Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), melakukan pertemuan penting dengan Gubernur Jakarta saat ini, Pramono Anung, di Balai Kota. Pertemuan tersebut berfokus pada isu krusial terkait Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di ibu kota. Ahok, yang dikenal dengan ketegasannya dalam kebijakan fiskal, menyampaikan saran kepada Pramono untuk mengevaluasi secara komprehensif NJOP yang dinilai tidak lagi relevan dengan dinamika pasar properti saat ini. Ia menekankan perlunya penyesuaian PBB agar lebih adil dan meringankan beban masyarakat Jakarta.
"Prinsip PBB itu kan NJOP tidak boleh melebihi harga pasar," tegas Ahok usai pertemuan di Balai Kota Jakarta, Rabu (20/8/2025). Ia menjelaskan bahwa dalam kondisi pasar yang fluktuatif, di mana harga tanah dan properti mengalami penurunan, NJOP seharusnya mencerminkan realitas tersebut. "Kalau sekarang banyak tanah dijual, harga NJOP aja kadang nggak laku. Makanya tahun depan mungkin harus dievaluasi, ada beberapa bagian tanah yang harus diturunkan PBB-nya," lanjutnya.
Ahok menyoroti bahwa ketidaksesuaian antara NJOP dan harga pasar dapat memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang menantang. Ia menekankan bahwa PBB seharusnya menjadi instrumen yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, bukan justru menjadi beban tambahan.
Pengalaman Ahok dalam memimpin Jakarta memberikan perspektif berharga dalam pengelolaan PBB. Ia mengakui bahwa di masa kepemimpinannya, ia pernah mengambil kebijakan untuk menaikkan PBB. Namun, keputusan tersebut diambil karena pada saat itu terdapat kesenjangan yang signifikan antara harga jual properti dan NJOP. Kondisi saat ini, menurut Ahok, berbeda. Penurunan harga properti akibat tekanan ekonomi mengharuskan adanya penyesuaian PBB ke arah yang lebih rendah.
"Saya dulu yang pertama naikkan PBB, karena waktu itu harga jual sama NJOP terlalu jauh. Tapi kalau sekarang ekonomi tambah payah, harga properti turun, PBB harus ikut turun juga," ujarnya.
Lebih lanjut, Ahok mengkritik praktik di beberapa daerah yang cenderung menaikkan PBB secara serampangan sebagai cara instan untuk meningkatkan pendapatan daerah. Ia menekankan bahwa pendekatan tersebut tidak bijaksana dan dapat merugikan masyarakat.
"Banyak daerah nggak mau mikir ya, cara paling gampang cari duit ya naikkan PBB. Itu nggak perlu terjadi. Prinsipnya tetap, NJOP jangan sampai melampaui harga pasar," tegasnya.
Dalam diskusinya dengan Pramono, Ahok juga mengusulkan agar kebijakan keringanan atau pembebasan PBB untuk rumah dengan nilai tertentu kembali diterapkan. Kebijakan ini, yang pernah ia implementasikan selama menjabat sebagai gubernur, bertujuan untuk meringankan beban masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah.
"Kayak kita dulu kan sampai Rp 2 miliar bebas PBB. Nah itu harus dilakukan juga. Jadi misalnya di kampung-kampung harga jualnya tinggi tapi warganya nggak mampu, bisa disesuaikan atau digratiskan," tambahnya.
Saran Ahok ini sejalan dengan prinsip keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat yang kurang mampu. Ia meyakini bahwa PBB seharusnya tidak menjadi beban yang memberatkan, tetapi justru menjadi instrumen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Pertemuan antara Ahok dan Pramono ini menjadi momentum penting untuk merefleksikan kembali kebijakan PBB di Jakarta. Saran-saran yang disampaikan Ahok, berdasarkan pengalaman dan pemahamannya yang mendalam tentang kondisi ekonomi dan sosial Jakarta, dapat menjadi masukan berharga bagi Pramono dalam merumuskan kebijakan PBB yang lebih adil, relevan, dan berkelanjutan.
Evaluasi NJOP dan PBB bukan hanya sekadar penyesuaian tarif pajak, tetapi juga merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan meningkatkan daya saing Jakarta sebagai pusat ekonomi nasional. Dengan NJOP yang realistis dan PBB yang proporsional, diharapkan sektor properti dapat kembali bergairah dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Jakarta.
Selain itu, kebijakan PBB yang adil juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ketika masyarakat merasa bahwa pajak yang mereka bayar digunakan secara efektif dan efisien untuk pembangunan dan peningkatan kualitas hidup, mereka akan lebih termotivasi untuk membayar pajak tepat waktu.
Pramono Anung, sebagai Gubernur Jakarta saat ini, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa kebijakan PBB di Jakarta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh masyarakat. Ia perlu mempertimbangkan secara matang saran-saran yang disampaikan Ahok dan melakukan kajian yang mendalam terhadap kondisi pasar properti dan kemampuan ekonomi masyarakat Jakarta.
Keputusan Pramono dalam merespons saran Ahok akan berdampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Jakarta dan iklim investasi di ibu kota. Diharapkan, Pramono dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dan bijaksana untuk menciptakan kebijakan PBB yang adil, relevan, dan berkelanjutan.
Penting untuk dicatat bahwa kebijakan PBB yang efektif tidak hanya bergantung pada penyesuaian tarif pajak, tetapi juga pada sistem administrasi yang transparan dan akuntabel. Pemerintah perlu memastikan bahwa proses penilaian NJOP dilakukan secara objektif dan profesional, serta memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengajukan keberatan jika merasa NJOP yang ditetapkan tidak sesuai.
Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai PBB. Masyarakat perlu memahami bagaimana PBB dihitung, bagaimana dana PBB digunakan, dan bagaimana mereka dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait PBB.
Dengan sistem administrasi yang transparan dan akuntabel, serta sosialisasi dan edukasi yang efektif, diharapkan masyarakat akan lebih memahami dan mendukung kebijakan PBB yang diterapkan oleh pemerintah. Hal ini akan berdampak positif terhadap peningkatan pendapatan daerah dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Pertemuan antara Ahok dan Pramono ini menjadi pengingat bahwa pengelolaan PBB merupakan isu yang kompleks dan multidimensional. Dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang kondisi ekonomi dan sosial masyarakat, serta komitmen yang kuat untuk menciptakan kebijakan yang adil, relevan, dan berkelanjutan.
Dengan kerja sama dan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, Jakarta dapat mewujudkan sistem PBB yang ideal, yang memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh pihak. Sistem PBB yang ideal akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan lingkungan investasi yang kondusif.
Sebagai penutup, saran Ahok kepada Pramono untuk mengevaluasi dan menurunkan PBB jika NJOP tidak sesuai dengan kondisi pasar merupakan langkah yang bijaksana dan perlu dipertimbangkan secara serius. Keputusan Pramono dalam merespons saran ini akan menjadi ujian kepemimpinannya dan akan berdampak signifikan terhadap masa depan Jakarta. Diharapkan, Pramono dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi seluruh masyarakat Jakarta.