Saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), salah satu emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dulunya dianggap sebagai saham prospektif, kini menjadi sorotan karena aksi jual besar-besaran oleh investor asing. Sepanjang tahun 2025, tercatat net sell asing mencapai Rp55,19 triliun, dengan BBCA menyumbang porsi signifikan sebesar Rp23,3 triliun. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai fundamental BBCA, yang menjadi perhatian para analis.
Beberapa faktor diungkapkan sebagai penyebab utama penurunan minat investor asing terhadap saham BBCA. Salah satunya adalah indikasi pelemahan fundamental yang tercermin dari peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL). Managing Director Solstice Indonesia, Handiman, menyoroti bahwa NPL BCA menembus 2,2% pada Juni 2025, meningkat dibandingkan kuartal sebelumnya. Peningkatan NPL ini memaksa BCA untuk meningkatkan beban provisi secara signifikan. Guidance Cost of Credit (CoC) dinaikkan dari 0,3% menjadi 0,3%-0,5%. Data per Juli 2025 menunjukkan bahwa beban provisi bank-only melonjak 65% year on year (yoy) menjadi Rp1,9 triliun. Kenaikan beban provisi ini mengindikasikan bahwa bank harus menyisihkan lebih banyak dana untuk mengantisipasi potensi kerugian akibat kredit bermasalah, yang dapat memengaruhi profitabilitas.
Selain masalah NPL, VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi, menyoroti perlambatan pertumbuhan bottom line BCA. Pertumbuhan laba bersih hanya mencapai 8% yoy, melambat dibandingkan periode sebelumnya yang masih mampu mencatatkan pertumbuhan double digit. Perlambatan ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuan BCA untuk mempertahankan kinerja keuangan yang kuat di tengah tantangan ekonomi yang ada.
Tekanan suku bunga tinggi, termasuk kebijakan Fed Fund Rate (FFR) di Amerika Serikat, juga menjadi faktor pendorong capital outflow dari aset berisiko tinggi ke aset safe havens seperti USDT dan emas. Kenaikan suku bunga acuan di AS membuat aset-aset di negara berkembang, termasuk Indonesia, menjadi kurang menarik bagi investor asing. Mereka cenderung mengalihkan dana ke aset yang dianggap lebih aman dengan imbal hasil yang lebih stabil.
Ketidakpastian ekonomi global, kenaikan tensi geopolitik, kebijakan tarif perang dagang AS, dan sikap bank sentral yang belum sepenuhnya dovish menciptakan kekhawatiran terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi, termasuk di Indonesia. Kondisi ini memicu aksi jual saham oleh investor asing, termasuk saham-saham perbankan besar seperti BBCA.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan, berpendapat bahwa aksi jual saham BBCA secara besar-besaran oleh investor asing bisa dikaitkan dengan aksi profit taking. Ia menyoroti bahwa capital gain BBCA sudah cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir, sehingga secara natural menjadi target realisasi keuntungan. Selain itu, terdapat pula proyeksi perlambatan kinerja sektor keuangan, yang membuat pelaku pasar cenderung lebih berhati-hati terhadap saham-saham perbankan besar.
BBCA yang berkapitalisasi pasar terbesar juga kerap berperan sebagai proxy indeks. Oleh karena itu, ketika terjadi arus keluar dana asing akibat ketidakpastian makro, seperti isu geopolitik, pelemahan rupiah, atau kondisi global yang bersifat risk-off, BBCA juga ikut terdampak secara mekanis. Dalam konteks ini, tekanan jual yang terjadi lebih disebabkan oleh faktor eksternal dan rotasi portofolio global, bukan karena adanya masalah spesifik pada fundamental emiten itu sendiri.
Namun, penting untuk dicatat bahwa interpretasi terhadap penyebab aksi jual asing ini bervariasi di antara para analis. Beberapa berfokus pada faktor internal perusahaan seperti peningkatan NPL dan perlambatan pertumbuhan laba, sementara yang lain menekankan faktor eksternal seperti kondisi ekonomi global dan sentimen pasar.
Meskipun demikian, dampak dari aksi jual asing ini terlihat jelas pada kinerja saham BBCA. Pada penutupan perdagangan terakhir, saham BBCA ditutup turun ke zona merah, di posisi 7.700 per saham. Sepanjang tahun 2025, saham bank swasta terbesar itu telah anjlok 22,22%. Penurunan ini mengindikasikan bahwa tekanan jual dari investor asing telah memberikan dampak signifikan terhadap harga saham BBCA.
Penurunan harga saham BBCA ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor ritel dan institusi lokal. Banyak investor yang mempertanyakan apakah penurunan ini merupakan sinyal awal dari masalah yang lebih dalam pada fundamental BBCA, atau hanya merupakan koreksi pasar sementara. Mereka juga mempertimbangkan apakah ini merupakan kesempatan untuk membeli saham BBCA dengan harga yang lebih murah, atau justru saat yang tepat untuk mengurangi kepemilikan saham mereka.
Untuk memahami lebih dalam mengenai kondisi BBCA, investor perlu mempertimbangkan beberapa faktor kunci. Pertama, investor perlu menganalisis secara seksama laporan keuangan BBCA untuk memahami kinerja keuangan perusahaan secara mendalam. Hal ini termasuk menganalisis pendapatan, laba bersih, aset, liabilitas, dan ekuitas perusahaan. Investor juga perlu memperhatikan rasio-rasio keuangan penting seperti rasio profitabilitas, rasio solvabilitas, dan rasio likuiditas.
Kedua, investor perlu memperhatikan perkembangan terkini dalam industri perbankan. Hal ini termasuk regulasi baru, perubahan suku bunga, dan perkembangan teknologi. Investor juga perlu memperhatikan persaingan di antara bank-bank di Indonesia.
Ketiga, investor perlu memperhatikan kondisi ekonomi global dan domestik. Hal ini termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga, dan nilai tukar rupiah. Investor juga perlu memperhatikan faktor-faktor geopolitik yang dapat memengaruhi pasar keuangan.
Keempat, investor perlu mempertimbangkan sentimen pasar. Sentimen pasar dapat memengaruhi harga saham dalam jangka pendek. Investor perlu memperhatikan berita dan opini dari para analis dan investor lain.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, investor dapat membuat keputusan investasi yang lebih tepat. Investor juga perlu berkonsultasi dengan penasihat keuangan untuk mendapatkan saran yang lebih spesifik.
Meskipun fundamental BBCA terlihat goyah akibat beberapa faktor yang telah disebutkan, penting untuk diingat bahwa BBCA tetap merupakan salah satu bank terbesar dan terkemuka di Indonesia. BBCA memiliki jaringan yang luas, basis pelanggan yang loyal, dan manajemen yang berpengalaman. BBCA juga memiliki modal yang kuat dan likuiditas yang memadai.
Oleh karena itu, penurunan harga saham BBCA mungkin merupakan kesempatan bagi investor jangka panjang untuk membeli saham dengan harga yang lebih murah. Namun, investor perlu melakukan riset dan analisis yang cermat sebelum membuat keputusan investasi. Investor juga perlu mempertimbangkan profil risiko mereka dan tujuan investasi mereka.
Sebagai kesimpulan, aksi jual saham BBCA oleh investor asing telah menimbulkan kekhawatiran mengenai fundamental perusahaan. Peningkatan NPL, perlambatan pertumbuhan laba, tekanan suku bunga tinggi, dan ketidakpastian ekonomi global menjadi faktor-faktor pendorong aksi jual tersebut. Namun, BBCA tetap merupakan bank yang kuat dengan fundamental yang solid dalam jangka panjang. Investor perlu melakukan riset dan analisis yang cermat sebelum membuat keputusan investasi. Penurunan harga saham BBCA mungkin merupakan kesempatan bagi investor jangka panjang untuk membeli saham dengan harga yang lebih murah, tetapi investor perlu mempertimbangkan profil risiko mereka dan tujuan investasi mereka. Pasar akan terus memantau kinerja BBCA dan respons manajemen terhadap tantangan yang ada, serta bagaimana faktor-faktor eksternal akan terus memengaruhi sentimen investor terhadap saham ini.