Bikin Kaget! Rupiah Paling Perkasa di Asia Hari Ini, Won Hancur Lebur

  • Maskobus
  • Sep 01, 2025

Jakarta, CNBC Indonesia – Di tengah gejolak ekonomi global yang tak menentu, mata uang Asia menunjukkan dinamika yang beragam pada perdagangan Senin, 1 September 2025. Rupiah Indonesia, secara mengejutkan, tampil sebagai yang terkuat di antara para pesaingnya, sementara won Korea Selatan justru mengalami tekanan paling berat. Fenomena ini memicu perdebatan di kalangan analis mengenai faktor-faktor yang mendorong kinerja kontras kedua mata uang tersebut.

Menurut data dari Refinitiv, pada pukul 09.10 WIB, rupiah berhasil mencatatkan kenaikan tipis sebesar 0,09%, mencapai level Rp16.470 per dolar AS. Kinerja positif ini terbilang luar biasa mengingat situasi politik dalam negeri yang sedang memanas akibat serangkaian aksi demonstrasi yang menuntut perubahan kebijakan. Para pengamat pasar menilai bahwa stabilitas rupiah dapat dipertahankan berkat intervensi aktif dari Bank Indonesia (BI). Bank sentral secara konsisten melakukan upaya untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tidak terombang-ambing oleh sentimen negatif.

"Intervensi BI menjadi jangkar yang menahan rupiah dari guncangan eksternal maupun internal," kata David Sumual, ekonom dari Bank Central Asia. "Namun, ini bukan solusi jangka panjang. Pemerintah perlu segera meredakan tensi politik dan mempercepat reformasi struktural untuk memperkuat fundamental ekonomi."

Di sisi lain, won Korea Selatan mengalami nasib yang kurang beruntung. Mata uang Negeri Ginseng ini menjadi yang terlemah di Asia dengan pelemahan sebesar 0,25%, mencapai level 1.392,28 per dolar AS. Pelemahan won ini mengindikasikan adanya kekhawatiran pasar terhadap prospek ekonomi Korea Selatan yang sedang menghadapi tantangan eksternal yang signifikan, terutama terkait dengan perlambatan ekonomi global dan ketegangan geopolitik di kawasan.

Tidak hanya won, mata uang Asia lainnya juga turut tertekan. Yen Jepang melemah 0,1% ke level 147,16 per dolar AS, ringgit Malaysia turun 0,19% ke posisi 4,22 per dolar AS, dan peso Filipina melemah 0,16% ke 57,2 per dolar AS. Pelemahan mata uang-mata uang ini mencerminkan sentimen kehati-hatian investor terhadap risiko yang terkait dengan ekonomi negara-negara tersebut.

Bikin Kaget! Rupiah Paling Perkasa di Asia Hari Ini, Won Hancur Lebur

Namun, di tengah sentimen negatif tersebut, beberapa mata uang Asia lainnya justru mampu mencatatkan kinerja positif. Yuan China menguat tipis 0,01% ke 7,1294 per dolar AS, dolar Singapura naik 0,02% ke SGD 1,2833 per dolar AS, dan dong Vietnam menguat 0,08% ke VND 26.340 per dolar AS. Kinerja positif mata uang-mata uang ini menunjukkan bahwa ada faktor-faktor spesifik yang mendukung penguatan nilai tukar mereka, seperti surplus neraca perdagangan atau aliran investasi asing yang masuk.

Secara keseluruhan, perdagangan mata uang Asia pada pagi hari ini mencerminkan sentimen pasar yang masih cenderung berhati-hati. Rupiah tampil cukup tangguh dibandingkan mayoritas mata uang lain, sementara won Korea menjadi mata uang yang melemah paling dalam. Perbedaan kinerja ini menggarisbawahi pentingnya faktor-faktor fundamental ekonomi dan sentimen pasar dalam menentukan arah pergerakan nilai tukar mata uang.

Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) pada pagi ini terpantau menguat tipis 0,03% ke level 97,80. Pergerakan dolar AS terbilang datar karena pelaku pasar tengah menantikan serangkaian data ketenagakerjaan AS pekan ini yang diperkirakan akan menentukan besaran pemangkasan suku bunga The Federal Reserve (The Fed) pada pertemuan September mendatang. Data yang akan dirilis pada pekan ini antara lain job openings, private payrolls, hingga laporan utama non-farm payrolls pada Jumat (5/9/2025).

"Pasar akan sangat memperhatikan rilis data tersebut untuk menilai kondisi pasar tenaga kerja," ujar Carol Kung, Currency Strategist di Commonwealth Bank of Australia, seperti dikutip dari Reuters. "Jika data menunjukkan pelemahan, maka ekspektasi pemangkasan suku bunga akan meningkat, dan ini akan memberi petunjuk apakah pemangkasan hanya 25 basis poin atau bahkan bisa lebih besar yakni 50 basis poin."

Menurut CME FedWatch Tool, pelaku pasar memperkirakan peluang sebesar 87% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 bps bulan ini. Ekspektasi ini didasarkan pada keyakinan bahwa ekonomi AS sedang mengalami perlambatan dan The Fed perlu mengambil langkah-langkah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, di luar ekspektasi suku bunga, dolar juga dibayangi isu independensi The Fed setelah Presiden AS Donald Trump berupaya memecat Gubernur The Fed Lisa Cook, meskipun pengadilan belum memberikan putusan akhir. Upaya Trump ini memicu kekhawatiran tentang politisasi kebijakan moneter dan dampaknya terhadap kredibilitas The Fed.

Selain itu, ketidakpastian mengenai kebijakan tarif Trump masih membayangi setelah pengadilan banding AS memutuskan sebagian besar tarif yang diterapkan dinyatakan ilegal, meskipun pemerintahan Trump terus berupaya mencari jalur hukum lain untuk mempertahankannya. Kebijakan tarif yang tidak pasti ini dapat berdampak negatif terhadap perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi.

Kinerja rupiah yang perkasa di tengah pelemahan mata uang Asia lainnya memunculkan pertanyaan tentang keberlanjutan tren ini. Para analis memperingatkan bahwa rupiah masih rentan terhadap guncangan eksternal dan internal. Oleh karena itu, pemerintah dan BI perlu terus berkoordinasi untuk menjaga stabilitas ekonomi dan nilai tukar rupiah.

"Rupiah memang menunjukkan ketahanan yang baik, tetapi kita tidak boleh terlena," kata Lana Soelistianingsih, ekonom dari Universitas Indonesia. "Pemerintah perlu fokus pada reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing ekonomi dan menarik investasi asing. BI juga perlu terus memantau perkembangan global dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar."

Selain itu, para analis juga menyoroti pentingnya menjaga stabilitas politik dalam negeri. Aksi demonstrasi yang terus berlanjut dapat mengganggu aktivitas ekonomi dan menurunkan kepercayaan investor. Pemerintah perlu membuka dialog dengan masyarakat dan mencari solusi yang komprehensif untuk mengatasi masalah-masalah yang menjadi penyebab demonstrasi.

"Stabilitas politik sangat penting untuk menjaga kepercayaan investor dan mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS). "Pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang kuat untuk menegakkan hukum dan menciptakan iklim investasi yang kondusif."

Ke depan, pergerakan nilai tukar rupiah dan mata uang Asia lainnya akan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global, kebijakan moneter The Fed, dan stabilitas politik di masing-masing negara. Para investor perlu terus memantau perkembangan ini dan mengambil keputusan investasi yang bijaksana.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(evw/evw)

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :