Bapak AI Ramal Terjadi Pengangguran Besar-besaran

  • Maskobus
  • Sep 11, 2025

Geoffrey Hinton, ilmuwan komputer yang dijuluki sebagai Bapak Kecerdasan Buatan (AI) dan penerima Nobel, melontarkan proyeksi yang mengkhawatirkan mengenai dampak revolusioner dari perkembangan pesat AI. Hinton bahkan berpendapat bahwa para pemimpin perusahaan teknologi yang kerap mempromosikan visi masa depan AI yang positif, pada dasarnya sedang menipu diri sendiri dan masyarakat luas.

"Realitas yang akan terjadi adalah orang-orang kaya akan memanfaatkan AI untuk menggantikan tenaga kerja manusia," ungkap Hinton dalam wawancaranya dengan Financial Times. Prediksi ini bukan sekadar ramalan kosong, melainkan sebuah peringatan keras tentang potensi kesenjangan ekonomi yang semakin dalam akibat otomatisasi yang didorong oleh AI.

Hinton melanjutkan, "Hal ini akan memicu pengangguran massal dan lonjakan keuntungan yang luar biasa. Sejumlah kecil orang akan menjadi jauh lebih kaya, sementara mayoritas akan terjerumus ke dalam kemiskinan. Ini bukanlah kesalahan AI itu sendiri, melainkan konsekuensi dari sistem kapitalis yang kita anut."

Meskipun Hinton, yang sebelumnya memimpin tim Google Brain, tidak memberikan kerangka waktu yang spesifik mengenai kapan prediksi ini akan terwujud, ia menekankan bahwa fenomena penggantian peran manusia oleh AI sudah mulai terjadi di berbagai perusahaan besar, yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menanggapi usulan dari CEO OpenAI, Sam Altman, dan tokoh-tokoh lainnya mengenai penerapan pendapatan dasar universal (UBI) sebagai solusi untuk mengatasi pengangguran yang disebabkan oleh AI, Hinton berpendapat bahwa solusi sementara seperti itu tidak akan mampu mengatasi hilangnya martabat manusia dan tujuan hidup akibat PHK. Hinton meyakini bahwa pekerjaan bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga tentang memberikan kontribusi, merasa berguna, dan menjadi bagian dari komunitas.

Bapak AI Ramal Terjadi Pengangguran Besar-besaran

Lebih jauh lagi, Hinton memprediksi bahwa teknologi AI akan mencapai tingkat superintelijen, melampaui kemampuan kognitif manusia terpintar sekalipun. "Konsensus di antara para ilmuwan adalah antara lima hingga 20 tahun. Itulah perkiraan terbaik saat ini," ujarnya.

Ketika ditanya tentang bagaimana generasi muda dapat mempertahankan sikap positif dalam menghadapi era AI yang penuh tantangan, Hinton justru menyarankan agar mereka waspada dan kritis. "Mengapa mereka harus tetap positif? Mungkin mereka akan lebih proaktif jika mereka tidak terlalu positif," katanya.

Hinton mengilustrasikan pandangannya dengan sebuah analogi: "Bayangkan ada invasi alien yang dapat kita lihat melalui teleskop, dan mereka akan tiba dalam 10 tahun. Apakah kita akan bertanya bagaimana cara tetap positif? Tentu tidak. Kita akan bertanya bagaimana cara menghadapi ancaman ini."

"Jika bersikap positif berarti berpura-pura bahwa masalah tidak akan terjadi, maka orang-orang seharusnya tidak bersikap positif," tegas Hinton. Ia menekankan pentingnya kesadaran, kewaspadaan, dan persiapan untuk menghadapi potensi dampak negatif dari AI.

Hinton mengakui bahwa ia mungkin tidak akan hidup cukup lama untuk menyaksikan dampak dahsyat dari AI secara langsung. "Saya berusia 77 tahun, akhir hayat saya sudah dekat," ucapnya. Namun, ia merasa bertanggung jawab untuk menyampaikan peringatan ini kepada dunia, demi mempersiapkan generasi mendatang menghadapi era AI yang penuh ketidakpastian.

Pernyataan Hinton ini memicu perdebatan sengit di kalangan ilmuwan, pengusaha, dan pembuat kebijakan. Beberapa pihak mengkritik pandangannya yang dianggap terlalu pesimistis dan alarmis, sementara yang lain mendukung seruannya untuk bertindak hati-hati dan proaktif dalam menghadapi tantangan AI.

Terlepas dari perbedaan pendapat, satu hal yang pasti adalah bahwa perkembangan AI merupakan isu kompleks yang memerlukan perhatian serius dan diskusi mendalam. Dampak AI akan merambah berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memahami potensi manfaat dan risiko AI, serta berupaya untuk mengarahkan perkembangannya ke arah yang positif dan berkelanjutan.

Peringatan dari Bapak AI ini menjadi pengingat yang kuat bahwa kita tidak boleh terlena dengan janji-janji manis teknologi. Kita harus tetap kritis, waspada, dan siap menghadapi konsekuensi yang mungkin timbul dari kemajuan AI. Masa depan ada di tangan kita, dan kita harus memastikan bahwa AI digunakan untuk kebaikan umat manusia, bukan sebaliknya.

Implikasi dari prediksi Hinton sangat luas. Jika benar AI akan menggantikan banyak pekerjaan, maka sistem pendidikan harus diubah secara radikal. Keterampilan yang relevan di masa depan mungkin bukan lagi keterampilan teknis yang mudah digantikan oleh AI, melainkan keterampilan lunak seperti kreativitas, pemecahan masalah kompleks, berpikir kritis, dan kecerdasan emosional.

Selain itu, pemerintah dan organisasi internasional perlu memikirkan ulang sistem jaminan sosial. Jika pengangguran massal menjadi kenyataan, maka UBI mungkin menjadi solusi yang tak terhindarkan, meskipun Hinton meragukan efektivitasnya dalam jangka panjang. Perlu dicari cara untuk memberikan makna dan tujuan hidup kepada orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat AI.

Lebih jauh lagi, perlu ada regulasi yang ketat terhadap pengembangan dan penerapan AI. Kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada pasar bebas, karena dikhawatirkan hanya akan memperburuk kesenjangan ekonomi dan sosial. AI harus dikembangkan dan digunakan untuk kepentingan publik, bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang.

Penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang AI. Banyak orang masih belum memahami apa itu AI, bagaimana cara kerjanya, dan apa dampaknya bagi kehidupan mereka. Edukasi publik yang luas dan komprehensif sangat penting untuk memastikan bahwa masyarakat dapat membuat keputusan yang informed tentang AI.

Peringatan Hinton adalah panggilan untuk bertindak. Kita tidak bisa lagi menunda-nunda diskusi tentang masa depan AI. Kita harus mulai mengambil langkah-langkah konkret untuk mempersiapkan diri menghadapi era AI yang penuh tantangan dan peluang. Masa depan ada di tangan kita, dan kita harus memastikan bahwa AI digunakan untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua.

Dalam menghadapi era AI yang semakin canggih, penting bagi kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Empati, kasih sayang, keadilan, dan kesetaraan harus menjadi landasan dalam pengembangan dan penerapan AI. Kita tidak boleh membiarkan teknologi menggerus nilai-nilai ini, tetapi sebaliknya, kita harus menggunakannya untuk memperkuatnya.

Hinton mungkin benar bahwa kita sedang menuju masa depan yang suram, tetapi bukan berarti kita harus menyerah. Dengan kesadaran, kewaspadaan, dan tindakan yang tepat, kita masih dapat membentuk masa depan AI sesuai dengan visi kita tentang dunia yang lebih baik. Ini adalah tantangan terbesar yang kita hadapi, dan kita harus menghadapinya bersama-sama.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :