Berburu di Hutan Timor Leste, WNI Asal Belu Ditemukan Tewas dengan Luka Tembak

  • Maskobus
  • Aug 21, 2025

Kematian seorang Warga Negara Indonesia (WNI) berinisial AB di wilayah Fatumea, Distrik Covalima, Timor Leste, telah memicu serangkaian pertanyaan dan penyelidikan mendalam. AB, yang berasal dari Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), ditemukan tak bernyawa dengan luka tembak, memunculkan dugaan kuat adanya insiden kekerasan yang merenggut nyawanya. Kasus ini tidak hanya menjadi perhatian pihak berwenang di Indonesia dan Timor Leste, tetapi juga menyoroti isu perlintasan perbatasan ilegal dan aktivitas berburu yang berpotensi melanggar hukum di wilayah tersebut.

Kabar duka mengenai tewasnya AB sampai ke telinga Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Dili pada tanggal 17 Agustus 2025. Informasi ini kemudian ditindaklanjuti dengan koordinasi intensif antara KBRI Dili, Kepolisian Resor (Polres) Belu, dan Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) RI. Hasil koordinasi tersebut mengungkap fakta bahwa AB bersama dengan 19 WNI lainnya telah memasuki wilayah Hutan Fatumea, Timor Leste, pada tanggal 16 Agustus 2025. Hutan Fatumea sendiri merupakan area perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, yang seringkali menjadi jalur lalu lintas ilegal.

Menurut keterangan dari Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Judha Nugraha, rombongan WNI tersebut memasuki wilayah Timor Leste melalui jalur ilegal dengan tujuan berburu hewan liar, seperti babi hutan dan ayam hutan. Sesampainya di dalam hutan, rombongan tersebut kemudian terpecah menjadi empat kelompok yang lebih kecil.

Pada tengah malam, suasana hutan yang sunyi tiba-tiba dikejutkan oleh suara tembakan. Mendengar suara tersebut, para WNI yang tengah berburu panik dan berhamburan melarikan diri kembali ke wilayah Indonesia. Namun, setelah dilakukan pengecekan, diketahui bahwa AB tidak ikut kembali bersama rombongan.

Berburu di Hutan Timor Leste, WNI Asal Belu Ditemukan Tewas dengan Luka Tembak

Pencarian terhadap AB segera dilakukan keesokan harinya. Sayangnya, upaya pencarian tersebut membuahkan hasil yang tragis. AB ditemukan dalam kondisi tak bernyawa dengan luka tembak di tubuhnya. Jenazah AB kemudian dievakuasi dan dibawa ke Atambua, ibu kota Kabupaten Belu.

Terdapat fakta menarik yang terungkap dalam kasus ini. Sejak hilangnya AB, pihak keluarga dan rekan-rekan almarhum ternyata tidak melaporkan kejadian ini kepada pihak berwenang, baik di Indonesia maupun Timor Leste. Selain itu, seluruh proses evakuasi jenazah AB juga dilakukan secara mandiri oleh pihak keluarga.

Keputusan keluarga untuk tidak melaporkan kejadian ini kepada pihak berwenang dan melakukan evakuasi jenazah secara mandiri menimbulkan sejumlah kendala dalam proses penyelidikan. Salah satunya adalah penolakan keluarga untuk dilakukan otopsi terhadap jenazah AB. Akibatnya, penyebab pasti kematian AB menjadi sulit untuk dipastikan secara medis. Jenazah AB sendiri telah dimakamkan oleh pihak keluarga.

Meskipun demikian, KBRI Dili terus berupaya untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum di Timor Leste, Polres Belu, dan Satgas Pamtas RI untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terkait kasus ini. Pihak berwenang Timor Leste juga telah menghubungi KBRI Dili untuk meminta informasi tambahan yang dapat membantu mengungkap fakta-fakta di balik kematian AB.

Kementerian Luar Negeri RI melalui Direktur Perlindungan WNI, Judha Nugraha, mengimbau kepada seluruh WNI untuk tidak melakukan aktivitas berburu dengan melintasi perbatasan RI-Timor Leste secara ilegal. Tindakan tersebut tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga dapat membahayakan keselamatan diri sendiri.

Kasus tewasnya AB di Hutan Fatumea, Timor Leste, menjadi pengingat akan sejumlah permasalahan kompleks yang terkait dengan wilayah perbatasan. Pertama, isu perlintasan perbatasan ilegal masih menjadi tantangan serius yang perlu diatasi. Perlintasan ilegal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi menimbulkan berbagai masalah keamanan dan sosial.

Kedua, aktivitas berburu di wilayah perbatasan, khususnya yang dilakukan secara ilegal, dapat memicu konflik dengan masyarakat setempat dan aparat penegak hukum. Selain itu, aktivitas berburu juga dapat mengancam kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut.

Ketiga, kasus ini menyoroti pentingnya kesadaran hukum dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. WNI yang hendak melakukan aktivitas di wilayah perbatasan harus memastikan bahwa mereka telah memenuhi semua persyaratan dan prosedur yang diperlukan.

Pemerintah Indonesia dan Timor Leste perlu meningkatkan kerja sama dalam menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah perbatasan. Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan patroli bersama, pertukaran informasi, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pelanggaran perbatasan.

Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat di wilayah perbatasan mengenai pentingnya menjaga keamanan, ketertiban, dan kelestarian lingkungan. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang komprehensif mengenai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan risiko yang terkait dengan aktivitas ilegal di wilayah perbatasan.

Kasus tewasnya AB di Hutan Fatumea, Timor Leste, harus menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak. Perlu adanya kesadaran dan tanggung jawab bersama untuk menjaga keamanan, ketertiban, dan kelestarian lingkungan di wilayah perbatasan. Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan aparat penegak hukum, diharapkan kejadian serupa tidak terulang kembali di masa depan.

Penyelidikan mendalam terhadap kasus ini sangat penting untuk mengungkap fakta-fakta yang sebenarnya dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan. Pihak berwenang di Indonesia dan Timor Leste perlu bekerja sama secara transparan dan profesional untuk mengungkap penyebab kematian AB dan memastikan bahwa pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya.

Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan perhatian dan dukungan kepada keluarga AB yang ditinggalkan. Dukungan psikologis dan sosial dapat membantu keluarga AB untuk mengatasi kesedihan dan trauma akibat kehilangan orang yang dicintai.

Kasus ini juga menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem pengawasan dan pengamanan perbatasan. Perlu adanya peningkatan teknologi dan sumber daya manusia untuk memastikan bahwa perbatasan dapat dijaga dengan efektif dan efisien.

Pemerintah juga perlu menjalin komunikasi yang lebih baik dengan masyarakat di wilayah perbatasan. Dialog dan musyawarah dapat membantu membangun kepercayaan dan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah perbatasan.

Kasus tewasnya AB di Hutan Fatumea, Timor Leste, adalah tragedi yang seharusnya tidak terjadi. Dengan kerja sama yang baik antara semua pihak, diharapkan wilayah perbatasan dapat menjadi wilayah yang aman, damai, dan sejahtera bagi seluruh masyarakat.

Penting untuk diingat bahwa perbatasan bukanlah wilayah yang terpisah dari kehidupan masyarakat. Perbatasan adalah bagian integral dari wilayah negara yang perlu dijaga dan dilindungi bersama. Dengan kesadaran dan tanggung jawab bersama, kita dapat mewujudkan perbatasan yang aman, damai, dan sejahtera bagi seluruh masyarakat.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :