Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menekankan potensi besar optimalisasi sektor pertambangan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Meskipun demikian, Bahlil mengakui bahwa kontribusi sektor ini terhadap PAD belum mencapai potensi maksimalnya. Pernyataan ini disampaikan dalam forum Musyawarah Daerah (Musda) XI DPD Partai Golkar Sulawesi Tengah, yang menjadi platform penting untuk membahas isu-isu strategis pembangunan daerah.
Bahlil menyoroti pertumbuhan ekonomi nasional yang positif, dengan angka 5,12 persen pada kuartal II 2025, serta inflasi yang terjaga di bawah 3 persen. Ia meyakini bahwa Sulawesi Tengah memiliki potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Namun, ia mempertanyakan mengapa PAD belum optimal, dan mengidentifikasi persoalan tambang sebagai salah satu faktor utama. "Pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen, inflasi terjaga di bawah 3 persen. Saya yakin pertumbuhan ekonomi Sulawesi Tengah lebih tinggi. Tapi PAD belum maksimal akibat persoalan tambang ini, betul atau tidak?" ujar Bahlil, memancing diskusi dan mencari validasi atas pengamatannya.
Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan bahwa salah satu langkah strategis pemerintah untuk mengoptimalkan manfaat sumber daya alam adalah melalui hilirisasi tambang. Hilirisasi, yang merupakan program prioritas Presiden Prabowo Subianto, diharapkan dapat memberikan nilai tambah yang signifikan serta pemerataan hasil pembangunan bagi masyarakat daerah. Hilirisasi merupakan proses pengolahan dan pemurnian mineral mentah menjadi produk bernilai jual lebih tinggi, yang dapat meningkatkan pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja.
"Hilirisasi adalah program andalan Bapak Presiden. Kami di Kementerian ESDM bersama Partai Golkar dan koalisi sudah mengubah Undang-Undang Minerba untuk memastikan sumber daya alam benar-benar dikelola untuk kesejahteraan rakyat," jelas Bahlil. Ia menekankan bahwa perubahan regulasi ini bertujuan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat daerah, yang selama ini kurang mendapatkan porsi yang layak dalam pengelolaan sumber daya alam.
Bahlil mengungkapkan bahwa selama ini, Izin Usaha Pertambangan (IUP) lebih banyak dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sementara masyarakat lokal kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi. Ia mengkritik ketidakadilan ini, dan menegaskan komitmennya untuk mengubah paradigma tersebut. "Saya mantan pengusaha, saya tahu rasanya susah mengurus izin dulu. Barang nenek moyang kita, tapi pemegang IUP-nya orang Jakarta semua. Ini tidak adil. Kita ubah supaya anak daerah jadi tuan di negeri sendiri," katanya dengan nada bersemangat.
Dalam konteks ini, Bahlil menyoroti Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba), yang telah mengalami revisi untuk memberikan prioritas IUP kepada koperasi, UMKM, dan BUMD. Skema ini diharapkan dapat membuka jalan bagi masyarakat daerah untuk berperan langsung dalam pengelolaan tambang, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka.
"Kita harus membangun konglo (konglomerat) konglo baru di daerah. Jangan konglonya Jakarta terus. Kita butuh sinergi, sinergitas yang besar. Jangan kota kecilkan, kita pertahankan, kita dorong. Tapi juga kita ingin untuk yang (pengusaha) yang baru muncul. Kalau tidak akan susah untuk mewujudkan pemerataan," ucapnya, menekankan pentingnya kolaborasi dan dukungan terhadap pengusaha lokal.
Selain itu, Bahlil menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti persoalan perizinan yang menghambat peningkatan PAD Sulawesi Tengah. Ia meyakini bahwa jika semua potensi PAD dapat ditarik secara optimal, Sulawesi Tengah dapat memperoleh tambahan pendapatan sebesar Rp 2 triliun. "Kalau semua potensi PAD bisa kita tarik, Sulteng bisa dapat tambahan Rp 2 triliun. Kalau APBD sekarang sekitar Rp 5,5 triliun, tambahan Rp 2 triliun ini akan cukup memperkuat fiskal daerah," kata Bahlil, menggambarkan dampak signifikan dari optimalisasi sektor pertambangan.
Bahlil menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan persoalan tersebut dan membawa laporan langsung kepada Presiden Prabowo. "Saya janji ini jadi tugas utama saya. Saya sudah tahu celahnya. Kita akan pastikan pengelolaan sumber daya alam berjalan baik untuk kesejahteraan rakyat," ujarnya dengan nada optimis.
Sebagai informasi tambahan, revisi keempat atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, atau yang dikenal sebagai UU Minerba, telah disahkan oleh DPR RI pada 18 Februari 2025. UU Minerba memperkenalkan skema pemberian izin tambang (WIUP/IUP) dengan mekanisme prioritas, yang tidak melulu melalui tender. Prioritas diberikan kepada UMKM, Koperasi, BUMD, dan ormas keagamaan.
Sementara untuk perguruan tinggi, IUP diberikan melalui penugasan kepada BUMN/BUMD/swasta dalam konteks pendanaan riset dan beasiswa, bukan mendapatkan tambang langsung. Kemudian BUMN/BUMD/swasta yang mendapatkan IUP digunakan untuk pendalaman hilirisasi dan industrialisasi tambang, serta memperkuat nilai tambah lokal.
Analisis Mendalam dan Implikasi Kebijakan
Pernyataan Bahlil Lahadalia ini bukan sekadar retorika politik, melainkan mencerminkan pemahaman mendalam tentang kompleksitas pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Optimalisasi sektor pertambangan bukan hanya tentang meningkatkan pendapatan daerah, tetapi juga tentang menciptakan keadilan sosial, pemerataan ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan.
Beberapa poin penting yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah:
-
Potensi PAD dan Tantangan Implementasi: Bahlil menyebutkan potensi tambahan PAD sebesar Rp 2 triliun untuk Sulawesi Tengah jika sektor pertambangan dioptimalkan. Angka ini menunjukkan potensi besar yang belum dimanfaatkan. Namun, tantangan implementasi sangat kompleks, termasuk masalah perizinan, konflik lahan, dampak lingkungan, dan kapasitas sumber daya manusia.
-
Hilirisasi sebagai Strategi Kunci: Hilirisasi merupakan strategi kunci untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Dengan mengolah mineral mentah menjadi produk bernilai jual lebih tinggi, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan meningkatkan pendapatan devisa. Hilirisasi juga dapat menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan industri lokal.
-
Keadilan dan Pemerataan: Bahlil menyoroti ketidakadilan dalam pengelolaan IUP, di mana perusahaan-perusahaan besar yang berbasis di Jakarta lebih dominan daripada pengusaha lokal. UU Minerba yang direvisi bertujuan untuk mengatasi ketidakadilan ini dengan memberikan prioritas kepada koperasi, UMKM, dan BUMD. Namun, implementasi kebijakan ini perlu diawasi secara ketat untuk memastikan bahwa manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat daerah.
-
Peran UMKM dan Koperasi: Pemberian prioritas kepada UMKM dan koperasi dalam pengelolaan tambang merupakan langkah positif untuk memberdayakan ekonomi lokal. UMKM dan koperasi memiliki potensi untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif. Namun, mereka juga membutuhkan dukungan teknis, finansial, dan manajerial untuk dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar.
-
Dampak Lingkungan: Optimalisasi sektor pertambangan harus dilakukan dengan memperhatikan dampak lingkungan. Kegiatan pertambangan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi, erosi tanah, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu menerapkan standar lingkungan yang ketat dan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tambang mematuhi peraturan yang berlaku.
-
Tata Kelola yang Baik: Tata kelola yang baik merupakan kunci keberhasilan optimalisasi sektor pertambangan. Pemerintah daerah perlu meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam pengelolaan sumber daya alam. Hal ini dapat mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta memastikan bahwa manfaat sumber daya alam benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis di atas, berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dan pusat:
- Perbaikan Tata Kelola Perizinan: Pemerintah daerah perlu menyederhanakan proses perizinan tambang, meningkatkan transparansi, dan mengurangi birokrasi. Hal ini dapat menarik investasi, meningkatkan pendapatan daerah, dan mencegah praktik korupsi.
- Penguatan Kapasitas UMKM dan Koperasi: Pemerintah daerah perlu memberikan pelatihan teknis, finansial, dan manajerial kepada UMKM dan koperasi agar mereka dapat berpartisipasi secara efektif dalam pengelolaan tambang.
- Pengawasan Lingkungan yang Ketat: Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tambang mematuhi standar lingkungan yang ketat.
- Peningkatan Partisipasi Publik: Pemerintah daerah perlu meningkatkan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam. Hal ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, serta memastikan bahwa kepentingan masyarakat diperhatikan.
- Koordinasi Antar Instansi: Pemerintah daerah dan pusat perlu meningkatkan koordinasi antar instansi terkait pengelolaan sumber daya alam. Hal ini dapat mencegah konflik kepentingan dan memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan selaras dengan tujuan pembangunan nasional.
Kesimpulan
Optimalisasi sektor pertambangan memiliki potensi besar untuk meningkatkan pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Namun, hal ini membutuhkan tata kelola yang baik, kebijakan yang adil, pengawasan lingkungan yang ketat, dan partisipasi publik yang aktif. Dengan menerapkan rekomendasi kebijakan di atas, Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya alamnya secara berkelanjutan dan memberikan manfaat yang maksimal bagi seluruh masyarakat.
Pernyataan Bahlil Lahadalia ini merupakan momentum penting untuk merefleksikan kembali strategi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Dengan komitmen yang kuat dan kerja keras bersama, Indonesia dapat mewujudkan visi pembangunan yang adil, makmur, dan berkelanjutan.