Manusia dikenal luas karena kemampuannya yang kompleks untuk berbohong, suatu perilaku yang melibatkan perencanaan, pemahaman terhadap pikiran orang lain, dan kemampuan untuk menyajikan informasi palsu secara meyakinkan. Namun, pertanyaan menarik muncul: apakah hewan, makhluk yang berbagi planet ini dengan kita, juga mampu melakukan penipuan? Jawaban untuk pertanyaan ini tidak sesederhana ya atau tidak, dan melibatkan pemahaman yang lebih dalam tentang definisi kebohongan, kemampuan kognitif hewan, dan berbagai bentuk perilaku menipu yang telah diamati di alam liar.
Secara fundamental, kebohongan dapat didefinisikan sebagai tindakan menyampaikan informasi yang salah dengan maksud untuk menyesatkan orang lain. Definisi ini mengimplikasikan adanya kesadaran akan kebenaran, kemampuan untuk memahami bahwa orang lain mungkin memiliki keyakinan yang berbeda, dan motivasi untuk memanipulasi keyakinan tersebut demi keuntungan pribadi. Dalam konteks manusia, kebohongan sering kali melibatkan proses mental yang kompleks yang dikenal sebagai "teori pikiran" (Theory of Mind atau ToM), yaitu kemampuan untuk mengaitkan keadaan mental – seperti keyakinan, keinginan, niat, dan emosi – kepada diri sendiri dan orang lain, dan untuk memahami bahwa keadaan mental ini dapat berbeda dari kenyataan dan dapat memengaruhi perilaku.
Kemampuan "teori pikiran" dianggap sebagai salah satu pencapaian kognitif yang membedakan manusia dari spesies lain. Namun, penelitian selama beberapa dekade terakhir telah menunjukkan bahwa beberapa hewan, terutama primata besar seperti simpanse, gorila, dan orangutan, mungkin memiliki tingkat pemahaman sosial dan kognitif yang lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya. Penelitian-penelitian ini telah memicu perdebatan yang berkelanjutan tentang sejauh mana hewan dapat memahami pikiran orang lain dan apakah mereka mampu melakukan penipuan yang disengaja.
Dalam dunia hewan, terdapat berbagai bentuk perilaku yang dapat dikategorikan sebagai penipuan. Beberapa di antaranya bersifat naluriah dan tidak memerlukan pemikiran yang kompleks, sementara yang lain tampaknya melibatkan tingkat perencanaan dan kesadaran yang lebih tinggi. Salah satu bentuk penipuan yang paling umum adalah mimikri dan kamuflase. Banyak hewan menggunakan mimikri untuk meniru penampilan atau perilaku spesies lain, baik untuk menghindari predator maupun untuk menarik mangsa. Contohnya adalah lalat yang meniru lebah untuk menghindari dimangsa oleh burung, atau bunglon yang mengubah warna kulitnya agar sesuai dengan lingkungannya. Kamuflase, di sisi lain, melibatkan penggunaan warna, pola, atau bentuk untuk menyatu dengan lingkungan, sehingga sulit bagi predator atau mangsa untuk mendeteksi keberadaan hewan tersebut.
Selain mimikri dan kamuflase, ada juga contoh perilaku menipu yang lebih kompleks yang telah diamati pada hewan. Salah satu contoh yang terkenal adalah perilaku "panggilan alarm palsu" yang dilakukan oleh beberapa spesies burung dan primata. Dalam situasi ini, seekor hewan akan mengeluarkan panggilan alarm yang biasanya digunakan untuk memperingatkan anggota kelompok tentang adanya predator, meskipun sebenarnya tidak ada predator di dekatnya. Perilaku ini dapat dilakukan untuk berbagai alasan, seperti mengalihkan perhatian anggota kelompok lain dari sumber makanan yang berharga, atau untuk mendapatkan keuntungan dalam persaingan sosial.
Misalnya, capuchin berwajah putih (Cebus capucinus) telah diamati mengeluarkan panggilan alarm palsu untuk membubarkan kelompok lain yang sedang mencari makan di dekat sumber makanan yang diinginkannya. Dengan mengeluarkan panggilan alarm palsu, capuchin tersebut dapat menakut-nakuti anggota kelompok lain dan mengklaim sumber makanan tersebut untuk dirinya sendiri. Contoh lain adalah mangabey bertopi merah (Cercocebus torquatus) yang menipu teman kelompoknya tentang lokasi makanan. Mangabey ini akan berpura-pura menemukan sumber makanan baru dan memanggil anggota kelompok lain untuk datang, tetapi sebenarnya tidak ada makanan di sana. Perilaku ini mungkin dilakukan untuk menguji kesetiaan anggota kelompok lain atau untuk mendapatkan keuntungan dalam hierarki sosial.
Pada burung, perilaku menipu juga dapat diamati dalam konteks perkembangbiakan. Burung cuckoo, misalnya, terkenal karena perilaku parasitiknya. Burung cuckoo betina akan meletakkan telurnya di sarang burung lain, dan anak burung cuckoo akan menetas lebih awal dan mendorong telur atau anak burung lain keluar dari sarang. Untuk meningkatkan peluangnya untuk mendapatkan makanan dari induk burung angkat, anak burung cuckoo akan meniru suara anak burung lain, sehingga membuat induk burung angkat percaya bahwa ia memiliki lebih banyak anak burung untuk diberi makan.
Selain itu, beberapa hewan berpura-pura mati atau cedera untuk menghindari predator. Opossum, misalnya, terkenal karena kemampuannya untuk "bermain mati" ketika merasa terancam. Opossum akan berbaring diam dengan mata tertutup dan lidah menjulur keluar, mengeluarkan bau busuk untuk membuat predator percaya bahwa ia sudah mati dan tidak layak dimakan. Beberapa spesies burung juga berpura-pura cedera untuk mengalihkan perhatian predator dari sarang mereka. Burung-burung ini akan mengepakkan sayapnya dengan lemah dan berjalan tertatih-tatih, seolah-olah mereka terluka parah, sehingga menarik perhatian predator dan menjauhkannya dari sarang mereka.
Dalam konteks pemilihan pasangan, beberapa hewan jantan menggunakan perilaku menipu untuk menarik perhatian betina. Burung merak jantan, misalnya, memamerkan bulu ekornya yang indah untuk menarik perhatian betina. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas bulu ekor merak jantan tidak selalu mencerminkan kondisi fisik atau genetiknya yang sebenarnya. Dalam beberapa kasus, merak jantan dengan bulu ekor yang kurang menarik mungkin masih berhasil menarik perhatian betina dengan menggunakan strategi lain, seperti menampilkan perilaku pacaran yang lebih intens atau bersaing dengan jantan lain.
Meskipun ada banyak contoh perilaku menipu pada hewan, penting untuk dicatat bahwa tidak semua perilaku ini melibatkan kesadaran atau niat yang sama. Beberapa perilaku mungkin merupakan hasil dari pembelajaran asosiatif sederhana, di mana hewan belajar untuk mengaitkan perilaku tertentu dengan hasil yang menguntungkan. Dalam kasus lain, perilaku menipu mungkin merupakan hasil dari adaptasi evolusioner, di mana hewan dengan kecenderungan untuk melakukan perilaku menipu memiliki peluang yang lebih tinggi untuk bertahan hidup dan bereproduksi.
Pertanyaan kunci yang masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan adalah apakah hewan mampu melakukan penipuan yang disengaja, yaitu penipuan yang melibatkan pemahaman tentang pikiran orang lain dan niat untuk memanipulasi keyakinan tersebut. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kemampuan ini dikenal sebagai "teori pikiran," dan dianggap sebagai salah satu pencapaian kognitif yang membedakan manusia dari spesies lain.
Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa primata besar mungkin memiliki tingkat pemahaman sosial dan kognitif yang lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya, bukti yang mendukung keberadaan "teori pikiran" pada hewan masih kontroversial. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa perilaku menipu yang diamati pada hewan dapat dijelaskan dengan mekanisme kognitif yang lebih sederhana, seperti pembelajaran asosiatif atau pemahaman tentang hubungan sebab-akibat.
Namun, penelitian yang dilakukan pada tahun 2019 memberikan bukti yang menarik tentang keberadaan "teori pikiran" pada kera besar. Dalam penelitian ini, para peneliti menggunakan serangkaian tes yang dirancang untuk menguji kemampuan kera besar untuk memahami keyakinan palsu pada orang lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kera besar mampu memprediksi perilaku orang lain berdasarkan keyakinan palsu mereka, bahkan ketika keyakinan tersebut berbeda dari kenyataan. Temuan ini menunjukkan bahwa kera besar mungkin memiliki tingkat pemahaman sosial dan kognitif yang lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya, dan mungkin mampu melakukan penipuan yang disengaja.
Meskipun penelitian ini memberikan bukti yang menarik, penting untuk dicatat bahwa masih banyak perdebatan tentang sejauh mana hewan dapat memahami pikiran orang lain dan apakah mereka mampu melakukan penipuan yang disengaja. Diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami sepenuhnya kemampuan kognitif hewan dan untuk menentukan apakah mereka benar-benar mampu berbohong seperti manusia.
Singkatnya, sementara banyak hewan menunjukkan perilaku yang dapat dianggap menipu, penting untuk membedakan antara penipuan naluriah dan penipuan yang disengaja. Penipuan yang disengaja, yang melibatkan pemahaman tentang pikiran orang lain dan niat untuk memanipulasi keyakinan tersebut, lebih kompleks dan bukti keberadaannya pada hewan masih diperdebatkan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengungkap sepenuhnya kemampuan kognitif hewan dan untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apakah mereka benar-benar mampu berbohong.