BMKG: Banjir Bandang di Bali Anomali, Terjadi di Musim Kemarau

  • Maskobus
  • Sep 12, 2025

Banjir bandang yang melanda Bali pada (11-12 September 2025) lalu menjadi sorotan utama Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Bencana ini dianggap sebagai sebuah anomali cuaca yang tidak lazim, mengingat terjadi di tengah musim kemarau atau masa peralihan musim. Fenomena ini memicu pertanyaan dan kajian mendalam di kalangan ahli meteorologi, termasuk di BMKG sendiri, tentang perubahan pola cuaca ekstrem yang semakin tidak terduga.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta pada Jumat, 12 September 2025, menegaskan bahwa fenomena atmosfer yang menjadi pemicu banjir bandang di Bali umumnya terjadi pada musim hujan. Kehadiran fenomena seperti Madden Julian Oscillation (MJO) dan gelombang ekuatorial Rossby atau Rossby Ekuator, yang biasanya identik dengan curah hujan tinggi, justru muncul di masa transisi musim, sebuah kejadian yang jarang terjadi dan memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Madden Julian Oscillation (MJO) adalah sebuah fenomena atmosfer yang berupa gelombang atmosfer yang bergerak dari arah barat ke timur di sepanjang wilayah tropis. MJO memiliki pengaruh signifikan terhadap pola cuaca global, termasuk Indonesia. Gelombang ini membawa area berawan dan hujan lebat secara bergantian, yang dapat memicu peningkatan curah hujan di wilayah yang dilaluinya. Sementara itu, gelombang ekuatorial Rossby atau Rossby Ekuator adalah gelombang atmosfer yang bergerak ke arah barat di sekitar garis khatulistiwa. Gelombang ini juga dapat memicu peningkatan curah hujan dan mempengaruhi pola cuaca di wilayah tropis.

Dwikorita Karnawati menjelaskan, "Dulu, saat kita belajar meteorologi, fenomena-fenomena ini diperkirakan hanya terjadi di musim hujan. Namun, kenyataannya, saat musim kemarau pun, fenomena ekstrem ini terjadi. Ini menunjukkan adanya tren kejadian yang seharusnya tidak terjadi di musim kemarau atau masa peralihan, namun kini mulai menunjukkan fakta bahwa hal itu bisa terjadi." Pernyataan ini menggarisbawahi adanya perubahan signifikan dalam dinamika atmosfer yang mempengaruhi pola cuaca di Indonesia, khususnya di wilayah Bali.

BMKG: Banjir Bandang di Bali Anomali, Terjadi di Musim Kemarau

Anomali cuaca ini memicu kekhawatiran tentang potensi perubahan iklim dan dampaknya terhadap frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem di Indonesia. BMKG dan para ahli meteorologi lainnya sedang melakukan kajian mendalam untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan anomali ini, serta untuk mengembangkan model prediksi cuaca yang lebih akurat dan dapat diandalkan.

Selain MJO dan gelombang Rossby, BMKG juga menyinggung tentang fenomena Siklon Tropis Seroja yang terjadi pada April 2021. Siklon ini menjadi contoh lain dari anomali cuaca yang terjadi di Indonesia. Siklon Tropis Seroja tumbuh di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur, dan menjadi badai terkuat yang pernah terjadi di Indonesia dengan kecepatan angin mencapai 100 km/jam. Dampak dari siklon ini sangat merusak, menyebabkan banjir, tanah longsor, dan kerusakan infrastruktur di wilayah Nusa Tenggara Timur.

"Contoh lain seperti kejadian Badai Tropis Seroja, itu seharusnya tidak terjadi di lintang ekuator, antara 10 derajat lintang selatan dan 10 derajat lintang utara. Teorinya, badai tropis akan melemah apabila memasuki ekuator. Faktanya, terjadi anomali. Lahirnya itu di dalam ekuator," jelas Dwikorita. Kejadian ini menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang perilaku badai tropis perlu diperbarui, mengingat adanya perubahan dalam kondisi atmosfer yang memungkinkan badai tropis terbentuk di wilayah yang sebelumnya dianggap tidak mungkin.

Banjir bandang di Bali dan Siklon Tropis Seroja adalah dua contoh nyata dari anomali cuaca yang semakin sering terjadi di Indonesia. Hal ini menuntut adanya peningkatan kesiapsiagaan dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Masyarakat perlu lebih waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi, bahkan di musim kemarau sekalipun. Pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan investasi dalam sistem peringatan dini, infrastruktur mitigasi bencana, dan edukasi masyarakat tentang cara menghadapi bencana.

Lebih lanjut, BMKG menekankan pentingnya peningkatan pemahaman masyarakat tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari. Edukasi publik tentang cara mengurangi risiko bencana, seperti menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, dan membangun rumah yang tahan terhadap bencana, sangat penting untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim.

Dwikorita Karnawati juga menyoroti pentingnya kerjasama antara pemerintah, lembaga penelitian, dan masyarakat dalam menghadapi tantangan perubahan iklim. Kerjasama ini diperlukan untuk mengembangkan solusi inovatif dan berkelanjutan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, meningkatkan efisiensi energi, dan melindungi ekosistem yang rentan terhadap perubahan iklim.

"Sehingga ini juga menjadi catatan kami adanya beberapa hal yang memang perlu terus kita waspadai meskipun itu masih di peralihan," pungkas Dwikorita. Pernyataan ini menjadi seruan bagi semua pihak untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap potensi bencana hidrometeorologi, serta untuk mengambil tindakan nyata dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

Banjir bandang di Bali menjadi pengingat yang kuat tentang kerentanan Indonesia terhadap perubahan iklim. Anomali cuaca yang semakin sering terjadi menuntut adanya perubahan paradigma dalam pengelolaan risiko bencana. Pemerintah, lembaga terkait, masyarakat, dan sektor swasta perlu bersatu padu dalam menghadapi tantangan ini, serta untuk membangun Indonesia yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Berikut adalah beberapa poin penting yang dapat diambil dari kejadian banjir bandang di Bali dan pernyataan BMKG:

  • Anomali Cuaca: Banjir bandang terjadi di musim kemarau, yang merupakan kejadian tidak lazim dan menunjukkan adanya perubahan pola cuaca.
  • Fenomena Atmosfer: MJO dan gelombang Rossby, yang biasanya terjadi di musim hujan, muncul di masa transisi musim dan memicu curah hujan tinggi.
  • Siklon Tropis Seroja: Badai tropis yang terbentuk di dekat ekuator, yang merupakan kejadian anomali dan menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang perilaku badai tropis perlu diperbarui.
  • Perubahan Iklim: Anomali cuaca yang semakin sering terjadi menunjukkan dampak perubahan iklim terhadap frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrem di Indonesia.
  • Kesiapsiagaan: Masyarakat perlu lebih waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi, bahkan di musim kemarau sekalipun.
  • Mitigasi Bencana: Pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan investasi dalam sistem peringatan dini, infrastruktur mitigasi bencana, dan edukasi masyarakat.
  • Edukasi Publik: Peningkatan pemahaman masyarakat tentang perubahan iklim dan cara mengurangi risiko bencana sangat penting untuk meningkatkan ketahanan masyarakat.
  • Kerjasama: Kerjasama antara pemerintah, lembaga penelitian, dan masyarakat diperlukan untuk mengembangkan solusi inovatif dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.

Dengan memahami dan mengambil tindakan berdasarkan informasi ini, diharapkan Indonesia dapat lebih siap menghadapi tantangan perubahan iklim dan mengurangi risiko bencana di masa depan. Banjir bandang di Bali menjadi pelajaran berharga yang tidak boleh diabaikan.

Penting untuk dicatat bahwa perubahan iklim adalah masalah global yang memerlukan solusi global. Indonesia perlu bekerja sama dengan negara-negara lain untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi planet ini untuk generasi mendatang. Setiap individu juga dapat berkontribusi dalam mengurangi dampak perubahan iklim dengan mengambil tindakan kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti menghemat energi, mengurangi penggunaan plastik, dan mendukung produk-produk ramah lingkungan.

Dengan kesadaran, kerjasama, dan tindakan nyata, Indonesia dapat mengatasi tantangan perubahan iklim dan membangun masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan bagi semua.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :