Bursa saham Indonesia menutup sesi perdagangan pertama di bulan September 2025 dengan penurunan tipis, namun sentimen pasar menunjukkan potensi rebound didorong ekspektasi penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI). Pada penutupan Kamis, 4 September 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,23% ke level 7.867. Meskipun demikian, posisi ini masih lebih tinggi hampir 40 poin dibandingkan penutupan pekan sebelumnya, yang sempat mencatatkan rekor tertinggi di level 8.023 pada Kamis, 28 Agustus 2025. Arus modal asing tercatat keluar (outflow) dari pasar ekuitas sebesar USD236 juta dalam sepekan terakhir.
Dalam laporan Weekly Commentary yang dirilis oleh PT Ashmore Asset Management Indonesia, terungkap sejumlah peristiwa penting yang mewarnai dinamika pasar selama sepekan terakhir. Laporan tersebut menyoroti kinerja sektor, pergerakan aset, serta perkembangan ekonomi global dan domestik yang memengaruhi sentimen investor.
Kinerja Sektoral dan Aset
Ashmore mencatat bahwa sektor Industri dan Consumer Cyclicals mencatatkan kinerja terbaik selama sepekan, masing-masing melonjak sebesar 5,09% dan 4,83%. Sebaliknya, sektor Infrastruktur dan Teknologi menjadi laggard dengan penurunan masing-masing sebesar 2,01% dan 0,63%.
Dari sisi aset, Bitcoin memimpin penguatan dengan kenaikan 2,83%, diikuti oleh harga emas yang naik 2,73%. Sementara itu, indeks CSI 300 dan Indeks Shanghai Composite mengalami koreksi masing-masing sebesar 2,93% dan 2,39%.
Sorotan Ekonomi Global
Di Amerika Serikat (AS), data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur menunjukkan angka yang lebih lemah dari perkiraan, meskipun masih menunjukkan perbaikan dibandingkan bulan sebelumnya. Kondisi ini menandai kontraksi selama enam bulan berturut-turut akibat penurunan produksi. Jumlah lowongan kerja di AS juga turun ke level terendah sejak September tahun lalu, terutama di sektor kesehatan dan bantuan sosial. Kanada mencatat perbaikan PMI manufaktur, namun tetap berada dalam zona kontraksi selama tujuh bulan berturut-turut.
Di Eropa, PMI konstruksi Inggris juga masih terkontraksi selama delapan bulan berturut-turut. Indeks harga rumah di Inggris naik hanya 2,1% secara tahunan (YoY), lebih rendah dari konsensus. Inflasi utama tahunan di Kawasan Eropa terus meningkat, didorong oleh harga pangan tak olahan, meskipun biaya energi mengalami penurunan.
Sementara itu, di China, PMI manufaktur meningkat secara tak terduga, menunjukkan ekspansi tercepat sejak Maret. PMI jasa mencatat ekspansi terkuat sejak Mei tahun lalu.
Kondisi Ekonomi Indonesia
Di Indonesia, inflasi tahunan sedikit melambat, namun masih berada dalam target Bank Indonesia (BI). Surplus perdagangan juga mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu.
Kejelasan yang Semakin Baik
Ashmore menilai bahwa rilis data ekonomi AS minggu ini relatif beragam (mixed). Meskipun ISM Manufaktur Agustus masih dalam kontraksi, pasar saham AS tetap ditopang oleh saham-saham teknologi besar. Pelemahan data pasar tenaga kerja AS memperkuat keyakinan ekonom atas pemangkasan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed) pada September, dengan probabilitas 97% untuk satu kali pemangkasan dan ekspektasi dua kali pemangkasan hingga Desember tahun ini.
Namun, Ashmore melihat arah kebijakan suku bunga The Fed tetap volatil di tengah ketidakpastian terkait potensi pencopotan pejabat The Fed oleh Trump yang mengancam netralitas politik bank sentral, serta tekanan inflasi dari kebijakan perdagangan. Yield US Treasury tenor 2 tahun turun ke 3,60% (turun 78 bps dari puncaknya tahun ini), sedangkan tenor 10 tahun turun lebih lambat ke 4,18% (turun 60 bps dari puncaknya).
Di dalam negeri, Ashmore mencatat bahwa Indonesia menghadapi gejolak politik akibat meningkatnya ketidakpuasan masyarakat. Namun, adanya tuntutan yang jelas dan dimulainya dialog dengan pembuat kebijakan memberikan perkembangan positif. Pasar sempat bergejolak di awal pekan, namun tidak terjadi panic selling ataupun circuit breaker (penurunan 8% dalam satu hari).
"Bahkan, indeks saham utama Indonesia mencatat kenaikan sejak akhir pekan lalu," tulis Ashmore. Bank Indonesia (BI) juga turun tangan menopang nilai tukar Rupiah, menjaga stabilitas di bawah level 16.500. Yield obligasi pemerintah naik, dengan 10Y IndoGB kembali ke sekitar 6,4% dan 2Y IndoGB ke 5,3%.
"Secara keseluruhan, kondisi politik domestik masih menunjukkan sikap wait and see terhadap langkah-langkah yang mungkin diambil sebagai respons atas tuntutan yang disampaikan. Namun, pasar sudah mengambil posisi defensif dan menunjukkan respons yang tangguh dengan volatilitas yang relatif moderat," Ashmore menambahkan.
Peluang Pemangkasan Suku Bunga BI
Sejalan dengan ekspektasi pemangkasan suku bunga AS, Ashmore menilai masih ada kemungkinan kuat untuk pemangkasan suku bunga lebih lanjut oleh Bank Indonesia (BI) tahun ini. Ekonom memperkirakan akan ada pemangkasan tambahan sebesar 50 bps hingga akhir tahun, mengingat inflasi dan nilai tukar Rupiah tetap berada dalam kendali bank sentral.
Potensi Re-rating Saham dan Obligasi
Sambil terus memantau perkembangan kondisi, Ashmore mengingatkan bahwa aksi jual besar biasanya dimulai dari instrumen yang sangat likuid seperti saham dan obligasi, sehingga harga-harga instrumen tersebut tertekan pekan ini. "Ketika pasar kembali ke sikap risk-on, instrumen ini pula yang berpotensi mengalami re-rating terkuat," pungkas Ashmore.
Dengan kata lain, penurunan harga saham dan obligasi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk mengakumulasi aset dengan harga yang lebih menarik, mengingat potensi rebound ketika sentimen pasar membaik dan risiko mereda. Ekspektasi penurunan suku bunga BI juga menjadi katalis positif yang dapat mendorong kinerja pasar saham dan obligasi dalam beberapa bulan mendatang. Investor perlu mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik, serta kebijakan moneter BI, untuk mengambil keputusan investasi yang tepat. Diversifikasi portofolio juga penting untuk mengurangi risiko dan memaksimalkan potensi keuntungan.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa pasar modal selalu memiliki risiko. Volatilitas pasar dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk sentimen investor, perkembangan politik, dan perubahan kebijakan. Oleh karena itu, investor harus selalu berhati-hati dan melakukan riset yang mendalam sebelum berinvestasi. Konsultasi dengan penasihat keuangan juga disarankan untuk mendapatkan saran yang sesuai dengan profil risiko dan tujuan investasi masing-masing.
Secara keseluruhan, laporan Ashmore memberikan gambaran yang komprehensif tentang kondisi pasar modal Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ekspektasi penurunan suku bunga BI menjadi sentimen positif yang dapat mendorong kinerja pasar saham dan obligasi dalam beberapa bulan mendatang. Namun, investor perlu tetap berhati-hati dan memperhatikan risiko yang ada sebelum mengambil keputusan investasi.