Keputusan kontroversial mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk mengenakan biaya USD 100.000 (sekitar Rp 1,6 miliar) pada visa H1-B bagi pekerja asing terampil, terus menuai perdebatan dan analisis mendalam. Kebijakan ini, yang secara drastis meningkatkan biaya visa H-1B hingga 60 kali lipat dari tarif sebelumnya, awalnya digadang-gadang sebagai upaya untuk mendorong perusahaan-perusahaan Amerika untuk lebih memprioritaskan perekrutan tenaga kerja lokal. Namun, dampaknya jauh lebih kompleks dan berpotensi merugikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dalam jangka panjang.
Kenaikan biaya visa H-1B ini menjadi pukulan telak bagi perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, terutama yang berpusat di Silicon Valley. Perusahaan-perusahaan ini sangat bergantung pada visa H-1B untuk merekrut insinyur, ilmuwan, dan programmer berkualitas tinggi dari berbagai belahan dunia, terutama dari India. Atakan Bakiskan, seorang ekonom terkemuka di bank investasi Berenberg, secara tegas menyatakan bahwa langkah ini merupakan contoh nyata dari kebijakan anti-pertumbuhan yang diterapkan oleh pemerintahan Trump.
"Dengan membuat perekrutan talenta asing menjadi sangat mahal bagi perusahaan, dan dengan memaksa sebagian mahasiswa internasional untuk meninggalkan negara itu setelah lulus, brain drain akan sangat membebani produktivitas Amerika," tegas Bakiskan, sebagaimana dikutip dari laporan The Guardian pada tanggal 23 September 2025. Pernyataan ini menyoroti kekhawatiran serius mengenai potensi hilangnya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi akibat kebijakan imigrasi yang ketat.
Hilangnya sumber daya manusia yang kompeten dan inovatif akibat kebijakan imigrasi yang restriktif seperti ini dinilai akan berdampak negatif terhadap daya saing Amerika Serikat di pasar global. Bakiskan menambahkan, "Secara keseluruhan, erosi kepercayaan terhadap institusi, hilangnya SDM, tarif, ketidakpastian kronis, dan kebijakan fiskal yang tidak berkelanjutan dapat meningkatkan risiko krisis keuangan di AS." Pernyataan ini menggarisbawahi potensi konsekuensi yang lebih luas dari kebijakan yang tampaknya hanya berdampak pada sektor teknologi.
Pengumuman awal mengenai kenaikan biaya visa H-1B sempat memicu kekacauan dan kebingungan di kalangan pelaku industri teknologi. Beberapa perusahaan di Silicon Valley bahkan mengeluarkan imbauan kepada staf mereka untuk menunda perjalanan ke luar negeri sampai situasinya lebih jelas. Gedung Putih kemudian memberikan klarifikasi bahwa biaya baru yang lebih tinggi hanya berlaku untuk pelamar baru dan hanya dibayarkan satu kali, yang sedikit meredakan kekhawatiran.
Kathleen Brooks, direktur riset di broker XTB, mengungkapkan data menarik mengenai perusahaan-perusahaan yang paling banyak menggunakan visa H-1B. "Amazon memiliki jumlah pekerja tertinggi dengan visa H-1B, diikuti oleh Microsoft, Meta, Apple, dan Google," ungkap Brooks. "Meskipun perusahaan-perusahaan ini memiliki sumber daya finansial yang cukup untuk membayar biaya visa yang baru, sektor lain yang juga bergantung pada visa H-1B mungkin akan mengalami kesulitan dalam proses rekrutmen di masa mendatang, misalnya sektor perawatan kesehatan dan pendidikan." Analisis ini menyoroti potensi dampak yang tidak merata dari kebijakan ini di berbagai sektor ekonomi.
Data menunjukkan bahwa pada paruh pertama tahun 2025, Amazon mendapatkan persetujuan untuk lebih dari 10.000 visa H-1B, sementara Microsoft dan Meta masing-masing memperoleh lebih dari 5.000 persetujuan. Program H-1B secara tradisional menawarkan 65.000 visa setiap tahun kepada pemberi kerja yang ingin mendatangkan pekerja asing sementara di bidang-bidang khusus yang membutuhkan keahlian tinggi. Selain itu, ada tambahan 20.000 visa yang dialokasikan untuk pekerja dengan gelar akademik lanjutan.
India telah lama menjadi penerima manfaat terbesar dari program visa H-1B, mencakup sekitar 71% dari total visa yang disetujui pada tahun sebelumnya. Pemerintah India telah secara resmi menyampaikan kekhawatiran mereka mengenai aturan baru ini, memperingatkan bahwa kebijakan tersebut akan memiliki konsekuensi kemanusiaan yang signifikan terkait dengan gangguan bagi banyak keluarga yang bergantung pada program visa H-1B.
Namun, di balik kontroversi dan potensi dampak negatif, kebijakan ini juga memicu perdebatan mengenai perlunya Amerika Serikat untuk lebih fokus pada pengembangan talenta lokal dan mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing. Beberapa pihak berpendapat bahwa kenaikan biaya visa H-1B dapat mendorong perusahaan-perusahaan Amerika untuk berinvestasi lebih banyak dalam pelatihan dan pendidikan tenaga kerja lokal, sehingga menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja Amerika.
Selain itu, kebijakan ini juga dapat mendorong individu-individu yang sangat terampil dan memiliki kemampuan finansial untuk mencari alternatif lain selain Amerika Serikat sebagai tujuan karir mereka. Negara-negara lain, seperti Kanada, Australia, dan beberapa negara Eropa, menawarkan program imigrasi yang lebih ramah dan biaya hidup yang lebih terjangkau, sehingga menjadi pilihan yang menarik bagi para profesional muda yang ingin mengembangkan karir mereka di luar negeri.
Dalam jangka panjang, kebijakan kenaikan biaya visa H-1B dapat memicu perubahan lanskap global dalam hal persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik. Negara-negara yang mampu menawarkan lingkungan yang kondusif bagi inovasi, kesempatan karir yang menarik, dan biaya hidup yang terjangkau akan memiliki keunggulan kompetitif dalam menarik dan mempertahankan talenta-talenta terbaik dari seluruh dunia.
Bagi para profesional muda yang memiliki keahlian dan kualifikasi yang tinggi, kenaikan biaya visa H-1B dapat menjadi pendorong untuk mempertimbangkan alternatif lain selain Amerika Serikat. Dengan biaya visa yang mencapai Rp 1,6 miliar, banyak orang yang mungkin akan berpikir dua kali sebelum memutuskan untuk mengejar karir di Amerika Serikat. Mereka mungkin akan lebih memilih untuk mencari kesempatan di negara-negara lain yang menawarkan program imigrasi yang lebih mudah dan biaya hidup yang lebih terjangkau.
Selain itu, perkembangan teknologi yang pesat juga memungkinkan para profesional untuk bekerja dari jarak jauh dan berkolaborasi dengan tim di seluruh dunia. Hal ini berarti bahwa mereka tidak perlu lagi pindah ke Amerika Serikat untuk bekerja dengan perusahaan-perusahaan Amerika. Mereka dapat bekerja dari negara asal mereka dan tetap memberikan kontribusi yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan Amerika.
Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah Amerika Serikat untuk mempertimbangkan kembali kebijakan imigrasi mereka dan mencari solusi yang lebih seimbang yang dapat menarik talenta terbaik dari seluruh dunia tanpa membebani perusahaan-perusahaan Amerika dengan biaya yang terlalu tinggi. Kebijakan imigrasi yang cerdas dan fleksibel akan membantu Amerika Serikat untuk mempertahankan posisinya sebagai pusat inovasi dan teknologi global.
Sebagai kesimpulan, kebijakan kenaikan biaya visa H-1B yang diterapkan oleh pemerintahan Trump memiliki dampak yang kompleks dan berpotensi merugikan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dalam jangka panjang. Kebijakan ini dapat mendorong perusahaan-perusahaan Amerika untuk lebih fokus pada pengembangan talenta lokal, tetapi juga dapat menyebabkan hilangnya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan memicu perubahan lanskap global dalam hal persaingan untuk mendapatkan talenta terbaik. Bagi para profesional muda yang memiliki keahlian dan kualifikasi yang tinggi, kenaikan biaya visa H-1B dapat menjadi pendorong untuk mempertimbangkan alternatif lain selain Amerika Serikat sebagai tujuan karir mereka. Pemerintah Amerika Serikat perlu mempertimbangkan kembali kebijakan imigrasi mereka dan mencari solusi yang lebih seimbang yang dapat menarik talenta terbaik dari seluruh dunia tanpa membebani perusahaan-perusahaan Amerika dengan biaya yang terlalu tinggi.