Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana menggelar lelang sejumlah frekuensi pada tahun ini sebagai upaya untuk mewujudkan target internet cepat dengan kecepatan 100 Mbps. Daniel Ode, President Director Ericsson Indonesia, Singapore, Philippines, and Brunei, secara terbuka mendorong percepatan proses lelang frekuensi tersebut, menekankan pentingnya ketersediaan spektrum dalam pengembangan teknologi 5G di Indonesia.
Menurut Ode, Indonesia saat ini tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara dalam hal ketersediaan spektrum untuk 5G. Ia menyampaikan pandangannya tersebut seusai acara konferensi pers Ericsson Hackathon 2025 di Jakarta, Kamis (18/9/2025). "Saya rasa Indonesia mungkin agak tertinggal. Tapi kita perlu mempercepat opsi spektrum tersebut," ujarnya.
Ode secara spesifik menyoroti lelang frekuensi 2,6 GHz dan 3,5 GHz yang direncanakan oleh pemerintah. Namun, hingga saat ini, belum ada informasi lebih lanjut dari Kementerian Kominfo mengenai jadwal pembukaan seleksi lelang tersebut. Keterlambatan ini menjadi perhatian serius bagi Ericsson dan pelaku industri telekomunikasi lainnya, mengingat pentingnya frekuensi tersebut untuk mendukung implementasi 5G secara optimal.
Pita frekuensi 2,6 GHz saat ini digunakan untuk layanan penyiaran berbasis satelit atau broadcasting satellite service (BSS) dengan memanfaatkan bandwidth 150 MHz yang berada di rentang 2.520-2.670 MHz. Pelepasan frekuensi ini akan membuka peluang besar bagi operator telekomunikasi untuk meningkatkan kapasitas jaringan dan menghadirkan layanan 5G yang lebih baik kepada masyarakat.
Ode menegaskan bahwa frekuensi 2,6 GHz memiliki peran fundamental dalam membawa Indonesia menuju gelombang 5G selanjutnya. "Menurut saya ini (frekuensi 2,6 GHz) fundamental untuk membawa Indonesia ke gelombang 5G selanjutnya. Karena kita sudah melakukan sedikit, tapi tentu saja kita bisa melakukan lebih banyak dengan spektrum 2,6 GHz," jelasnya.
Lebih lanjut, Ode menjelaskan bahwa selain ketersediaan frekuensi, tantangan lain yang menghambat pengembangan dan adopsi 5G di Indonesia adalah masalah biaya. Ia mengakui bahwa internet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia, namun masyarakat cenderung enggan membayar mahal untuk mendapatkan akses internet cepat.
"Harga yang kebanyakan orang rela bayar untuk penggunaan ponsel, mungkin kurang dari harga secangkir kopi Starbucks per bulan," ungkap Ode. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara harapan masyarakat terhadap kualitas layanan internet dengan kemampuan mereka untuk membayar.
Ode menambahkan bahwa industri telekomunikasi seringkali dihadapkan pada situasi di mana terdapat banyak kebutuhan dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk membangun dan memelihara jaringan, namun pendapatan yang diperoleh tidak selalu sebanding dengan nilai yang diberikan. "Ini adalah tantangan umum di industri ini. Anda menempatkan banyak kebutuhan dan persyaratan pada jaringan, tapi saya rasa Anda tidak selalu membayar sesuai dengan nilai yang diberikan," pungkasnya.
Pernyataan Daniel Ode ini menggarisbawahi beberapa poin penting terkait pengembangan 5G di Indonesia. Pertama, percepatan lelang frekuensi, khususnya 2,6 GHz, sangat krusial untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga. Ketersediaan spektrum yang memadai akan memungkinkan operator telekomunikasi untuk menggelar jaringan 5G dengan kapasitas dan kualitas yang optimal.
Kedua, masalah biaya menjadi tantangan yang signifikan dalam adopsi 5G. Pemerintah dan pelaku industri perlu mencari solusi untuk menekan biaya pembangunan dan operasional jaringan, serta menawarkan paket layanan yang terjangkau bagi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti insentif pajak, subsidi, atau model bisnis yang inovatif.
Ketiga, perlu adanya edukasi yang lebih luas kepada masyarakat mengenai manfaat dan nilai yang ditawarkan oleh teknologi 5G. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan masyarakat akan lebih bersedia untuk membayar harga yang sesuai untuk mendapatkan akses internet cepat dan berkualitas.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi pengembangan 5G di Indonesia. Selain mempercepat proses lelang frekuensi, pemerintah juga perlu menyederhanakan regulasi, memberikan insentif, dan memfasilitasi investasi di sektor telekomunikasi.
Operator telekomunikasi juga perlu berinvestasi dalam infrastruktur jaringan, mengembangkan layanan yang inovatif, dan menawarkan paket yang menarik bagi pelanggan. Kolaborasi antara pemerintah, operator, dan pihak-pihak terkait lainnya sangat penting untuk mewujudkan visi Indonesia sebagai negara yang maju dalam teknologi digital.
Pengembangan 5G di Indonesia memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Teknologi ini dapat dimanfaatkan di berbagai sektor, seperti manufaktur, transportasi, kesehatan, pendidikan, dan pertanian. Dengan adopsi 5G yang luas, Indonesia dapat meningkatkan daya saing global dan menjadi pusat inovasi digital di kawasan Asia Tenggara.
Namun, untuk mewujudkan potensi tersebut, diperlukan komitmen dan kerja keras dari semua pihak. Pemerintah, operator, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengatasi tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada. Dengan sinergi yang kuat, Indonesia dapat meraih manfaat maksimal dari teknologi 5G dan menjadi negara yang lebih maju dan sejahtera.
Pernyataan Daniel Ode dari Ericsson menjadi pengingat bagi semua pihak tentang pentingnya percepatan lelang frekuensi dan mengatasi tantangan biaya dalam pengembangan 5G di Indonesia. Dengan tindakan yang tepat, Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan meraih manfaat maksimal dari teknologi generasi kelima ini. Masa depan digital Indonesia ada di tangan kita semua.