Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan pemerintah untuk menaikkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026 menjadi Rp 3,84 kuadriliun menandai perubahan signifikan dalam strategi pembangunan nasional. Peningkatan alokasi anggaran ini, terutama pada transfer ke daerah yang mencapai Rp 693 triliun, menjadi kunci dalam upaya pemerataan pembangunan dan stabilitas sosial-ekonomi. Langkah ini diambil setelah serangkaian demonstrasi dan kerusuhan yang dipicu oleh ketimpangan fiskal dan kebijakan pajak daerah yang dianggap memberatkan masyarakat. Peningkatan transfer ke daerah ini diharapkan dapat meredakan ketegangan sosial dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif.
Peningkatan anggaran untuk daerah menunjukkan pengakuan pemerintah bahwa pembangunan tidak boleh hanya terpusat di ibu kota. Ketidaksetaraan yang signifikan antara pusat dan daerah telah lama menjadi sumber ketegangan sosial. Dengan memberikan lebih banyak sumber daya kepada pemerintah daerah, diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ini, meredakan ketegangan sosial, dan mempromosikan stabilitas politik dan ekonomi. Peningkatan belanja daerah akan memungkinkan pemerintah daerah untuk berinvestasi lebih banyak dalam infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan mendukung pertumbuhan bisnis lokal.
Sebagaimana dilaporkan The Jakarta Post dalam artikel berjudul "Govt revises 2026 state budget, increases regional spending" (19 September 2025), peningkatan transfer ke daerah akan difokuskan pada wilayah dengan otonomi khusus seperti Aceh dan Papua, serta daerah dengan status khusus seperti Yogyakarta. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengatasi kebutuhan unik dan dinamika politik di daerah-daerah ini. Selain itu, peningkatan anggaran juga akan dialokasikan untuk meningkatkan infrastruktur dan layanan publik di daerah tertinggal, dengan tujuan untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah.
Dari sudut pandang pembangunan ekonomi, kebijakan ini selaras dengan teori Pembangunan Regional yang dikemukakan oleh ekonom pemenang Hadiah Nobel, Gunnar Myrdal. Myrdal berpendapat bahwa ketidaksetaraan regional hanya dapat dikurangi dengan mengarahkan aliran modal dan kebijakan pemerintah untuk memperkuat daerah-daerah yang kurang berkembang. Tanpa intervensi fiskal, pusat akan terus tumbuh sementara daerah lain tertinggal. Kenaikan transfer ke daerah dapat dipandang sebagai strategi untuk menciptakan efek pemerataan. Teori Myrdal menekankan pentingnya investasi strategis di daerah tertinggal untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi migrasi ke pusat-pusat perkotaan.
Implikasi positif dari kebijakan ini sangat luas. Daerah akan memiliki lebih banyak ruang fiskal untuk mendanai infrastruktur dasar, meningkatkan kualitas pendidikan, memperkuat layanan kesehatan, dan mempromosikan pertumbuhan bisnis lokal. Efek berganda dari belanja daerah ini diperkirakan akan meningkatkan konsumsi, investasi lokal, dan menciptakan lapangan kerja. Investasi dalam infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan jaringan transportasi, akan meningkatkan konektivitas dan mengurangi biaya transportasi, sehingga memfasilitasi perdagangan dan investasi. Peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan akan meningkatkan modal manusia dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
Selain itu, kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk menarik dana pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia dan menyalurkannya ke bank-bank pemerintah, termasuk bank syariah, untuk pembiayaan UMKM membuka peluang baru bagi perekonomian rakyat kecil. Bank Muamalat atau lembaga keuangan syariah lainnya dapat menjadi saluran yang sehat untuk permodalan UMKM yang selama ini memiliki akses terbatas ke kredit. Dengan memberikan akses yang lebih mudah ke modal, UMKM dapat memperluas operasi mereka, berinvestasi dalam teknologi baru, dan menciptakan lapangan kerja.
Dengan cara ini, APBN tidak hanya berhenti pada angka-angka besar tetapi benar-benar menyentuh denyut ekonomi rakyat. UMKM, yang menyumbang lebih dari 60 persen PDB nasional, akan menerima dorongan nyata, bukan hanya wacana. Jika permodalan UMKM mengalir lancar, maka lapangan kerja baru akan terbuka dan daya beli masyarakat dapat dipertahankan. Pemerintah juga berencana untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada UMKM untuk membantu mereka meningkatkan keterampilan manajemen dan akses ke pasar.
Kebijakan fiskal yang pro-daerah dan pro-UMKM ini juga dapat mengurangi potensi gejolak sosial. Ketika orang merasa dilibatkan dalam arus pembangunan, rasa keadilan meningkat. Hal ini mengurangi kemungkinan timbulnya keresahan seperti yang terjadi baru-baru ini akibat kenaikan pajak daerah. Pemerintah menyadari bahwa keseimbangan fiskal bukan hanya angka di atas kertas, tetapi juga legitimasi sosial-politik. Pemerintah juga berencana untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan anggaran untuk memastikan bahwa kebijakan fiskal responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Tentu saja, peningkatan anggaran ini membawa konsekuensi defisit yang lebih besar, yaitu 2,68 persen PDB. Namun, angka itu masih di bawah defisit 2025 yang diproyeksikan 2,78 persen. Dengan pengelolaan utang yang hati-hati, risiko fiskal ini relatif terkendali. Apalagi, jika defisit tersebut digunakan untuk membiayai belanja produktif di daerah dan UMKM, manfaat ekonominya jauh lebih besar daripada risikonya. Pemerintah berkomitmen untuk mengelola utang secara berkelanjutan dan memastikan bahwa defisit tetap terkendali.
Momentum ini penting untuk menegaskan paradigma bahwa APBN bukan hanya instrumen akuntansi negara, tetapi alat pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Selama ini, jargon pembangunan seringkali terjebak pada proyek mercusuar. Kini, arah kebijakan lebih membumi, menyasar langsung kebutuhan masyarakat di daerah. Pemerintah juga berencana untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan APBN untuk memastikan bahwa dana publik digunakan secara efisien dan efektif.
Dukungan DPR terhadap kebijakan ini patut diapresiasi. Meskipun awalnya pemerintah sempat mengusulkan pemotongan 25 persen untuk transfer daerah, koreksi melalui mekanisme politik di parlemen menunjukkan adanya dinamika sehat antara eksekutif dan legislatif. Pada akhirnya, rakyat yang akan menikmati hasil kompromi ini. Proses pembahasan anggaran yang partisipatif dan transparan akan memastikan bahwa kebijakan fiskal mencerminkan prioritas rakyat.
Namun, implementasi di lapangan tetap menjadi tantangan. Peningkatan transfer ke daerah harus disertai mekanisme pengawasan yang ketat. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah menjadi kunci agar dana yang besar tidak bocor ke korupsi atau pemborosan proyek. Tanpa pengawasan yang memadai, niat baik ini bisa kembali memicu kekecewaan rakyat. Pemerintah berencana untuk memperkuat lembaga pengawasan dan meningkatkan partisipasi masyarakat sipil dalam pemantauan pelaksanaan anggaran.
Di sisi lain, bank-bank pemerintah maupun bank syariah perlu mempersiapkan infrastruktur pembiayaan yang adaptif bagi UMKM. Syarat kredit yang fleksibel, pendampingan usaha, dan literasi keuangan harus berjalan beriringan. Jika tidak, tambahan likuiditas hanya akan menguntungkan pelaku besar, bukan rakyat kecil. Pemerintah juga berencana untuk memberikan insentif kepada bank-bank yang memberikan kredit kepada UMKM dan memfasilitasi akses UMKM ke pasar.
Pada akhirnya, keputusan menaikkan anggaran negara 2026 dengan fokus memperkuat daerah dan UMKM mencerminkan politik anggaran yang lebih inklusif. Implikasi positifnya diharapkan bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, tetapi juga pemerataan yang lebih adil. Inilah inti dari pembangunan berkelanjutan: rakyat di pusat maupun daerah sama-sama merasakan manfaat negara. Peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengurangan kesenjangan sosial akan menjadi indikator utama keberhasilan kebijakan ini. Pemerintah juga berkomitmen untuk terus memantau dan mengevaluasi dampak kebijakan ini untuk memastikan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan tercapai. Kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil, makmur, dan sejahtera bagi seluruh rakyat Indonesia.