Komisi III DPR RI menggelar uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap Inosentius Samsul, satu-satunya calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang diusulkan untuk menggantikan Arief Hidayat, hakim konstitusi yang akan memasuki masa pensiun pada Februari 2026. Proses seleksi ini menjadi sorotan, terutama karena posisi yang akan diisi merupakan jatah usulan dari DPR. Dalam kesempatan tersebut, anggota Komisi III DPR, Safaruddin, menyampaikan pesan penting kepada Inosentius Samsul terkait independensi hakim dan hubungannya dengan lembaga legislatif yang mengusungnya.
Uji kelayakan yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (20/8/2025), menjadi forum bagi anggota Komisi III untuk menggali visi, misi, dan komitmen Inosentius Samsul dalam menjaga konstitusi dan menjalankan tugas sebagai hakim MK. Selain itu, momen ini juga dimanfaatkan untuk memberikan nasihat dan mengingatkan calon hakim tentang tanggung jawabnya terhadap lembaga yang telah memberikan kepercayaan.
Safaruddin, politisi dari Fraksi PDIP, secara terbuka mengingatkan Inosentius Samsul agar tidak melupakan peran DPR sebagai lembaga yang mengusulkan namanya. Ia menyoroti kecenderungan beberapa hakim yang setelah terpilih justru mengambil putusan yang bertentangan dengan kepentingan atau produk hukum yang dihasilkan oleh DPR.
"Biasanya sih Pak, kalau kita fit and proper di sini, pokoknya kami akan memperjuangkan sebagai utusan DPR. Tapi setelah sampai di sana, lupa Pak bahwa Bapak itu dipilih dari DPR," ujar Safaruddin dengan nada serius.
Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran sebagian anggota DPR terhadap independensi hakim MK yang diusulkan oleh lembaga legislatif. Mereka berharap hakim yang terpilih dapat menjaga keseimbangan antara independensi dan tanggung jawab terhadap lembaga yang telah memberikan mandat.
Safaruddin menekankan bahwa hakim yang dipilih DPR harus memiliki keteguhan dan keyakinan dalam memutus perkara. Namun, ia juga mengingatkan agar hakim tersebut tidak terpengaruh untuk menyerang produk hukum yang dihasilkan oleh DPR.
"Bapak jangan lupa bahwa Bapak dipilih itu dari DPR, jangan kembali menghantam DPR," tegasnya.
Pesan ini mengandung makna yang dalam. Di satu sisi, DPR mengharapkan hakim MK yang berasal dari usulannya dapat memahami dan menghargai proses legislasi yang telah dilakukan. Di sisi lain, DPR juga tidak ingin hakim tersebut menjadi alat politik atau perpanjangan tangan lembaga legislatif dalam memutus perkara.
Safaruddin menambahkan, "Saya mengingatkan kembali kepada Bapak, kalau kompetensi Bapak saya pikir kita yakin. Cuma kadang-kadang nanti di sana ada pengaruh kiri kanan Bapak bisa goyang-goyang, dan saya minta Bapak teguh dalam pendirian menghadapi hakim-hakim yang lain."
Pernyataan ini menyoroti tantangan yang dihadapi oleh hakim MK dalam menjaga independensi dan integritasnya. Hakim MK harus mampu menghadapi berbagai tekanan dan pengaruh dari berbagai pihak, termasuk dari lembaga negara, partai politik, dan kelompok kepentingan lainnya.
Inosentius Samsul sendiri bukanlah sosok asing di lingkungan DPR. Saat ini, ia menjabat sebagai Perancang Peraturan Perundang-Undangan Ahli Utama DPR. Sebelumnya, ia juga pernah menjabat sebagai Kepala Badan Keahlian DPR. Pengalaman panjangnya di lembaga legislatif ini diharapkan dapat menjadi modal berharga dalam menjalankan tugas sebagai hakim MK.
Sebagai informasi tambahan, Arief Hidayat, hakim konstitusi yang akan digantikan oleh Inosentius Samsul, juga merupakan hakim yang berasal dari unsur DPR. Ia akan memasuki masa pensiun pada 3 Februari 2026, saat usianya mencapai 70 tahun, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Implikasi dan Relevansi Pernyataan Anggota Komisi III DPR
Pernyataan Safaruddin kepada Inosentius Samsul memiliki implikasi yang signifikan terhadap dinamika hubungan antara DPR dan MK. Hal ini juga memunculkan pertanyaan mendasar tentang konsep independensi hakim dan batasan-batasannya.
-
Independensi Hakim vs. Tanggung Jawab Terhadap Lembaga Pengusul: Pertanyaan ini menjadi perdebatan klasik dalam dunia hukum dan politik. Di satu sisi, hakim harus independen dalam memutus perkara, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan apapun. Di sisi lain, hakim juga memiliki tanggung jawab moral dan etika terhadap lembaga yang telah memberikan kepercayaan. Mencari titik keseimbangan antara kedua hal ini menjadi tantangan tersendiri.
-
Potensi Konflik Kepentingan: Pengusulan hakim MK oleh DPR dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan. Hakim yang diusulkan oleh DPR mungkin merasa memiliki kewajiban untuk menjaga kepentingan lembaga tersebut. Hal ini dapat mempengaruhi objektivitas dan imparsialitas dalam memutus perkara yang melibatkan DPR.
-
Penguatan Reputasi dan Kepercayaan Publik: Proses seleksi hakim MK yang transparan dan akuntabel dapat meningkatkan reputasi dan kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut. DPR sebagai lembaga pengusul harus memastikan bahwa calon yang diajukan memiliki integritas, kompetensi, dan independensi yang tinggi.
-
Pengaruh Politik dalam Penegakan Hukum: Pernyataan Safaruddin juga menyoroti potensi pengaruh politik dalam penegakan hukum. Hakim MK sebagai penjaga konstitusi harus mampu melindungi diri dari intervensi politik dan memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan objektif.
Analisis Lebih Mendalam
Pernyataan Safaruddin dapat diinterpretasikan dari berbagai sudut pandang. Beberapa pihak mungkin melihatnya sebagai upaya untuk mengintervensi independensi hakim MK. Namun, pihak lain mungkin menganggapnya sebagai pengingat agar hakim yang terpilih tidak melupakan asal usul dan tanggung jawabnya terhadap lembaga yang telah memberikan kepercayaan.
Penting untuk dicatat bahwa independensi hakim tidak berarti kebebasan mutlak tanpa batasan. Independensi harus diimbangi dengan akuntabilitas dan tanggung jawab. Hakim harus bertanggung jawab atas putusan yang diambil dan dapat mempertanggungjawabkannya kepada publik.
Selain itu, hakim juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang konstitusi dan hukum yang berlaku. Mereka harus mampu menafsirkan hukum secara objektif dan imparsial, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik atau pribadi.
Kesimpulan
Pernyataan anggota Komisi III DPR kepada calon hakim MK merupakan refleksi dari kompleksitas hubungan antara lembaga legislatif dan yudikatif. Independensi hakim adalah prinsip fundamental dalam negara hukum, tetapi independensi tersebut harus diimbangi dengan akuntabilitas dan tanggung jawab.
Proses seleksi hakim MK harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan melibatkan partisipasi publik. Calon hakim yang diajukan harus memiliki integritas, kompetensi, dan independensi yang tinggi. Dengan demikian, MK dapat menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi secara efektif dan dapat dipercaya oleh masyarakat.
Pada akhirnya, integritas dan independensi hakim MK adalah kunci untuk menjaga supremasi hukum dan keadilan di Indonesia. Hakim MK harus mampu melindungi diri dari berbagai tekanan dan pengaruh, serta memutus perkara secara objektif dan imparsial, demi tegaknya konstitusi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pesan yang disampaikan oleh anggota Komisi III DPR, Safaruddin, menjadi pengingat penting bagi calon hakim MK, Inosentius Samsul, agar selalu menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut dalam menjalankan tugasnya kelak.