Beda Aturan RI Vs Taiwan, Sisi Lain Gaduh Residu Pestisida dalam Mi Instan

  • Maskobus
  • Sep 12, 2025

Kasus penolakan produk mi instan asal Indonesia di Taiwan, khususnya varian Indomie Mi Instan Rasa Soto Banjar Limau Kuit, oleh Food and Drug Administration (FDA) Taiwan akibat temuan etilen oksida (EtO), telah memicu perdebatan dan kekhawatiran. Temuan ini menyoroti perbedaan standar keamanan pangan antara Indonesia dan Taiwan, serta implikasinya terhadap kesehatan konsumen dan reputasi produk Indonesia di pasar internasional.

Etilen Oksida: Senyawa Kontroversial dalam Industri Pangan

Etilen oksida (EtO) adalah senyawa kimia berbentuk gas, tidak berwarna, dengan bau menyerupai eter. Rumus kimianya adalah C2H4O. EtO dikenal sebagai senyawa yang reaktif dan mudah terbakar. Dalam industri, EtO banyak digunakan untuk sterilisasi alat medis, membasmi mikroorganisme, dan sebagai bahan baku dalam produksi berbagai bahan kimia.

Keunggulan EtO terletak pada kemampuannya menembus bahan berpori dan membunuh bakteri, jamur, dan virus tanpa memerlukan suhu tinggi. Hal ini menjadikannya pilihan populer untuk sterilisasi produk yang sensitif terhadap panas.

Peran EtO dalam Industri Pangan: Fumigasi dan Sterilisasi

Beda Aturan RI Vs Taiwan, Sisi Lain Gaduh Residu Pestisida dalam Mi Instan

Dalam industri pangan, EtO sering digunakan sebagai agen fumigasi. Fumigasi bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang dapat menurunkan mutu produk, terutama pada rempah-rempah, herba, dan bumbu kering. Pemanasan bumbu dapat merusak aroma dan cita rasa, sehingga sterilisasi dengan EtO menjadi alternatif untuk menjaga kualitas produk.

Namun, penggunaan EtO tidak tanpa risiko. Jika proses aerasi (penghilangan gas sisa) tidak dilakukan dengan sempurna, EtO dapat meninggalkan residu berbahaya. EtO dapat bereaksi dengan ion klorida yang terkandung dalam pangan, membentuk 2-kloroetanol (2-CE), senyawa yang juga berbahaya.

Bagaimana EtO Bisa Mencemari Mi Instan?

Menurut laporan FDA Taiwan, residu EtO ditemukan pada bumbu penyedap mi instan, bukan pada mie itu sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa proses sterilisasi menggunakan EtO kemungkinan besar dilakukan pada rempah atau bumbu untuk mencegah kontaminasi bakteri.

Dalam kondisi ideal, sisa EtO akan hilang setelah bumbu didiamkan beberapa waktu atau saat dimasak. Namun, jika yang ditemukan adalah 2-kloroetanol (2-CE), penghilangan kadar 2-CE memerlukan suhu yang sangat tinggi, antara 430-496 derajat Celcius, seperti yang tercantum dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 229 Tahun 2022.

Bahaya EtO bagi Kesehatan Manusia

International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan etilen oksida sebagai karsinogen bagi manusia (kelompok 1). Paparan jangka panjang terhadap EtO dapat meningkatkan risiko berbagai jenis kanker, termasuk leukemia, limfoma, dan kanker payudara.

Selain itu, EtO dapat berubah menjadi senyawa lain yang disebut 2-chloroethanol (2-CE), yang juga bersifat toksik. Karena bahayanya, banyak negara menerapkan kebijakan nol toleransi terhadap EtO dalam makanan.

Perbedaan Standar: Taiwan vs. Indonesia

Salah satu poin penting dalam kasus ini adalah perbedaan regulasi antara Taiwan dan Indonesia terkait residu EtO. Taiwan melarang total residu EtO pada produk pangan. Sementara itu, Indonesia (BPOM) memisahkan persyaratan antara EtO dan 2-CE. Batas maksimal residu EtO yang diizinkan adalah 0,01 mg/kg, sedangkan untuk 2-CE adalah 85 ppm (85 mg/kg).

Perbedaan standar ini menyebabkan produk yang dianggap aman di Indonesia bisa ditolak di negara lain. Perbedaan regulasi seringkali menimbulkan kontroversi, terutama ketika produk ekspor diuji dengan standar yang lebih ketat. Hal ini menggarisbawahi pentingnya harmonisasi standar keamanan pangan di tingkat internasional.

Mengapa Kasus Ini Menjadi Viral?

Kasus temuan EtO pada mi instan asal Indonesia menjadi viral karena beberapa faktor:

  • Popularitas Mi Instan: Mi instan adalah makanan pokok bagi banyak masyarakat Indonesia dan populer di seluruh dunia. Isu keamanan pangan pada produk yang dikonsumsi sehari-hari tentu menimbulkan kekhawatiran.
  • Kredibilitas Lembaga Pengawas: Temuan ini berasal dari FDA Taiwan, lembaga yang diakui kredibilitasnya dalam pengawasan keamanan pangan.
  • Perbedaan Standar: Perbedaan standar antara Indonesia dan Taiwan menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pengawasan keamanan pangan di Indonesia.
  • Potensi Risiko Kesehatan: Kekhawatiran tentang potensi risiko kesehatan akibat paparan EtO, termasuk risiko kanker, meningkatkan perhatian publik.

Kabar tentang EtO pada mi instan asal Indonesia menyebar dengan cepat dan menimbulkan kecemasan di kalangan konsumen. Banyak yang khawatir apakah produk yang mereka beli di toko juga mengandung EtO, meskipun BPOM telah menyatakan bahwa produk yang beredar di dalam negeri aman.

Langkah Bijak bagi Konsumen

Sebagai konsumen, ada beberapa langkah bijak yang dapat dilakukan:

  • Pantau Informasi Resmi: Ikuti perkembangan informasi dari sumber resmi seperti BPOM dan lembaga kesehatan terkait.
  • Periksa Label Produk: Perhatikan label produk dan informasi komposisi.
  • Konsumsi Secukupnya: Batasi konsumsi mi instan dan variasikan dengan makanan bergizi lainnya.
  • Pilih Produk dengan Bijak: Pertimbangkan untuk memilih produk yang memiliki sertifikasi keamanan pangan yang terpercaya.
  • Laporkan Kecurigaan: Jika menemukan produk yang mencurigakan, laporkan kepada pihak berwenang.

Kesimpulan: Perlunya Pengawasan dan Transparansi

Kasus Indomie Soto Banjar Limau Kuit yang ditolak di Taiwan adalah pengingat penting tentang pentingnya pengawasan ketat dan transparansi dalam industri pangan. Perbedaan standar keamanan pangan antarnegara dapat menimbulkan polemik dan merugikan konsumen.

Etilen oksida memang bermanfaat untuk sterilisasi, tetapi keberadaannya dalam makanan berisiko bagi kesehatan jika dikonsumsi secara terus-menerus. Isu ini harus menjadi momentum untuk meningkatkan pengawasan, memperkuat regulasi, dan meningkatkan kesadaran konsumen tentang pentingnya memilih makanan yang aman dan sehat.

BPOM perlu meningkatkan pengawasan terhadap produk makanan yang beredar di pasaran, termasuk melakukan pengujian secara berkala untuk memastikan tidak ada kandungan bahan berbahaya yang melebihi batas yang diizinkan. Selain itu, perlu ada upaya harmonisasi standar keamanan pangan dengan negara lain untuk memastikan produk Indonesia dapat diterima di pasar internasional.

Industri pangan juga perlu meningkatkan transparansi dalam proses produksi dan penggunaan bahan-bahan kimia. Informasi yang jelas dan akurat kepada konsumen akan meningkatkan kepercayaan dan membantu konsumen membuat pilihan yang tepat.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya peran Codex Alimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi internasional di bawah WHO/FAO untuk segera mengatur batas maksimal residu EtO dalam makanan. Standar internasional yang jelas akan membantu mengurangi perbedaan regulasi antarnegara dan melindungi kesehatan konsumen di seluruh dunia.

Dengan pengawasan yang ketat, regulasi yang kuat, dan kesadaran konsumen yang tinggi, kita dapat memastikan bahwa produk makanan yang beredar di pasaran aman dan sehat untuk dikonsumsi.

Catatan Redaksi:

Dalam keterangan resminya, BPOM RI menyampaikan penjelasan produsen bahwa produk mi instan yang bermasalah di Taiwan bukan merupakan ekspor resmi. Diduga, ekspor dilakukan oleh trader dan tanpa sepengetahuan produsen.

Berdasarkan penelusuran data registrasi, BPOM RI juga menegaskan produk tersebut memiliki izin edar sehingga dapat diedarkan di Indonesia. BPOM juga memastikan produk tersebut tetap dapat dikonsumsi.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :