Seorang pria dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah mencatatkan rekor baru setelah terinfeksi COVID-19 secara akut dan berkelanjutan selama lebih dari 750 hari, sebuah periode yang luar biasa panjang dalam riwayat infeksi virus ini. Selama masa yang penuh tantangan ini, ia mengalami gejala pernapasan yang persisten, sebuah kondisi yang membuatnya harus dirawat di rumah sakit sebanyak lima kali. Kondisi ini menyoroti dampak yang mendalam dari COVID-19 pada individu dengan sistem kekebalan tubuh yang terganggu dan menekankan pentingnya penelitian dan pemantauan lebih lanjut.
Meskipun durasinya sangat panjang, kondisi pria ini berbeda secara fundamental dari long COVID, sebuah kondisi yang sering dilaporkan di antara para penyintas COVID-19. Dalam kasus long COVID, gejalanya adalah gejala yang menetap lama setelah virus itu sendiri telah hilang dari tubuh. Sebaliknya, pria ini mengalami fase aktif virus SARS-CoV-2 yang berlanjut selama lebih dari dua tahun, sebuah manifestasi infeksi yang jarang dan mengkhawatirkan. Perbedaan ini sangat penting karena menyoroti berbagai cara di mana COVID-19 dapat memengaruhi individu dan menekankan perlunya pendekatan yang disesuaikan untuk diagnosis dan pengobatan.
Para ahli di Amerika Serikat memperingatkan bahwa kondisi ini mungkin hanya terjadi pada orang yang rentan, tetapi studi baru mereka memiliki implikasi yang signifikan bagi pemahaman kita tentang evolusi virus dan potensi risiko bagi kesehatan masyarakat. Mereka menekankan bahwa kasus-kasus seperti ini dapat memberikan lingkungan di mana virus dapat bermutasi dan mengembangkan cara baru untuk menginfeksi sel secara lebih efisien. Temuan ini menggarisbawahi pentingnya kewaspadaan dan pemantauan berkelanjutan terhadap kasus-kasus COVID-19 yang berkepanjangan.
William Hanage, seorang ahli epidemiologi di Universitas Harvard, menjelaskan bahwa infeksi jangka panjang memungkinkan virus untuk mengeksplorasi cara menginfeksi sel secara lebih efisien. Dia menambahkan bahwa studi ini menambah bukti bahwa varian yang lebih mudah menular telah muncul dari infeksi semacam itu. Pernyataan Hanage menyoroti potensi dampak yang lebih luas dari infeksi COVID-19 yang berkepanjangan, menunjukkan bahwa mereka dapat berkontribusi pada munculnya varian baru yang lebih menular dan resisten terhadap pengobatan.
Hanage menekankan bahwa menangani kasus-kasus seperti itu secara efektif merupakan prioritas bagi kesehatan individu dan masyarakat. Dia berpendapat bahwa sistem perawatan kesehatan harus siap untuk mengidentifikasi, mengisolasi, dan mengobati individu dengan infeksi COVID-19 yang berkepanjangan untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut dan mengurangi risiko munculnya varian baru. Pendekatan proaktif ini sangat penting untuk melindungi kesehatan masyarakat dan meminimalkan dampak pandemi.
Analisis genetik yang dilakukan oleh Joseline Velasquez-Reyes, seorang ahli bioinformatika di Universitas Boston, dan rekan-rekannya terhadap sampel virus yang dikumpulkan dari pasien antara Maret 2021 dan Juli 2022, mengungkapkan wawasan penting tentang apa yang dilakukan virus tersebut selama invasi yang meluas. Analisis mereka menunjukkan bahwa virus mengalami mutasi signifikan selama periode ini, yang mengarah pada pengembangan karakteristik baru. Temuan ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa infeksi COVID-19 yang berkepanjangan dapat berfungsi sebagai tempat berkembang biaknya evolusi virus.
Velasquez-Reyes menjelaskan bahwa hanya dalam satu orang, jenis mutasi yang sama yang menyebabkan munculnya varian Omicron yang berkembang biak lebih cepat sedang dalam proses pengulangan. Pengamatan yang mencolok ini menunjukkan bahwa infeksi COVID-19 yang berkepanjangan dapat mendorong evolusi varian baru yang serupa dengan yang telah menyebabkan gelombang infeksi di seluruh dunia. Ini menggarisbawahi pentingnya pemantauan berkelanjutan terhadap kasus-kasus ini dan perlunya mengembangkan strategi untuk mencegah munculnya varian baru.
Velasquez-Reyes dan timnya menyimpulkan bahwa temuan mereka mendukung teori bahwa perubahan mirip Omicron berkembang dari tekanan seleksi yang dialami virus di dalam tubuh kita. Tekanan seleksi ini dapat mencakup respons kekebalan tubuh inang, pengobatan antivirus, dan faktor lingkungan lainnya. Dengan memahami tekanan seleksi yang mendorong evolusi virus, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mencegah dan mengobati infeksi COVID-19.
Pasien dalam kasus ini didiagnosis dengan HIV-1 stadium lanjut, yang kemungkinan besar berkontribusi pada infeksi COVID-19 yang berkepanjangan. Pasien yakin telah tertular SARS-CoV-2 pada pertengahan Mei 2020. Selama masa tersebut, ia tidak menerima terapi antiretroviral (ART), yang akan membantu menekan virus HIV dan meningkatkan fungsi kekebalannya. Kurangnya pengobatan ini kemungkinan memperburuk ketidakmampuannya untuk membersihkan infeksi COVID-19.
Selain itu, pasien tidak dapat mengakses perawatan medis yang diperlukan, meskipun mengalami gejala pernapasan, sakit kepala, nyeri badan, dan lemas. Kurangnya akses ke perawatan medis yang tepat waktu dan memadai kemungkinan berkontribusi pada durasi dan tingkat keparahan infeksi COVID-19-nya. Kasus ini menyoroti pentingnya memastikan bahwa semua orang memiliki akses ke layanan kesehatan, terlepas dari status sosial ekonomi atau kondisi kesehatan mereka.
Pria berusia 41 tahun itu memiliki jumlah sel T pembantu imun hanya 35 sel per mikroliter darah, jauh di bawah kisaran normal 500 hingga 1.500 sel per mikroliter. Sel T pembantu sangat penting untuk fungsi kekebalan tubuh, dan kekurangan sel-sel ini dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Jumlah sel T yang rendah pada pasien ini menjelaskan bagaimana virus tersebut dapat bertahan begitu lama di tubuhnya.
Untungnya, setidaknya dalam kasus ini virus COVID-19 yang membandel ini tidak terlalu menular. Ini mungkin karena virus telah beradaptasi dengan inang dan kehilangan kemampuannya untuk menginfeksi orang lain. Namun, tidak ada jaminan bahwa infeksi lain yang menetap dalam jangka panjang di dalam tubuh kita akan mengikuti jalur evolusi yang sama. Karena itu, para ahli tetap waspada dan menyerukan pemantauan ketat COVID-19 yang berkelanjutan dan akses layanan kesehatan yang memadai bagi semua orang.
Velasquez-Reyes dan timnya mencatat bahwa tidak adanya infeksi lanjutan yang diduga terjadi mungkin mengindikasikan hilangnya kemampuan penularan selama adaptasi terhadap satu inang. Meskipun ini meyakinkan, mereka menekankan bahwa tidak ada jaminan bahwa infeksi lain yang menetap dalam jangka panjang di dalam tubuh kita akan mengikuti jalur evolusi yang sama. Mereka berpendapat bahwa penting untuk tetap waspada dan terus memantau kasus-kasus infeksi COVID-19 yang berkepanjangan untuk mencegah potensi risiko bagi kesehatan masyarakat.
Para peneliti menyimpulkan bahwa membersihkan infeksi ini harus menjadi prioritas bagi sistem layanan kesehatan. Mereka berpendapat bahwa sistem perawatan kesehatan harus menginvestasikan sumber daya untuk mengembangkan strategi yang efektif untuk mengidentifikasi, mengisolasi, dan mengobati individu dengan infeksi COVID-19 yang berkepanjangan. Pendekatan proaktif ini sangat penting untuk melindungi kesehatan masyarakat dan meminimalkan dampak pandemi.
Untuk mengurangi kemungkinan mutasi yang bermasalah, dokter dan peneliti mengimbau masyarakat untuk terus melakukan vaksinasi dan tetap menggunakan masker di area tertutup yang ramai. Vaksinasi tetap menjadi alat yang paling efektif untuk mencegah infeksi COVID-19 dan mengurangi risiko penyakit parah. Mengenakan masker di area tertutup yang ramai dapat membantu mencegah penyebaran virus, terutama di antara individu yang mungkin tidak divaksinasi atau yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang terganggu.
Seruan untuk vaksinasi dan penggunaan masker menekankan pentingnya tindakan kesehatan masyarakat yang berkelanjutan untuk mengendalikan pandemi COVID-19. Meskipun vaksin telah tersedia dan efektif, virus terus bermutasi dan menyebar, yang mengarah pada munculnya varian baru. Dengan terus mempraktikkan tindakan pencegahan, kita dapat membantu melindungi diri kita sendiri dan orang lain dari infeksi dan mengurangi risiko munculnya varian baru.
Singkatnya, kasus infeksi COVID-19 yang berkepanjangan pada seorang pria dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah menyoroti kompleksitas dan tantangan yang terkait dengan pandemi COVID-19. Kasus ini menggarisbawahi pentingnya pemantauan berkelanjutan terhadap kasus-kasus COVID-19 yang berkepanjangan, perlunya akses ke layanan kesehatan yang memadai bagi semua orang, dan pentingnya tindakan kesehatan masyarakat yang berkelanjutan seperti vaksinasi dan penggunaan masker. Dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, kita dapat lebih melindungi kesehatan masyarakat dan meminimalkan dampak pandemi.