Kisah Nabi Musa membelah Laut Merah, sebuah mukjizat yang diceritakan dalam Al-Qur’an, Alkitab, dan dihormati oleh umat Islam, Kristen, dan Yahudi, telah lama menjadi subjek perdebatan antara iman dan ilmu pengetahuan. Sementara bagi banyak orang, peristiwa ini adalah bukti kekuatan ilahi yang tak terbantahkan, para ilmuwan telah berusaha untuk mengeksplorasi kemungkinan penjelasan alamiah di balik fenomena luar biasa ini. Penelitian terbaru telah menghasilkan beberapa teori menarik yang mencoba untuk menjembatani kesenjangan antara narasi keagamaan dan pemahaman ilmiah tentang dunia alam.
Salah satu teori yang paling banyak dibahas berpusat pada gagasan bahwa angin kencang yang bertiup dengan kecepatan dan sudut yang tepat dapat membuka jalur di Laut Merah, memungkinkan orang untuk menyeberang dengan berjalan kaki sebelum air kembali dan menelan mereka yang tertinggal. Para ahli di National Center for Atmospheric Research telah menggunakan model komputer untuk mensimulasikan kondisi yang diperlukan untuk terjadinya fenomena semacam itu. Hasilnya menunjukkan bahwa angin dengan kecepatan lebih dari 96 kilometer per jam yang bertiup dari arah tertentu dapat mendorong air menjauh, menciptakan terowongan air selebar hingga 4 kilometer.
Carl Drews, seorang ahli kelautan yang terlibat dalam penelitian ini, menjelaskan bahwa "Penyeberangan Laut Merah adalah fenomena supranatural yang mengandung komponen alamiah, keajaibannya terletak pada waktu yang tepat." Dengan kata lain, meskipun angin kencang mungkin dapat menciptakan kondisi yang memungkinkan penyeberangan, waktu terjadinya peristiwa tersebut dan dampaknya yang dramatis tetap merupakan aspek yang luar biasa.
Nathan Paldor, seorang ilmuwan kelautan dari Hebrew University of Jerusalem, menambahkan bahwa "Ketika angin kencang bertiup ke arah selatan dari hulu Teluk selama sekitar satu hari, air akan terdorong ke arah laut, sehingga dasar yang sebelumnya terendam air akan tersingkap." Teori ini menunjukkan bahwa kombinasi antara kondisi cuaca yang ekstrem dan topografi laut yang unik dapat menciptakan fenomena alam yang menyerupai mukjizat yang diceritakan dalam kitab suci.
Meskipun teori angin kencang menawarkan penjelasan yang menarik, penting untuk dicatat bahwa ada juga pendapat yang berbeda mengenai lokasi geografis yang tepat dari peristiwa tersebut. Kisah tradisional menempatkan penyeberangan di Teluk Aqaba, sebuah bagian Laut Merah yang memisahkan Semenanjung Sinai di Mesir dari Arab Saudi dan Yordania. Namun, penelitian geologi telah menimbulkan keraguan tentang kemungkinan terjadinya fenomena pemisahan air di lokasi ini, mengingat kedalaman Teluk Aqaba yang mencapai 1.800 meter. Selain itu, cerita dalam kitab suci menyatakan bahwa angin yang membelah laut bertiup dari timur, sementara perhitungan ilmiah menunjukkan bahwa angin tersebut seharusnya datang dari barat daya.
Sebagai tanggapan terhadap tantangan ini, para arkeolog dan ilmuwan telah mengusulkan lokasi alternatif untuk peristiwa tersebut. Salah satu hipotesis yang populer adalah Teluk Suez, yang terletak di antara daratan Mesir dan Semenanjung Sinai. Teluk ini memiliki kedalaman yang lebih dangkal, hanya sekitar 30 meter, dan dasar yang relatif datar, yang dapat membuatnya lebih rentan terhadap efek pasang surut yang kuat.
Bruce Parker, mantan kepala ilmuwan di National Oceanic and Atmospheric Administration, berpendapat bahwa Nabi Musa mungkin menggunakan pengetahuannya tentang pasang surut untuk memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir. "Musa hidup di alam liar di dekat situ pada masa kecilnya, dan dia tahu di mana kafilah menyeberangi Laut Merah saat air surut," tulis Parker. "Dia tahu langit malam dan metode kuno untuk memprediksi pasang surut, berdasarkan posisi Bulan di atas kepala dan seberapa penuh Bulan itu," jelasnya. Teori ini menunjukkan bahwa Musa mungkin telah memanfaatkan pengetahuan alam untuk memimpin orang-orangnya melalui perairan dangkal pada saat yang tepat, menciptakan kesan mukjizat bagi mereka yang tidak memahami fenomena alam yang mendasarinya.
Namun, teori Teluk Suez juga memiliki keterbatasan. Salah satunya adalah bahwa teori ini tidak sesuai dengan klaim dalam Kitab Keluaran bahwa angin timur bertiup membelah laut. Untuk mengatasi masalah ini, para ilmuwan telah mengusulkan lokasi alternatif lain yang lebih sesuai dengan deskripsi alkitabiah.
Dalam sebuah laporan yang diterbitkan di jurnal PLOS One, Carl Drews mengusulkan Danau Tannis di Delta Nil sebagai lokasi yang paling masuk akal untuk peristiwa tersebut. Teori ini didasarkan pada terjemahan alternatif Alkitab Ibrani yang merujuk pada lautan ‘alang-alang’ yang tumbuh rapat di perairan payau, bukan ‘Laut Merah’. Drews berpendapat bahwa Danau Tannis, yang terletak di Delta Nil bagian timur, akan menjadi lokasi yang ideal untuk fenomena pemisahan air yang disebabkan oleh angin kencang.
"Pemodelan samudra, dan sebuah laporan dari 1882, menunjukkan bahwa angin kencang di atas delta Nil bagian timur akan menerbangkan air setinggi dua meter, sehingga daratan yang kering tersingkap untuk sementara waktu berkat struktur unik danau tersebut yang menyediakan ‘mekanisme hidrolik untuk membagi air’," kata Drews. Teori ini menawarkan penjelasan yang menarik tentang bagaimana angin kencang dapat menciptakan jalur sementara di perairan dangkal Danau Tannis, memungkinkan bangsa Israel untuk melarikan diri dari kejaran pasukan Mesir.
Penting untuk dicatat bahwa semua teori ilmiah ini bersifat spekulatif dan tidak dapat membuktikan atau menyangkal kebenaran historis dari kisah Nabi Musa membelah Laut Merah. Sebaliknya, teori-teori ini menawarkan cara alternatif untuk memahami peristiwa tersebut dalam kerangka kerja ilmiah. Dengan mengeksplorasi kemungkinan penjelasan alamiah di balik mukjizat tersebut, para ilmuwan berharap dapat memperdalam pemahaman kita tentang interaksi kompleks antara alam dan keyakinan manusia.
Meskipun teori ilmiahnya masuk akal, Drews mengakui bahwa sebagai penganut Kristen, imannya membuatnya percaya bahwa kisah itu tetaplah ajaib. "Secara pribadi, saya seorang Lutheran yang selalu memahami bahwa iman dan sains dapat dan harus selaras. Adalah wajar dan tepat bagi seorang ilmuwan untuk mempelajari komponen alami dari narasi ini," tutupnya. Pernyataan ini mencerminkan pandangan banyak orang yang percaya bahwa iman dan ilmu pengetahuan tidak harus saling bertentangan. Sebaliknya, mereka dapat saling melengkapi dan memberikan wawasan yang lebih dalam tentang dunia di sekitar kita.
Pada akhirnya, pertanyaan tentang apakah Nabi Musa benar-benar membelah Laut Merah atau tidak tetap menjadi masalah iman dan interpretasi pribadi. Namun, penelitian ilmiah yang sedang berlangsung tentang peristiwa ini terus memberikan perspektif baru dan menarik yang dapat membantu kita untuk lebih memahami kisah-kisah kuno yang telah membentuk peradaban kita. Dengan menggabungkan iman dan ilmu pengetahuan, kita dapat memperoleh apresiasi yang lebih dalam tentang kompleksitas dan misteri dunia di sekitar kita.