Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (RUU Haji) saat ini sedang dalam proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Meskipun pembahasan mendalam dengan pemerintah belum secara resmi dimulai, berbagai pihak telah memberikan perhatian dan masukan terhadap rancangan undang-undang ini. Salah satu suara penting datang dari Direktur Jenderal (Dirjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia, Hilman Latief.
Dalam sebuah diskusi terfokus (FGD) mengenai tata kelola haji yang diselenggarakan oleh Fraksi Gerindra, Hilman Latief menyampaikan pandangannya mengenai RUU Haji. Ia menekankan pentingnya membaca dan memahami RUU ini secara seksama. Menurutnya, RUU Haji harus dirancang dengan cermat agar tidak menimbulkan aturan yang justru dapat menjebak penyelenggara haji di masa depan.
"Saya baca betul satu-satu. Saya ingin, tidak ada menjebak penyelenggara karena ini penting sekali. Ada ruang-ruang kosong yang bisa menjebak penyelenggara," kata Hilman Latief dalam FGD tersebut.
Salah satu isu krusial yang disoroti oleh Hilman Latief adalah mengenai kuota haji. Kuota haji merupakan jumlah jemaah haji yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi kepada setiap negara. Jumlah kuota ini biasanya ditetapkan melalui perjanjian bilateral antara kedua negara. Hilman Latief menekankan bahwa RUU Haji harus mampu mengantisipasi adanya perbedaan aturan atau interpretasi mengenai kuota haji antara Indonesia dan Arab Saudi.
"Kuota sangat penting bisa mempersepsikan kuota. Kuota itu jatah, jemaah haji Indonesia 221 ribu sejauh ini. Dan diperdebatkan cukup hangat, muncul skenario maksimum 8%," tutur Hilman Latief.
Dirjen PHU Kemenag ini juga mencontohkan dilema yang pernah ia hadapi terkait aturan pembagian kuota haji reguler dan haji khusus. Dalam aturan yang berlaku, disebutkan bahwa kuota haji reguler adalah 92% dan kuota haji khusus adalah 8%. Namun, aturan tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan apakah angka tersebut merupakan batasan maksimal atau minimal.
"Tahun 2022 saya mau dipolilsikan bapak-bapak [penyelenggara haji khusus] ini karena kurang dari 8%, kurang dari UU. Keputusan Kemenhaj yang tidak bisa saya nego itu kurang dari 8%," ungkap Hilman Latief.
Menurut Hilman Latief, masalah kuota dan pembagian haji reguler dan khusus ini seringkali menimbulkan perbedaan pandangan antara Pemerintah Arab Saudi dan Pemerintah Indonesia. Bagi Pemerintah Arab Saudi, haji reguler dan haji khusus hanya dibedakan berdasarkan layanan yang diberikan. Sementara di Indonesia, perbedaan antara haji reguler dan haji khusus berkaitan erat dengan sistem antrean.
"Di kita khusus dan reguler kaitannya dengan antrean," kata Hilman Latief.
Oleh karena itu, Hilman Latief menekankan pentingnya memperhatikan setiap kata dan kalimat dalam RUU Haji. Menurutnya, jika tidak ada kata-kata pengaman yang jelas, penyelenggara haji dapat dianggap melanggar undang-undang.
"Ini hati-hati," ujar Hilman Latief.
Selain masalah kuota, Hilman Latief juga menyoroti masalah pengisian kuota haji. Ia menjelaskan bahwa proses pengisian kuota haji biasanya dilakukan melalui tiga tahap. Namun, dalam sejarahnya, kuota haji Indonesia tidak pernah terpenuhi sepenuhnya.
"Dalam sejarah enggak pernah kuota terpenuhi. Ada 1.000-1.200 sisa," ujar Hilman Latief.
Menurutnya, kondisi ini dapat menjadi celah yang dapat menyasar penyelenggara haji. Penyelenggara haji dapat dianggap lalai karena tidak mampu memenuhi kuota haji yang telah ditetapkan. Hilman Latief berharap agar masalah ini tidak dibawa ke ranah hukum yang lebih tinggi.
"Kasihan penyelenggara," tambah Hilman Latief.
Isu lain yang tak kalah penting adalah mengenai penggabungan mahram. Dalam konteks ibadah haji, mahram adalah orang yang haram dinikahi karena hubungan darah, persusuan, atau pernikahan. Undang-undang saat ini memperbolehkan penggabungan mahram dalam pelaksanaan ibadah haji. Hal ini memungkinkan suami-istri, orang tua-anak, atau anggota keluarga lainnya untuk berangkat haji bersama-sama meskipun mereka mendaftar pada waktu yang berbeda.
Namun, Hilman Latief mengakui bahwa penggabungan mahram ini memiliki tantangan tersendiri. Pada tahun 2024, jumlah jemaah haji yang menggabungkan mahram mencapai sekitar 20 ribu orang.
"Saya hitung jumlahnya 17-20 ribu. Mereka sama-sama dapat subsidi nilai manfaat full, padahal di belum berhak. Sah menurut undang-undang, tapi very dangerous buat BPKH. 21 ribu kali Rp 35 juta. Ini bahaya," jelas Hilman Latief.
Penggabungan mahram ini memungkinkan jemaah haji untuk berangkat bersama-sama meskipun mereka mendaftar dalam waktu yang berbeda. Misalnya, seorang ayah yang telah mengantre selama 20 tahun dapat berangkat haji bersama anaknya yang baru mendaftar selama 5 tahun.
"Kalau ke depan masih mau diberlakukan, bisa tetap dilakukan tapi harus ada konsekuensi keuangannya. Jangan sampai sama dong. Ayah daftar 20 tahun, anak 5 tahun. Itu 20 ribu orang kayak gitu," tutur Hilman Latief.
Lebih lanjut, Hilman Latief menjelaskan bahwa penggabungan mahram ini dapat mengurangi jatah jemaah haji reguler. Karena ada jemaah haji yang maju karena penggabungan mahram, jemaah haji reguler yang seharusnya berangkat pada tahun tersebut menjadi tertunda.
"Setiap tahun kita menghambat percepatan orang yang harus masuk kuota 20 ribu. 10% dari kuota tertahan enggak berangkat," ucap Hilman Latief.
Dengan demikian, Hilman Latief menekankan pentingnya RUU Haji untuk mengatur secara jelas mengenai penggabungan mahram. Jika penggabungan mahram tetap ingin diberlakukan, harus ada konsekuensi keuangan yang adil. Jangan sampai jemaah haji yang baru mendaftar mendapatkan subsidi nilai manfaat yang sama dengan jemaah haji yang telah lama mengantre.
Secara keseluruhan, pandangan Dirjen PHU Kemenag Hilman Latief terhadap RUU Haji menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam penyelenggaraan ibadah haji. RUU Haji harus mampu mengakomodasi berbagai kepentingan dan memastikan bahwa penyelenggaraan ibadah haji berjalan dengan lancar, efisien, dan adil.
Penting bagi para pemangku kepentingan, termasuk DPR, pemerintah, dan masyarakat, untuk terlibat aktif dalam pembahasan RUU Haji. Masukan dan saran dari berbagai pihak akan sangat berharga untuk menghasilkan undang-undang yang berkualitas dan mampu menjawab tantangan penyelenggaraan ibadah haji di masa depan.
RUU Haji diharapkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia. Dengan adanya undang-undang yang jelas dan komprehensif, diharapkan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah dapat berjalan lebih baik dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi jemaah haji dan umrah Indonesia.