Pihak kepolisian telah menetapkan 16 orang sebagai tersangka terkait kasus perusakan fasilitas umum yang terjadi di Jakarta saat demonstrasi yang berujung anarkis beberapa waktu lalu. Di antara para tersangka tersebut, terdapat satu orang yang masih di bawah umur, yaitu seorang anak laki-laki berusia 14 tahun.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol.) Wira Satya Triputra, mengungkapkan hal ini dalam konferensi pers yang diadakan di Polda Metro Jaya pada hari Senin, 15 September 2025. "Bahwa di antara 16 tersangka, ini terdapat satu orang yang statusnya anak," ujarnya.
Kombes Pol. Wira Satya Triputra menjelaskan bahwa penanganan terhadap anak di bawah umur ini akan dilakukan melalui proses diversi hukum. Diversi merupakan upaya pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan formal ke proses di luar peradilan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan terbaik anak dan menghindari dampak negatif yang mungkin timbul akibat proses peradilan.
"Kami telah melakukan proses diversi, yang mana ini dalam proses penanganannya melibatkan Subdit Renakta (Remaja, Anak, dan Wanita), melibatkan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan stakeholder yang ada di Jakarta," lanjutnya.
Menurut keterangan pihak kepolisian, anak di bawah umur tersebut terlibat dalam aksi pembakaran halte TransJakarta yang terletak di depan gedung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dalam pengungkapan kasus ini, polisi juga menemukan barang bukti berupa bom molotov dan batu yang diduga digunakan dalam aksi perusakan tersebut.
Dalam kasus perusakan fasilitas umum ini, polisi menetapkan total 16 orang sebagai tersangka. Para tersangka ini kemudian dikelompokkan berdasarkan lokasi perusakan yang mereka lakukan. Untuk pelaku yang berinisial HH, ARP, SPU, dan IZ, serta anak di bawah umur yang disebutkan sebelumnya, mereka terlibat dalam perusakan halte TransJakarta di depan Kemendikbudristek.
Sementara itu, tersangka yang berinisial AS, MA, dan MHF diduga melakukan perusakan di Arborea Cafe yang berlokasi di area Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tersangka dengan inisial D diduga terlibat dalam perusakan di kawasan Gedung DPR/MPR RI. Terakhir, tersangka yang berinisial IJ, MTE, JP, dan SW diduga melakukan perusakan di halte bus yang berada di area Polda Metro Jaya.
Selain kelompok tersangka yang disebutkan di atas, polisi juga mengungkapkan bahwa terdapat tiga orang tersangka lainnya yang belum diumumkan identitasnya. Ketiga orang ini diduga terlibat dalam tindakan penghasutan yang memicu terjadinya aksi perusakan tersebut.
Proses Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Diversi merupakan salah satu prinsip penting dalam sistem peradilan pidana anak. Prinsip ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Diversi bertujuan untuk mencari solusi terbaik bagi anak yang berhadapan dengan hukum, dengan mempertimbangkan kepentingan anak, korban, dan masyarakat.
Proses diversi dapat dilakukan pada berbagai tahap penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan. Dalam proses diversi, berbagai pihak terkait dilibatkan, termasuk anak, orang tua atau wali anak, korban atau keluarga korban, pekerja sosial, psikolog, dan perwakilan dari instansi terkait seperti KPAI dan Dinas Sosial.
Tujuan utama dari diversi adalah untuk mencapai kesepakatan antara anak, korban, dan keluarga mereka mengenai bentuk penyelesaian perkara yang tidak melalui proses peradilan formal. Bentuk penyelesaian ini dapat berupa permintaan maaf, ganti rugi, kerja sosial, atau rehabilitasi.
Peran KPAI dalam Proses Diversi
KPAI memiliki peran yang sangat penting dalam proses diversi. Sebagai lembaga yang bertugas mengawasi dan melindungi hak-hak anak, KPAI bertugas untuk memastikan bahwa proses diversi dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak.
Dalam proses diversi, KPAI dapat memberikan masukan dan rekomendasi kepada pihak kepolisian, jaksa, atau hakim mengenai bentuk penyelesaian perkara yang paling sesuai dengan kepentingan anak. KPAI juga dapat membantu memfasilitasi mediasi antara anak, korban, dan keluarga mereka.
Selain itu, KPAI juga bertugas untuk memantau pelaksanaan kesepakatan diversi. Jika anak melanggar kesepakatan diversi, KPAI dapat memberikan rekomendasi kepada pihak kepolisian atau jaksa untuk melanjutkan proses peradilan pidana.
Tantangan dalam Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Penanganan anak yang berhadapan dengan hukum merupakan tantangan yang kompleks. Selain harus mempertimbangkan kepentingan anak, pihak kepolisian, jaksa, dan hakim juga harus mempertimbangkan kepentingan korban dan masyarakat.
Salah satu tantangan utama dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum adalah kurangnya sumber daya dan fasilitas yang memadai. Banyak lembaga pemasyarakatan anak (LPKA) yang kondisinya tidak layak dan tidak memenuhi standar perlindungan anak. Selain itu, jumlah pekerja sosial dan psikolog yang terlatih untuk menangani anak yang berhadapan dengan hukum juga masih sangat terbatas.
Tantangan lainnya adalah stigma negatif yang melekat pada anak yang pernah berhadapan dengan hukum. Stigma ini dapat menghambat anak untuk kembali berintegrasi ke dalam masyarakat dan mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya.
Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Perlindungan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan merevisi UU SPPA. Revisi ini bertujuan untuk memperkuat sistem peradilan pidana anak dan meningkatkan efektivitas diversi.
Selain itu, pemerintah juga meningkatkan anggaran untuk pembangunan dan perbaikan LPKA. Pemerintah juga memberikan pelatihan kepada pekerja sosial, psikolog, dan petugas LPKA mengenai penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
Pemerintah juga bekerja sama dengan berbagai organisasi masyarakat sipil untuk memberikan pendampingan dan rehabilitasi kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Kerja sama ini diharapkan dapat membantu anak untuk kembali berintegrasi ke dalam masyarakat dan mendapatkan kesempatan yang sama dengan anak-anak lainnya.
Pentingnya Peran Masyarakat dalam Perlindungan Anak
Perlindungan anak merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Masyarakat memiliki peran penting dalam mencegah anak terlibat dalam tindak pidana.
Orang tua dan keluarga memiliki peran utama dalam memberikan pendidikan dan pengawasan kepada anak. Sekolah juga memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai moral dan etika kepada anak. Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam melaporkan tindak kekerasan atau eksploitasi terhadap anak kepada pihak yang berwenang.
Dengan kerja sama dari seluruh elemen masyarakat, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang aman dan kondusif bagi tumbuh kembang anak. Dengan demikian, anak-anak dapat tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berakhlak mulia.
Kasus anak berusia 14 tahun yang menjadi tersangka perusakan halte saat demo ricuh ini menjadi pengingat bagi kita semua tentang pentingnya perlindungan anak dan pencegahan tindak pidana yang melibatkan anak. Proses diversi yang dilakukan oleh pihak kepolisian merupakan langkah yang tepat untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk memperbaiki diri dan kembali berintegrasi ke dalam masyarakat. Namun, keberhasilan proses diversi ini juga sangat bergantung pada dukungan dari keluarga, masyarakat, dan instansi terkait.
Semoga dengan penanganan yang tepat, anak tersebut dapat mengambil pelajaran dari kejadian ini dan menjadi pribadi yang lebih baik di masa depan.