Diguyur Dana Rp200 T, Ini Kondisi Likuiditas-Kredit Mandiri, BNI & BRI

  • Maskobus
  • Sep 16, 2025

Jakarta, CNBC Indonesia – Suntikan dana segar senilai Rp200 triliun dari pemerintah melalui pengalihan Saldo Anggaran Lebih (SAL) menjadi angin segar bagi emiten perbankan pelat merah. Kementerian Keuangan, di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa, secara resmi mengalokasikan dana tersebut kepada lima bank mitra pada Jumat, 12 September 2025. Langkah ini bertujuan untuk memperkuat likuiditas dan mendorong ekspansi kredit di sektor perbankan.

"Ini sudah diputuskan dan siang ini sudah disalurkan ya. Ini kita kirim ke lima bank, (yaitu) Mandiri, BRI, BTN, BNI, BSI. Saya pastikan, dana yang harus dikirim, masuk ke sistem perbankan hari ini," tegas Purbaya saat konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat, pada hari yang sama.

Dana Rp200 triliun ini merupakan milik pemerintah yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia (BI). Dengan tambahan likuiditas signifikan ini, perbankan diharapkan dapat meningkatkan penyaluran kredit. Rasio Loan to Deposit Ratio (LDR) yang lebih longgar akan memberikan ruang lebih besar bagi bank untuk ekspansi kredit, membuka pintu bagi pembiayaan ke sektor riil, termasuk UMKM, infrastruktur, dan konsumsi rumah tangga.

Aliran dana murah ini berpotensi menekan cost of fund, memungkinkan bank untuk menawarkan bunga kredit yang lebih kompetitif. Hal ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan bunga bank dan berpotensi meningkatkan valuasi saham perbankan.

Namun, pertanyaannya adalah, seberapa siapkah bank-bank Himbara (Himpunan Bank Milik Negara) untuk menyerap dan menyalurkan dana segar ini?

Diguyur Dana Rp200 T, Ini Kondisi Likuiditas-Kredit Mandiri, BNI & BRI

Kondisi Likuiditas Bank Himbara: Sebelum Suntikan Dana Rp200 Triliun

CNBC Indonesia Research telah mengumpulkan data terkini mengenai kondisi likuiditas bank Himbara hingga akhir Semester I/2025. Data ini memberikan gambaran awal tentang seberapa siap bank-bank ini untuk memanfaatkan suntikan dana dari pemerintah. Perlu dicatat bahwa data untuk BRIS (BRI Syariah) dan BMRI (Bank Mandiri) belum diperbarui pada saat analisis ini dilakukan.

Berdasarkan data yang tersedia, BBRI (Bank BRI) dan BBNI (Bank BNI) menunjukkan kondisi likuiditas yang relatif sehat. LDR masing-masing tercatat sebesar 84,97% dan 86%, berada dalam rentang ideal yang memungkinkan penyaluran kredit yang efisien tanpa mengganggu likuiditas. Kedua bank ini juga didukung oleh rasio Current Account Saving Account (CASA) yang tinggi, yaitu 65,5% untuk BBRI dan 72% untuk BBNI. CASA yang tinggi menunjukkan struktur pendanaan yang kuat dengan dominasi dana murah, yang memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan likuiditas.

Sementara itu, BMRI mencatatkan LDR tertinggi di antara bank Himbara lainnya, yaitu 93,5%. Angka ini mengindikasikan ekspansi kredit yang sangat agresif, yang berpotensi menekan ruang likuiditas. Meskipun demikian, BMRI masih terbantu oleh CASA yang tinggi, yaitu 72,6%, yang merupakan yang tertinggi di antara Himbara.

BRIS juga menunjukkan LDR yang relatif tinggi, yaitu 89,87%, dengan CASA sebesar 60,67%. Kondisi ini mengindikasikan likuiditas yang cukup ketat dan pendanaan murah yang masih terbatas dibandingkan dengan bank-bank besar lainnya.

BBTN (Bank BTN) menjadi bank dengan kondisi yang paling menantang, dengan LDR sebesar 92,6% dan CASA hanya 49,1%. Kombinasi ini menciptakan kondisi likuiditas yang ketat dan biaya dana yang lebih mahal.

Tantangan Penyaluran Kredit: Lebih dari Sekadar Likuiditas

Suntikan likuiditas sebesar Rp200 triliun memang berpotensi melonggarkan likuiditas perbankan dan membuka peluang untuk ekspansi kredit yang lebih agresif. Namun, realitasnya tidak sesederhana itu. Sejak awal tahun 2025, penyaluran kredit perbankan secara industri terus mengalami penurunan. Pada Juli 2025, pertumbuhan kredit tercatat sebesar 7,03% secara tahunan (yoy), melambat dari pertumbuhan sebesar 7,77% yoy pada bulan sebelumnya. Angka ini merupakan laju pertumbuhan kredit terendah sejak Maret 2022.

Perlambatan pertumbuhan kredit terjadi di seluruh kategori utama: kredit konsumsi tumbuh 8,11% (turun dari 8,49% pada Juni); kredit investasi melambat menjadi 12,42% (dari 12,53%); dan kredit modal kerja hanya tumbuh 3,08% (turun dari 4,45%).

Pertumbuhan kredit terutama didorong oleh sektor-sektor berorientasi ekspor, khususnya pertambangan dan perkebunan, serta sektor transportasi, industri, dan jasa sosial. Pelemahan pertumbuhan kredit mencerminkan beberapa faktor, termasuk penurunan daya beli masyarakat, penyusutan kelas menengah, dan meningkatnya kehati-hatian perbankan dalam menyalurkan kredit.

Di sisi lain, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Juli 2025 sebesar 7% yoy mendorong bank untuk lebih banyak mengalokasikan dana ke surat berharga dan memperketat standar penyaluran kredit. Hal ini menunjukkan bahwa likuiditas yang berlimpah tidak secara otomatis menjamin peningkatan penyaluran kredit.

Profitabilitas Bank Himbara: Tertekan Perlambatan Kredit

Perlambatan pertumbuhan kredit berdampak pada kinerja laba bank Himbara. Sejauh ini, dua dari enam bank Himbara mencatat kontraksi pertumbuhan laba. BMRI hanya mampu mencatatkan pertumbuhan laba single digit, sementara BBTN dan BRIS masih mampu mempertahankan pertumbuhan laba double digit.

Tren ini tidak lepas dari dampak suku bunga tinggi sejak tahun lalu, inflasi, dan tensi geopolitik global yang memicu keluarnya dana asing. Kondisi ini mendorong perbankan untuk mengadopsi strategi konservatif, lebih berhati-hati dalam menjaga likuiditas daripada mendorong pertumbuhan kredit.

Namun, masuknya dana SAL Rp200 triliun diharapkan dapat mengubah narasi ini. Kebijakan ini memberikan ruang tambahan bagi bank untuk melakukan ekspansi kredit, memperkuat fungsi intermediasi, dan mendukung strategi fiskal ekspansif pemerintah. Dana yang semula mengendap kini dapat "bekerja" untuk menggerakkan sektor produktif dan menciptakan efek multiplier bagi perekonomian.

Selain itu, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia yang telah terjadi empat kali di tahun 2025 juga diharapkan dapat memicu kembali permintaan kredit. Meskipun demikian, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada pengawasan dan implementasi yang tepat agar dana benar-benar tersalurkan ke sektor riil, bukan hanya menumpuk di perbankan.

Kesimpulan: Peluang dan Tantangan di Depan Mata

Suntikan dana Rp200 triliun dari pemerintah memberikan peluang besar bagi bank Himbara untuk meningkatkan penyaluran kredit dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, tantangan yang ada tidak bisa diabaikan. Bank perlu mengatasi faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan kredit, seperti penurunan daya beli masyarakat dan kehati-hatian dalam penyaluran kredit.

Selain itu, pengawasan dan implementasi yang efektif sangat penting untuk memastikan bahwa dana tersebut benar-benar tersalurkan ke sektor riil dan memberikan dampak positif bagi perekonomian. Keberhasilan bank Himbara dalam memanfaatkan peluang ini akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mengelola likuiditas dengan bijak, meningkatkan efisiensi operasional, dan merespons perubahan kondisi pasar dengan cepat.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :