Eksploitasi Suku Terpencil Papua demi Konten TikTok, Influencer Ini Dikecam

  • Maskobus
  • Sep 13, 2025

Seorang influencer asal Irlandia, Dara Tah, menuai kecaman luas setelah mengunggah serangkaian video kontroversial di platform TikTok. Video-video tersebut menampilkan perjalanannya ke wilayah Papua, di mana ia mencoba berinteraksi dengan sebuah suku terpencil yang ia klaim sebagai "suku kanibal". Aksi ini memicu kemarahan netizen yang menuduh Tah melakukan eksploitasi budaya demi popularitas dan keuntungan pribadi. Konten yang dianggap merendahkan martabat masyarakat adat Papua ini, sontak menjadi sorotan tajam dan memicu perdebatan sengit mengenai etika pembuatan konten di media sosial, khususnya yang melibatkan kelompok masyarakat rentan. Insiden ini bukan hanya sekadar kasus individual, melainkan juga membuka diskusi lebih luas tentang tanggung jawab influencer dan dampak konten mereka terhadap citra budaya serta kesejahteraan masyarakat lokal.

Dara Tah, yang memiliki lebih dari 750 ribu pengikut di TikTok, memang dikenal dengan konten-konten ekstrem dan sensasional. Dilansir dari New York Post, sebelumnya ia pernah membuat video tentang tidak tidur selama 48 jam dan mencoba metode penyiksaan kuno. Namun, perjalanannya ke Papua ini dinilai telah melampaui batas dan menyinggung nilai-nilai budaya serta kemanusiaan. Dalam video yang telah ditonton puluhan juta kali, Tah bersama tim turis dan pemandu lokal terlihat menyusuri sungai dengan perahu kayu, mendekati sebuah komunitas adat di pedalaman Papua. Masyarakat adat tersebut menyambut kedatangan mereka dengan teriakan dan mengangkat busur panah, bahkan seorang pria terlihat membidikkan panah ke arah rombongan Tah.

Alih-alih mundur dan menghormati keinginan masyarakat adat untuk tidak berinteraksi, Tah justru mencoba mendekat dan menawarkan sebungkus garam sebagai tanda "damai". Namun, upaya ini berujung pada penolakan keras. Pemimpin adat yang didekati Tah menolak pemberian tersebut dengan marah dan meludah setelah mencicipi garam, sebuah gestur yang jelas menunjukkan ketidaksukaan dan penolakan terhadap kehadiran mereka. Pemandu lokal pun memperingatkan rombongan Tah bahwa mereka "tidak diterima" dan harus segera pergi demi keselamatan mereka sendiri. Meski menghadapi situasi yang jelas tidak bersahabat, Tah justru menutup videonya dengan pernyataan bahwa ia akan mencoba lagi "besok" untuk berteman dengan penduduk suku tersebut, seolah mengabaikan sinyal penolakan yang telah diterimanya.

Video-video tersebut segera memicu gelombang kritik dari netizen di seluruh dunia. Banyak yang menilai bahwa Tah telah memasuki wilayah adat tanpa izin dan tanpa menghormati privasi serta tradisi masyarakat setempat. Mereka menuduh Tah hanya mencari sensasi dan menjadikan masyarakat adat sebagai objek konten demi meningkatkan popularitas dan mendapatkan engagement di media sosial. Komentar-komentar pedas bermunculan, mengecam tindakan Tah sebagai bentuk eksploitasi budaya yang tidak dapat diterima.

Eksploitasi Suku Terpencil Papua demi Konten TikTok, Influencer Ini Dikecam

"Biarkan mereka hidup tenang, mereka tidak mengganggumu," tulis seorang warganet. Komentar ini mencerminkan sentimen umum bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk hidup dalam damai dan tidak dijadikan objek tontonan atau bahan eksploitasi oleh orang luar.

"Jadi kamu masuk ke tanah mereka untuk konten, lalu menyebut mereka menakutkan?" komentar warganet lainnya. Pertanyaan ini menyoroti ironi dalam tindakan Tah, yang memasuki wilayah masyarakat adat tanpa izin, kemudian menggambarkan mereka sebagai "menakutkan" hanya karena mereka mempertahankan wilayah dan tradisi mereka.

Selain itu, beberapa netizen juga menuding bahwa konten tersebut direkayasa dan tidak mencerminkan realitas masyarakat Papua modern. Mereka berpendapat bahwa masyarakat Papua saat ini tidak lagi berpakaian atau berperilaku seperti yang ditampilkan dalam video Tah, dan bahwa penggambaran tersebut hanyalah stereotip yang menyesatkan dan merendahkan. Kritik juga ditujukan pada penggunaan label "kanibal", yang dianggap sebagai stereotip lama yang tidak akurat dan berbahaya. Meskipun beberapa suku di Papua, seperti suku Korowai, memiliki catatan sejarah tentang praktik kanibalisme ritual, tradisi tersebut sudah lama ditinggalkan sejak pertengahan abad ke-20. Penggunaan label "kanibal" secara sembarangan dianggap sebagai bentuk stigmatisasi dan diskriminasi terhadap masyarakat Papua secara keseluruhan.

Kasus Dara Tah ini memicu perdebatan yang lebih luas tentang etika travel blogging dan vlogging, khususnya ketika melibatkan masyarakat adat atau kelompok masyarakat rentan lainnya. Banyak yang berpendapat bahwa influencer memiliki tanggung jawab untuk menghormati budaya dan tradisi masyarakat setempat, serta untuk memastikan bahwa konten mereka tidak merugikan atau mengeksploitasi mereka. Beberapa pihak juga menyerukan agar pemerintah dan platform media sosial membuat regulasi yang lebih ketat untuk melindungi masyarakat adat dari eksploitasi dan diskriminasi melalui konten media sosial.

Kejadian ini menjadi pengingat penting bagi para influencer dan pembuat konten lainnya untuk mempertimbangkan dampak dari tindakan mereka terhadap masyarakat lokal. Sebelum membuat konten yang melibatkan masyarakat adat, penting untuk melakukan riset yang mendalam tentang budaya dan tradisi mereka, mendapatkan izin dari tokoh masyarakat setempat, dan memastikan bahwa konten tersebut dibuat dengan menghormati dan tidak merendahkan martabat mereka. Selain itu, influencer juga harus menyadari bahwa mereka memiliki platform dan pengaruh yang besar, dan bahwa mereka dapat menggunakan pengaruh tersebut untuk mempromosikan pemahaman dan penghargaan terhadap budaya yang berbeda, serta untuk mendukung hak-hak masyarakat adat.

Lebih jauh, insiden ini menyoroti perlunya peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang masyarakat adat Papua di kalangan masyarakat luas. Papua adalah wilayah yang kaya akan keragaman budaya dan alam, dan rumah bagi ratusan suku asli dengan tradisi dan bahasa yang unik. Namun, masyarakat adat Papua seringkali menghadapi tantangan dan diskriminasi, termasuk marginalisasi ekonomi, akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, serta ancaman terhadap tanah dan sumber daya alam mereka. Melalui pendidikan dan kesadaran publik, kita dapat membantu mengatasi stereotip dan prasangka yang merugikan terhadap masyarakat adat Papua, serta mempromosikan penghargaan dan dukungan terhadap hak-hak mereka.

Penting untuk diingat bahwa masyarakat adat bukanlah objek tontonan atau bahan eksploitasi, melainkan manusia dengan hak dan martabat yang sama dengan kita semua. Mereka memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri dan untuk hidup sesuai dengan budaya dan tradisi mereka sendiri. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak mereka dan untuk mendukung upaya mereka dalam melestarikan budaya dan tradisi mereka untuk generasi mendatang. Kasus Dara Tah ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita semua tentang pentingnya etika, tanggung jawab, dan rasa hormat dalam berinteraksi dengan masyarakat adat dan kelompok masyarakat rentan lainnya. Hanya dengan begitu kita dapat memastikan bahwa media sosial menjadi alat untuk mempromosikan pemahaman dan penghargaan terhadap keragaman budaya, bukan untuk mengeksploitasi dan merendahkan martabat orang lain.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :