Jakarta – Dugaan aliran dana signifikan ke akun-akun media sosial yang menayangkan demonstrasi secara langsung telah memicu kekhawatiran serius terkait motif di balik aksi-aksi tersebut. Ardi Sutedja, Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), menyoroti fenomena ini sebagai bentuk "monetisasi konflik," di mana ketegangan sosial dieksploitasi untuk keuntungan finansial.
Pernyataan Ardi muncul sebagai respons terhadap temuan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Meutya Hafid, yang mengindikasikan adanya monetisasi konten provokatif di media sosial selama aksi demonstrasi beberapa waktu lalu. Kementerian Kominfo (Kominfo) menemukan bukti bahwa beberapa akun yang terlibat dalam siaran langsung demonstrasi terhubung dengan jaringan judi online dan aktivitas ekonomi ilegal lainnya. Temuan ini mengarah pada dugaan adanya motif ekonomi terstruktur yang mendasari penyiaran konten-konten yang berpotensi memicu kerusuhan.
Ardi menjelaskan bahwa investigasi Kominfo mengindikasikan adanya upaya terorganisir dan sistematis untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi dengan iming-iming insentif finansial yang jelas dan terukur. Pola ini menandakan keberadaan ekosistem ekonomi digital yang tumbuh subur dengan memanfaatkan situasi ketegangan sosial demi kepentingan finansial pribadi atau kelompok tertentu.
"Fenomena ini pada dasarnya merupakan bentuk monetisasi konflik sosial yang sangat problematik, di mana pembuat konten mendapatkan keuntungan finansial langsung dari situasi kekacauan publik dan ketidakstabilan sosial," tegas Ardi.
Pihak kepolisian juga telah mengidentifikasi adanya motif pencarian gift sebagai pendorong utama di balik maraknya aksi siaran langsung demonstrasi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian pelaku tidak semata-mata termotivasi oleh keinginan untuk menyampaikan aspirasi atau mendokumentasikan peristiwa penting, melainkan secara sadar mencari keuntungan finansial dari situasi yang berpotensi berbahaya tersebut.
"Hal ini telah mendorong pihak kepolisian untuk melakukan pemantauan khusus terhadap aktivitas siaran langsung selama demonstrasi berlangsung," imbuh Ardi. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi potensi penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi yang dapat memperburuk situasi.
Ardi lebih lanjut menilai bahwa aliran dana yang dimaksud Menkominfo dapat dimaknai sebagai komersialisasi aktivisme yang berpotensi menggerus esensi gerakan sosial yang sesungguhnya. Ketika motivasi finansial menjadi faktor pendorong utama dalam aktivitas dokumentasi dan penyebaran informasi terkait demonstrasi, objektivitas dan kebenaran informasi yang disampaikan menjadi sangat dipertanyakan.
"Dalam konteks yang lebih luas, aliran dana ke akun-akun yang melakukan siaran langsung demonstrasi dapat dimaknai sebagai bentuk komersialisasi aktivisme yang berpotensi menggerus esensi dan integritas dari gerakan sosial itu sendiri," jelasnya.
Kondisi ini menciptakan distorsi informasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap isu-isu penting yang sebenarnya menjadi substansi dari demonstrasi tersebut. Masyarakat menjadi sulit untuk membedakan antara informasi yang akurat dan objektif dengan informasi yang sengaja dipelintir atau dibesar-besarkan untuk kepentingan finansial.
Kementerian Kominfo sendiri telah menerima lonjakan laporan masyarakat terkait maraknya provokasi di internet. Menkominfo Meutya Hafid mengungkapkan bahwa provokasi tersebut tidak hanya berupa ujaran kebencian, tetapi juga ajakan penjarahan, penyerangan, hingga penyebaran isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) yang sangat sensitif.
Meutya juga menyoroti bahwa Kominfo menemukan adanya informasi keliru yang disebarkan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan kecepatan penyebaran yang sangat tinggi, diibaratkan sebagai banjir bandang yang menenggelamkan informasi yang benar, masukan, kritikan konstruktif, atau aktivitas produktif, seperti pembelajaran, UMKM, dan sebagainya.
Menurut Meutya, indikasi awal menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi. Temuan pemerintah juga memperlihatkan adanya aliran dana signifikan melalui platform digital, yang diduga digunakan untuk mendanai aktivitas anarkis yang bertujuan untuk menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan.
"Indikasi awal menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi," ujar Meutya melalui akun Instagram miliknya. Pernyataan ini menggarisbawahi keseriusan pemerintah dalam menanggapi fenomena monetisasi konflik dan dampaknya terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.
Meskipun tidak menyebutkan secara spesifik, Meutya mengungkapkan dugaan aliran dana yang jumlahnya signifikan melalui platform digital. Informasi ini menjadi perhatian serius bagi aparat penegak hukum dan pihak terkait untuk melakukan investigasi lebih lanjut.
"Sejak beberapa hari terakhir, kami juga memantau adanya aliran dana dalam jumlah signifikan melalui platform digital. Konten kekerasan dan anarkisme disiarkan secara langsung (live streaming) dan dimonetisasi lewat fitur donasi maupun gifts bernilai besar. Beberapa akun yang terlibat terhubung dengan jaringan judi online," tutur Meutya.
Keterkaitan antara akun-akun yang menyiarkan konten kekerasan dan anarkisme dengan jaringan judi online menimbulkan pertanyaan besar tentang motif dan agenda di balik aksi-aksi tersebut. Hal ini juga memunculkan kekhawatiran tentang potensi pencucian uang dan pendanaan kegiatan ilegal melalui platform media sosial.
Fenomena monetisasi konflik ini menjadi tantangan serius bagi pemerintah dan masyarakat dalam menjaga stabilitas sosial dan keamanan negara. Diperlukan upaya kolaboratif dari berbagai pihak untuk mengatasi masalah ini, termasuk peningkatan literasi digital masyarakat, penegakan hukum yang tegas, dan kerja sama dengan platform media sosial untuk memberantas konten-konten provokatif dan ilegal.
Selain itu, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya disinformasi dan ujaran kebencian di media sosial. Masyarakat perlu dilatih untuk lebih kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi, serta menghindari terpancing oleh provokasi yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Pemerintah juga perlu terus mengembangkan regulasi yang adaptif terhadap perkembangan teknologi dan media sosial. Regulasi ini harus mampu melindungi masyarakat dari dampak negatif konten-konten ilegal, sekaligus tetap menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat yang bertanggung jawab.
Dalam jangka panjang, upaya pencegahan monetisasi konflik harus difokuskan pada akar masalahnya, yaitu ketimpangan sosial dan ekonomi, polarisasi politik, dan kurangnya pemahaman tentang nilai-nilai kebangsaan. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah-masalah ini, sehingga masyarakat tidak mudah terprovokasi dan termanipulasi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Monetisasi konflik merupakan ancaman nyata bagi demokrasi dan stabilitas sosial. Dengan kesadaran dan kerja sama dari semua pihak, kita dapat melawan fenomena ini dan menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat, aman, dan produktif. Hanya dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa media sosial digunakan untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara.