayaan pasar dan memulihkan citra Indonesia sebagai negara yang bertanggung jawab dalam perdagangan pangan global.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Transparansi dan akuntabilitas: Pemerintah perlu memberikan informasi yang transparan dan akuntabel mengenai kasus ini kepada masyarakat dan pasar ekspor.
- Komunikasi yang efektif: Pemerintah perlu menjalin komunikasi yang efektif dengan otoritas negara pengimpor untuk memberikan jaminan bahwa produk perikanan Indonesia aman dan memenuhi standar yang berlaku.
- Promosi produk perikanan Indonesia: Pemerintah perlu melakukan promosi produk perikanan Indonesia di pasar internasional untuk meningkatkan citra dan daya saing produk.
- Peningkatan daya saing: Pemerintah perlu meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia melalui peningkatan kualitas, efisiensi produksi, dan inovasi.
Antisipasi Kontainer Lain dan Pemusnahan Produk Tercemar:
Meskipun hasil uji laboratorium terhadap 18 kontainer udang beku dinyatakan aman, pemerintah tetap melakukan antisipasi terhadap 366 kontainer udang lainnya yang akan tiba secara bertahap hingga Oktober 2025. Termasuk di dalamnya adalah lima kontainer yang berstatus suspect Cs-137.
Jika hasil uji laboratorium terhadap kontainer-kontainer tersebut menunjukkan adanya cemaran radioaktif, maka produk tersebut akan dimusnahkan di insinerator radioaktif Bapeten. Namun, jika aman, udang akan dilepas setelah lulus uji mutu dan keamanan.
Kesimpulan:
Kasus udang beku yang diduga tercemar radioaktif ini menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Kasus ini menyoroti pentingnya sistem pengawasan dan jaminan mutu pangan yang kuat, kerjasama antar-instansi yang solid, dan upaya proaktif untuk menjaga kepercayaan pasar ekspor.
Pemerintah perlu terus berupaya untuk meningkatkan sistem pengawasan pangan, memperkuat kerjasama antar-instansi, dan menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus-kasus keamanan pangan. Dengan demikian, Indonesia dapat memastikan bahwa produk pangan yang beredar di pasar aman untuk dikonsumsi dan dapat bersaing di pasar global. Keamanan pangan nasional harus tetap menjadi prioritas utama, sekaligus bagian dari upaya menjaga citra Indonesia sebagai negara yang bertanggung jawab dalam perdagangan pangan global. Polemik ini juga memberikan gambaran bahwa konsumen harus lebih cerdas dalam memilih produk makanan, dan pemerintah harus hadir untuk memberikan jaminan keamanan dan kualitas produk yang beredar.