Di tengah hiruk pikuk perkembangan teknologi satelit global, seorang tokoh visioner dari Indonesia, Adi Rahman Adiwoso, telah menorehkan tinta emas dalam sejarah konektivitas nasional. Sebagai CEO PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Adi Adiwoso kerap dijuluki sebagai "Bapak Satelit Indonesia," sebuah penghargaan yang diberikan oleh banyak pihak, termasuk mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) sekaligus Ketua Dewan Pembina Asosiasi Antariksa Indonesia (ARIKSA), Rudiantara, atas kontribusinya yang signifikan dalam membangun infrastruktur komunikasi melalui satelit. Namun, pria berusia 72 tahun ini menyambut julukan tersebut dengan rendah hati dan santai, "Saya cuma menikmati hidup saya," ujarnya, mencerminkan dedikasi dan kecintaannya terhadap pekerjaannya.
Perjalanan hidup Adi Adiwoso adalah kisah keberanian melawan arus. Mulai dari penolakannya terhadap tawaran kewarganegaraan Amerika Serikat hingga pendirian PSN di tengah minimnya regulasi yang mendukung, setiap langkahnya dipenuhi dengan determinasi dan keyakinan yang kuat.
Awal Karier di Negeri Paman Sam
Petualangan Adi dimulai di Purdue University, Amerika Serikat, di mana ia mengambil jurusan Aeronautics dan Astronautics. Ia berhasil menyelesaikan studinya dalam waktu singkat, hanya lima semester, menunjukkan kecerdasan dan dedikasinya dalam bidang yang diminatinya. Setelah lulus, ia mendapatkan kesempatan magang di Hughes Aircraft Company pada tahun 1974, sebuah perusahaan yang memiliki peran penting dalam pembuatan satelit Palapa yang legendaris.
"Waktu itu saya kedinginan di Amerika, tapi semangat belajar besar," kenangnya, menggambarkan semangatnya yang membara untuk menimba ilmu dan pengalaman di negara adidaya tersebut.
Kesempatan emas datang ketika ia menerima Hughes Fellowship, sebuah beasiswa bergengsi yang memungkinkannya untuk melanjutkan studi S2 di California Institute of Technology (Caltech), salah satu universitas teknologi terbaik di dunia. Sambil kuliah, ia bekerja 20 jam seminggu untuk membiayai hidupnya, menunjukkan kemandirian dan ketekunannya.
"Saya suka kerja sampai jam 3 sore, bahkan lebih, karena bisa pakai komputer kantor sendirian. Zaman dulu kan nggak ada laptop," ceritanya sambil tertawa, menggambarkan bagaimana ia memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mengembangkan diri dan meningkatkan pengetahuannya.
Membangun Palapa: Menyatukan NKRI
Pada tahun 1975, Adi mendapatkan tugas penting untuk memasang stasiun bumi Palapa di berbagai wilayah di Indonesia. Ia berkeliling ke pelosok negeri, dari Waingapu hingga Flores, menghadapi berbagai tantangan di tengah minimnya infrastruktur.
"Belum ada hotel, ATM, bawa tas penuh duit cash," ujarnya, menggambarkan kondisi yang serba terbatas pada saat itu.
Pengalaman ini membuka matanya tentang betapa terbatasnya komunikasi di Indonesia pada masa itu. "Kalau mau telepon gubernur, pakai radio HF. Kadang nyambung, kadang nggak," ungkapnya, menyoroti betapa pentingnya peran satelit dalam meningkatkan konektivitas di seluruh nusantara.
Ketika satelit Palapa akhirnya diluncurkan dan beroperasi, Adi menyaksikan momen bersejarah: seorang bupati di Waingapu terpukau melihat siaran TVRI di layar 12 inch Sony Trinitron. "Saya baru sadar setelah 20 tahun, Palapa itu bukan sekadar satelit. Itu alat mempersatukan NKRI," katanya, menyadari dampak besar satelit Palapa dalam menyatukan bangsa dan negara.
Pada saat itu, televisi dan radio nasional belum ada, dan kebijakan dari pemerintah pusat membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk sampai ke daerah-daerah terpencil. Satelit Palapa mengubah segalanya, memungkinkan informasi dan komunikasi mengalir dengan cepat dan lancar ke seluruh pelosok negeri.
Unicorn Pertama Indonesia
Setelah hampir sembilan tahun tinggal dan bekerja di Amerika Serikat, Adi mendapatkan tawaran kewarganegaraan Amerika dari Hughes Aircraft. Namun, ia menolak tawaran tersebut. "Banyak orang pengen jadi warga Amerika, saya malah nggak kepengen," ungkapnya, menunjukkan kecintaannya yang mendalam terhadap tanah air. Di usia 28 tahun, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dengan semangat untuk membangun negeri. "Kalau gagal, saya bisa balik. Kalau berhasil, saya tinggal," katanya kepada atasannya saat itu, menunjukkan keyakinan dan keberaniannya untuk mengambil risiko.
Keputusan ini terbukti tepat. Adi mendirikan PT RKN, sebuah startup yang berhasil membuat gerbang jalan tol pertama di Indonesia, mengalahkan kompetitor dari Perancis dan Jepang. "Anak Indonesia kalau dikasih kesempatan, pasti bisa. Yang kurang cuma keberanian," tegasnya, menyemangati generasi muda untuk berani bermimpi dan berkarya.
Pada tahun 1991, bersama dengan Profesor Iskandar Alishaban, Adi mendirikan PSN, perusahaan satelit swasta pertama di Indonesia. Tantangan yang dihadapi sangat besar: regulasi satelit pada saat itu hanya mengizinkan Telkom dan Indosat untuk beroperasi. Dengan keberanian dan dukungan dari Presiden Soeharto serta Menteri BJ Habibie, PSN akhirnya mendapatkan izin, meskipun awalnya tidak diperbolehkan untuk melayani pasar dalam negeri.
PSN melesat dengan cepat. Pada tahun 1995, perusahaan ini go public di Nasdaq, Amerika Serikat, dengan valuasi USD 1 miliar, menjadikannya unicorn pertama Indonesia. Pencapaian ini menjadi bukti nyata dari visi, kerja keras, dan inovasi yang dilakukan oleh Adi dan timnya.
Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Krisis moneter 1997-1998 membuat PSN terlilit utang sebesar USD 650 juta. "Saat itu Rp 2.000 jadi Rp 16.000 per dolar, babak belur," kenang Adi, menggambarkan betapa beratnya dampak krisis ekonomi terhadap perusahaannya.
Namun, ia tidak menyerah. Dengan strategi rekapitalisasi yang cerdas, PSN berhasil bangkit kembali dan meluncurkan satelit Nusantara 1 pada tahun 2014, hingga akhirnya pada tanggal 11 September 2025, PSN berhasil meluncurkan Satelit Nusantara Lima, semakin memperkuat posisinya sebagai pemain utama dalam industri satelit di Indonesia.
Filosofi Hidup: Never Give Up
Adi memegang teguh filosofi ‘never give up’. Baginya, kegagalan hanyalah ‘sukses yang tertunda’. Prinsip ini menjadi landasan dalam setiap langkah yang diambilnya, membantunya untuk mengatasi berbagai rintangan dan tantangan yang menghadang.
Meskipun dijuluki sebagai ‘Bapak Satelit Indonesia’, Adi tetap rendah hati. "Saya nggak peduli orang bilang apa. Saya cuma ingin bikin sesuatu yang bermanfaat," ujarnya, menunjukkan fokusnya pada memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan negara.
Visi ini tercermin dalam usahanya untuk membangun bandar antariksa di Biak dan mendorong anak muda untuk terjun ke bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Ia percaya bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri antariksa, dan ia ingin memberikan kontribusi dalam mewujudkan visi tersebut.
Kini, di usia 72 tahun, Adi tidak berhenti bermimpi. Ia ingin Indonesia memiliki kedaulatan antariksa, dengan PSN sebagai pemimpin kapasitas satelit di Asia Pasifik. Ia terus berupaya untuk mengembangkan teknologi dan inovasi baru, serta menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk mencapai tujuannya.
"Kalau elo mau jadi nomor satu, harus kerja keras. Indonesia punya potensi, tapi kita jangan jadi juara mediocrity," pesannya, menyemangati generasi muda untuk berani bermimpi besar dan bekerja keras untuk mencapai kesuksesan.
Kisah Adi Adiwoso adalah bukti nyata bahwa keberanian, kerja keras, dan visi besar dapat mengubah wajah teknologi Indonesia. Pelajaran yang dapat kita ambil darinya sangat berharga untuk masa depan bangsa. Ia adalah inspirasi bagi kita semua untuk berani melawan arus, berinovasi, dan memberikan kontribusi positif bagi kemajuan Indonesia.