5 Tujuan Orang Doyan Flexing di Media Sosial Menurut Para Ahli

  • Maskobus
  • Sep 12, 2025

Fenomena flexing, atau pamer, di media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap digital modern, terutama di kalangan Generasi Z. Lebih dari sekadar unjuk diri, flexing adalah manifestasi kompleks dari kebutuhan psikologis, tekanan sosial, dan dinamika budaya yang mendalam. Para ahli dari berbagai bidang, mulai dari psikologi sosial hingga sosiologi, telah mengupas lapisan-lapisan fenomena ini untuk memahami mengapa orang begitu terdorong untuk memamerkan kekayaan, pencapaian, dan gaya hidup mereka di dunia maya. Artikel ini akan mengulas lima tujuan utama di balik perilaku flexing di media sosial, berdasarkan perspektif para ahli, untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena yang sering kali dipandang sebelah mata ini.

1. Validasi Diri dan Pengakuan Sosial: Mencari Pengakuan di Dunia Maya

Salah satu pendorong utama perilaku flexing adalah kebutuhan mendalam akan validasi diri dan pengakuan sosial. Dalam era digital di mana identitas diri sering kali dibentuk dan diukur berdasarkan jumlah likes, komentar, dan pengikut, media sosial menjadi panggung ideal untuk mencari pengakuan. Dengan memamerkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup yang dianggap ideal, seseorang berharap untuk mendapatkan validasi dari orang lain, yang pada gilirannya dapat meningkatkan harga diri dan rasa percaya diri.

Para ahli psikologi sosial berpendapat bahwa manusia secara inheren memiliki kebutuhan untuk merasa diterima dan dihargai oleh orang lain. Flexing menjadi salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan ini, terutama bagi mereka yang merasa kurang aman atau tidak dihargai dalam kehidupan nyata. Dengan memproyeksikan citra diri yang sukses dan menarik, mereka berharap untuk mendapatkan perhatian, kekaguman, dan pengakuan dari orang lain, yang dapat membantu mereka merasa lebih baik tentang diri mereka sendiri.

5 Tujuan Orang Doyan Flexing di Media Sosial Menurut Para Ahli

Namun, validasi yang diperoleh melalui flexing sering kali bersifat sementara dan dangkal. Likes dan komentar positif mungkin memberikan dorongan sesaat, tetapi tidak mengatasi akar masalah ketidakamanan dan rendahnya harga diri. Bahkan, flexing yang berlebihan dapat menjadi bumerang, menyebabkan kecanduan validasi dan ketergantungan pada opini orang lain.

2. Pembentukan Identitas dan Diferensiasi Sosial: Menegaskan Diri di Tengah Keramaian

Selain mencari validasi, flexing juga dapat berfungsi sebagai alat untuk membentuk identitas dan menegaskan perbedaan sosial. Dalam masyarakat yang semakin homogen dan terstandarisasi, flexing menjadi cara untuk menonjolkan diri dari keramaian dan menunjukkan bahwa seseorang memiliki sesuatu yang istimewa atau unik.

Melalui flexing, seseorang dapat mengkomunikasikan nilai-nilai, minat, dan aspirasi mereka kepada orang lain. Misalnya, seseorang yang memamerkan koleksi mobil mewahnya mungkin ingin menunjukkan bahwa ia adalah orang yang sukses, ambisius, dan berorientasi pada status. Seseorang yang memamerkan perjalanan mewahnya ke destinasi eksotis mungkin ingin menunjukkan bahwa ia adalah orang yang berjiwa petualang, berwawasan luas, dan memiliki gaya hidup yang mewah.

Para ahli sosiologi berpendapat bahwa flexing adalah bagian dari proses pembentukan identitas diri. Dalam masyarakat modern, identitas diri tidak lagi ditentukan oleh faktor-faktor tradisional seperti keluarga, agama, atau kelas sosial. Sebaliknya, identitas diri dibentuk melalui konsumsi, gaya hidup, dan ekspresi diri. Flexing menjadi salah satu cara untuk mengkomunikasikan identitas diri kepada orang lain dan untuk menegaskan perbedaan sosial.

Namun, pembentukan identitas melalui flexing dapat menjadi problematis jika didasarkan pada nilai-nilai yang dangkal dan materialistis. Seseorang yang terlalu fokus pada memamerkan kekayaan dan pencapaiannya mungkin kehilangan kontak dengan nilai-nilai yang lebih penting seperti kejujuran, integritas, dan empati.

3. Mendapatkan Status Sosial dan Kekuasaan: Memanjat Tangga Sosial di Dunia Maya

Dalam masyarakat yang kompetitif, status sosial dan kekuasaan sering kali menjadi tujuan yang dicari oleh banyak orang. Flexing dapat menjadi alat untuk meningkatkan status sosial dan mendapatkan kekuasaan di dunia maya. Dengan memamerkan kekayaan, pencapaian, atau koneksi yang dimiliki, seseorang dapat menciptakan kesan bahwa ia adalah orang yang penting, berpengaruh, dan patut dihormati.

Media sosial dapat menjadi arena pertarungan status, di mana orang bersaing untuk mendapatkan perhatian, pengakuan, dan pengaruh. Flexing menjadi salah satu strategi untuk memenangkan pertarungan ini. Seseorang yang memiliki banyak pengikut, likes, dan komentar positif di media sosial dapat dianggap sebagai orang yang lebih populer, berpengaruh, dan memiliki status sosial yang lebih tinggi.

Para ahli ilmu politik berpendapat bahwa flexing dapat dilihat sebagai bentuk kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui simbol-simbol seperti kekayaan, status, dan prestise. Flexing menjadi cara untuk memproyeksikan kekuasaan simbolik dan untuk mempengaruhi opini dan perilaku orang lain.

Namun, mengejar status sosial dan kekuasaan melalui flexing dapat menjadi jalan yang berbahaya. Seseorang yang terlalu fokus pada memanjat tangga sosial di dunia maya mungkin mengorbankan hubungan yang bermakna, nilai-nilai pribadi, dan kesejahteraan mental.

4. Mengatasi Rasa Tidak Aman dan Rendahnya Harga Diri: Menutupi Kekurangan dengan Kemewahan

Ironisnya, flexing sering kali dilakukan oleh orang-orang yang merasa tidak aman dan memiliki harga diri yang rendah. Dalam kasus ini, flexing berfungsi sebagai mekanisme pertahanan untuk menutupi kekurangan dan ketidaksempurnaan yang dirasakan. Dengan memamerkan kekayaan dan pencapaian, seseorang berharap untuk mengkompensasi rasa tidak aman dan untuk meningkatkan harga diri mereka.

Para ahli psikologi klinis berpendapat bahwa flexing dapat menjadi tanda-tanda masalah psikologis yang lebih dalam seperti narsisme, gangguan kepribadian ambang, atau depresi. Seseorang yang memiliki masalah-masalah ini mungkin menggunakan flexing sebagai cara untuk mengatasi perasaan hampa, tidak berharga, dan tidak dicintai.

Namun, flexing tidak dapat mengatasi masalah-masalah psikologis yang mendalam. Sebaliknya, flexing dapat memperburuk masalah-masalah ini dengan menciptakan ketergantungan pada validasi eksternal dan dengan mengisolasi seseorang dari hubungan yang bermakna.

5. Pengaruh Budaya dan Tekanan Sosial: Mengikuti Arus Konsumerisme dan Hedonisme

Terakhir, flexing juga dipengaruhi oleh budaya dan tekanan sosial. Dalam masyarakat yang didorong oleh konsumerisme dan hedonisme, flexing menjadi norma yang diterima dan bahkan diharapkan. Media sosial memperkuat norma ini dengan menampilkan gambar-gambar ideal tentang kekayaan, kesuksesan, dan kebahagiaan.

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) juga memainkan peran penting dalam mendorong perilaku flexing. Orang merasa takut ketinggalan tren dan merasa perlu untuk ikut serta dalam gaya hidup mewah dan konsumtif yang ditampilkan di media sosial.

Para ahli antropologi berpendapat bahwa flexing adalah bagian dari budaya konsumsi modern. Dalam budaya ini, identitas diri dan status sosial sering kali ditentukan oleh apa yang kita miliki dan apa yang kita konsumsi. Flexing menjadi cara untuk mengkomunikasikan identitas diri dan status sosial melalui simbol-simbol konsumsi.

Namun, mengikuti arus konsumerisme dan hedonisme dapat memiliki konsekuensi negatif bagi kesejahteraan individu dan masyarakat. Konsumsi yang berlebihan dapat menyebabkan masalah keuangan, stres, dan kerusakan lingkungan. Flexing dapat memperburuk masalah-masalah ini dengan mempromosikan nilai-nilai materialistis dan dengan menciptakan tekanan sosial untuk terus-menerus membeli dan memamerkan barang-barang baru.

Sebagai kesimpulan, flexing di media sosial adalah fenomena kompleks yang didorong oleh berbagai faktor psikologis, sosial, dan budaya. Memahami tujuan-tujuan di balik perilaku flexing dapat membantu kita untuk lebih memahami diri kita sendiri dan orang lain, serta untuk mengembangkan pendekatan yang lebih sehat dan seimbang terhadap media sosial dan konsumsi. Penting untuk diingat bahwa validasi diri sejati berasal dari dalam, bukan dari likes dan komentar di media sosial. Fokuslah pada membangun hubungan yang bermakna, mengembangkan nilai-nilai pribadi, dan berkontribusi positif kepada masyarakat. Dengan melakukan hal itu, kita dapat menghindari jebakan flexing dan menjalani kehidupan yang lebih autentik dan memuaskan.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :