Dampak Pemangkasan Suku Bunga oleh BI dan The Fed: Analisis Mendalam dan Proyeksi ke Depan

  • Maskobus
  • Sep 19, 2025

Bank Indonesia (BI) dan The Federal Reserve (The Fed), dua bank sentral yang memiliki pengaruh signifikan terhadap perekonomian global dan domestik, baru-baru ini mengambil langkah serupa dengan memangkas suku bunga acuan mereka. Keputusan ini tentu saja bukan tanpa alasan dan memiliki implikasi yang luas bagi berbagai sektor. Artikel ini akan mengupas tuntas kebijakan tersebut, dampaknya terhadap sektor keuangan domestik, respons pasar modal, serta proyeksi kebijakan BI dan The Fed ke depan, dilengkapi dengan data dan analisis yang lebih mendalam.

The Fed Pangkas Suku Bunga: Langkah Pertama di Tahun 2025

Pada tanggal 17 September 2025 (waktu AS), The Fed mengumumkan pemangkasan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps), menurunkan target suku bunga federal funds rate menjadi 4-4,25 persen. Keputusan ini diambil dalam rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC), yang merupakan badan pembuat kebijakan moneter utama The Fed. Pemangkasan ini menandai pertama kalinya The Fed menurunkan suku bunga acuannya sepanjang tahun 2025, setelah terakhir kali melakukan pemangkasan pada Desember 2024 sebesar 25 bps menjadi 4,25-4,5 persen.

Gubernur The Fed, Jerome Powell, dalam konferensi persnya, menekankan bahwa perubahan kebijakan pemerintah AS terus berkembang dan dampaknya terhadap ekonomi masih belum pasti. Ia juga menyoroti bahwa dalam jangka pendek, risiko terhadap inflasi cenderung meningkat, sementara risiko terhadap lapangan kerja cenderung menurun. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa The Fed berhati-hati dalam mengambil kebijakan dan akan terus memantau data ekonomi yang masuk untuk menentukan langkah selanjutnya.

"Kami akan terus menentukan sikap kebijakan moneter yang tepat berdasarkan data yang masuk, outlook yang berkembang, dan keseimbangan risiko," ujar Powell.

Dampak Pemangkasan Suku Bunga oleh BI dan The Fed: Analisis Mendalam dan Proyeksi ke Depan

Keputusan The Fed ini didasarkan pada beberapa faktor, termasuk melambatnya pertumbuhan ekonomi global, ketidakpastian perdagangan, dan tekanan inflasi yang moderat. Pemangkasan suku bunga diharapkan dapat memberikan stimulus bagi perekonomian AS dan membantu menjaga pertumbuhan yang berkelanjutan.

Bank Indonesia Ikuti Jejak: Pemangkasan Ketiga Berturut-turut

Sehari sebelum pengumuman The Fed, Bank Indonesia (BI) juga mengambil langkah serupa dengan memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen. Keputusan ini diambil dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang diselenggarakan pada 16-17 September 2025. Dengan demikian, BI telah melakukan pemangkasan suku bunga sebanyak tiga kali berturut-turut sejak Juli 2025.

Selain menurunkan suku bunga acuan, RDG BI juga memutuskan untuk menurunkan suku bunga deposit facility sebesar 50 bps menjadi 3,75 persen dan lending facility sebesar 25 bps menjadi 5,5 persen. Langkah ini diambil untuk semakin memperkuat sinyal pelonggaran moneter dan mendorong pertumbuhan kredit.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa keputusan ini sejalan dengan upaya bersama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga rendahnya perkiraan inflasi pada tahun 2025 dan 2026 dalam sasaran 1,5-3,5 persen, serta menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya.

"Keputusan itu sejalan dengan upaya bersama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menjaga tetap rendahnya perkiraan inflasi pada 2025 dan 2026 dalam sasaran 1,5-3,5 persen dan stabilitas nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya," kata Perry Warjiyo.

Sebelum pemangkasan terakhir ini, BI telah memangkas suku bunga acuannya total mencapai 100 bps sepanjang tahun 2025, yang dilakukan secara bertahap pada Januari, Mei, Juli, dan Agustus, masing-masing sebesar 25 bps. Ini menunjukkan komitmen BI untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Dampak Pemangkasan Suku Bunga terhadap Sektor Keuangan Domestik

Pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan BI memiliki dampak signifikan terhadap sektor keuangan domestik. Secara umum, penurunan suku bunga akan mendorong penurunan tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS (US Treasury), yang pada gilirannya akan memicu pergeseran arus dana dari pasar obligasi (fixed income) menuju pasar saham (equity) dan dari negara maju menuju negara berkembang, termasuk Indonesia.

Kookmin Bank (KB) Valbury Sekuritas, melalui analis Fikri C Permana, berpendapat bahwa kondisi ini akan mendorong pelemahan kurs dolar AS terhadap mata uang utama. Perpindahan aliran modal asing juga akan memberikan angin segar bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.

Dengan perkembangan tersebut, nilai tukar rupiah diperkirakan cenderung bergerak stabil di tengah pelemahan kurs dolar AS. Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada perdagangan Kamis, rupiah ditutup di level Rp 16.498 per dolar AS. Meskipun demikian, sepanjang September 2025, rupiah tercatat melemah 0,22 persen dibandingkan dengan penutupan pasar pada akhir Agustus 2025, yang menurut Fikri dipengaruhi oleh perubahan arah kebijakan moneter, dari sebelumnya mendukung stabilitas menjadi pertumbuhan.

Selain itu, penurunan suku bunga juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit, karena biaya pinjaman menjadi lebih murah. Hal ini akan memberikan insentif bagi perusahaan dan individu untuk mengambil pinjaman, yang pada gilirannya akan meningkatkan investasi dan konsumsi.

Respons Positif Pasar Modal: IHSG Tembus Level 8.000

Pasar modal Indonesia merespons positif pemangkasan suku bunga oleh BI dan The Fed. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menembus level 8.000 pada penutupan perdagangan Rabu (17/9/2025). Bursa Efek Indonesia (BEI) menilai keberhasilan ini sebagai bentuk keberhasilan kolaborasi otoritas bursa dengan pemerintah dalam menjaga iklim investasi dan perbaikan ekonomi.

IHSG ditutup di level 8.025,179 pada perdagangan Rabu, tumbuh sekitar 13 persen sejak awal tahun, menciptakan rekor baru pada akhir sesi perdagangan. Rekor ini sekaligus diikuti dengan rekor kapitalisasi pasar yang juga mencapai angka Rp 14.516 triliun. Level ini mengalahkan pencapaian rekor tertinggi IHSG pada 2024, yakni pada level 7.905,390 yang diikuti dengan rekor kapitalisasi pasar tertinggi mencapai Rp 13.475 triliun pada hari yang sama.

Pada Kamis (18/9/2025), IHSG masih terjaga di atas 8.000 setelah dibuka di level 8.065. Hal ini terjadi kendati investor asing masih banyak mencatatkan penjualan atau outflow dengan nilai bersih sebesar Rp 151,9 miliar pada perdagangan sehari sebelumnya.

Direktur Utama PT BEI, Iman Rachman, dalam keterangan tertulisnya menyampaikan, pencapaian rekor ini mencerminkan kokohnya optimisme seluruh pemangku kepentingan terhadap pasar modal Indonesia.

"Kinerja impresif tersebut turut diperkuat oleh sinergi erat antara BEI, pelaku industri pasar modal, serta dukungan kebijakan otoritas terkait termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pemerintah Indonesia," tuturnya.

Saat ini, BEI mencatat 954 perusahaan terbuka dari berbagai industri yang perkembangannya dapat dipantau masyarakat melalui keterbukaan informasi. Partisipasi masyarakat sebagai investor di berbagai instrumen juga terus meningkat dengan jumlah investor yang sudah menembus 18 juta entitas.

Proyeksi Kebijakan BI dan The Fed ke Depan

Ekonom Global Markets Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, memperkirakan bahwa The Fed masih memiliki ruang penurunan suku bunga sebesar 50 bps hingga akhir tahun 2025 dan maksimal 25 bps pada tahun 2026. Artinya, pelonggaran moneter akan dilakukan secara total (all out) oleh The Fed pada sisa waktu tahun 2025 sebanyak dua kali, masing-masing 25 bps.

"BI juga kelihatannya sama, ya. Jadi, (BI) ingin supaya kebijakan dari moneter ini juga bisa berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi, tidak hanya dari kebijakan insentif likuiditas makroprudensial ataupun kebijakan untuk sistem pembayaran," ujar Myrdal.

Menurut Myrdal, tren suku bunga yang rendah dapat menurunkan biaya cicilan sehingga akan meningkatkan permintaan kredit dan harapannya bisa menggerakkan ekonomi. Di sisi lain, kebijakan fiskal yang ekspansif melalui suntikan likuiditas ke perbankan juga berdampak positif bagi perekonomian.

Namun, perlu diingat bahwa proyeksi ini dapat berubah tergantung pada perkembangan ekonomi global dan domestik. Baik BI maupun The Fed akan terus memantau data ekonomi yang masuk dan menyesuaikan kebijakan mereka sesuai kebutuhan. Faktor-faktor seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nilai tukar akan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan kebijakan moneter di masa depan.

Kesimpulan

Pemangkasan suku bunga oleh BI dan The Fed merupakan langkah penting yang bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global. Dampak dari kebijakan ini diharapkan dapat dirasakan di berbagai sektor, termasuk sektor keuangan domestik dan pasar modal. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa kebijakan moneter hanyalah salah satu faktor yang mempengaruhi perekonomian. Kebijakan fiskal, reformasi struktural, dan faktor eksternal juga memainkan peran penting dalam menentukan arah perekonomian Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi yang baik antara berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :