Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) secara aktif mendorong pemerintah untuk meninjau ulang regulasi perpajakan yang berlaku bagi kendaraan hybrid. Desakan ini didasari oleh keyakinan bahwa insentif yang lebih menarik bagi mobil hybrid akan berdampak positif pada pertumbuhan industri otomotif nasional, seiring dengan perubahan tren global yang semakin condong pada teknologi hybrid sebagai jembatan menuju elektrifikasi penuh.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menyampaikan aspirasi ini secara langsung di Gedung Kementerian Perindustrian pada Senin, 25 Agustus 2025. Menurutnya, meskipun insentif yang diberikan saat ini tergolong moderat, minat masyarakat terhadap mobil hybrid cukup tinggi. "Walaupun insentifnya sedikit, ternyata peminatnya juga banyak (mobil hybrid). Akan jauh lebih bagus lagi kalau kita meninjau lagi PP 73 tadi, apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan. Dengan begitu, nanti industrinya juga tumbuh," ujar Kukuh, menekankan potensi pertumbuhan industri yang dapat dicapai melalui penyesuaian regulasi.
Kukuh merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019, yang kemudian disesuaikan menjadi PP Nomor 74 Tahun 2021, sebagai landasan regulasi yang perlu ditinjau. PP ini mengatur tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan hybrid. Dalam aturan tersebut, kendaraan Hybrid Electric Vehicle (HEV) dikenakan tarif PPnBM sebesar 15 persen untuk kapasitas mesin hingga 3.000 cc, dengan dasar pengenaan pajak yang bervariasi antara 40 persen hingga 46 persen, tergantung pada efisiensi konsumsi bahan bakar atau tingkat emisi yang dihasilkan.
Sebagai perbandingan, kendaraan berbasis Battery Electric Vehicle (BEV) atau mobil listrik murni mendapatkan pembebasan PPnBM, dari tarif semula 15 persen menjadi 0 persen. Perbedaan signifikan dalam perlakuan pajak ini menjadi salah satu poin utama yang disoroti oleh Gaikindo.
Alasan lain yang mendasari dorongan untuk meninjau kebijakan terkait mobil hybrid adalah adanya pergeseran tren kendaraan di pasar global. Kukuh menjelaskan bahwa sejumlah negara kini tidak lagi berfokus secara eksklusif pada BEV, melainkan mulai memberikan perhatian lebih pada teknologi hybrid. "Kalau kita melihat tren global, sekarang hybrid mendapatkan perhatian. Jadi ada pergeseran dari BEV ke hybrid," ungkapnya.
Kukuh menekankan pentingnya Indonesia untuk segera merespons perubahan tren ini agar tidak tertinggal dari negara-negara lain. "Nah, sebelum ketinggalan, sebaiknya kita juga memulainya lebih awal. Karena kalau tidak salah China pun melakukan refocus dari hybrid ke hybrid dan PHEV (Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV)," jelas Kukuh, mencontohkan langkah strategis yang diambil oleh Tiongkok dalam mengembangkan ekosistem kendaraan hybrid dan plug-in hybrid.
Gaikindo berpendapat bahwa segmen kendaraan hybrid sangat cocok untuk mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan utama. Pertama, mesin hybrid memiliki emisi yang lebih rendah dibandingkan dengan kendaraan konvensional, sehingga berkontribusi pada upaya pengurangan polusi udara dan pencapaian target-target lingkungan. Kedua, teknologi hybrid tetap mendukung keberlanjutan industri rantai pasok otomotif secara lebih luas, karena masih mengadopsi mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) sebagai bagian dari sistem penggeraknya. Hal ini berbeda dengan BEV yang sepenuhnya mengandalkan tenaga listrik dan membutuhkan rantai pasok yang berbeda pula.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Riyanto, memberikan pandangan yang sejalan dengan Gaikindo. Menurutnya, mobil hybrid dan PHEV memiliki potensi untuk memberikan kontribusi yang lebih signifikan dalam mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya. "Memang kalau melihat awal 2025 sampai pertengahan tahun, BEV punya peran penurunan emisi hingga 54 persen di Indonesia," kata Riyanto pada kesempatan yang sama. Namun, ia juga menekankan bahwa adopsi teknologi hybrid yang lebih luas dapat mempercepat transisi menuju mobilitas yang lebih berkelanjutan.
Dorongan Gaikindo untuk meninjau ulang aturan pajak mobil hybrid juga didasari oleh pertimbangan bahwa teknologi ini dapat menjadi solusi yang lebih realistis dan terjangkau bagi konsumen Indonesia saat ini. Infrastruktur pengisian daya untuk BEV masih terbatas, terutama di luar kota-kota besar. Selain itu, harga mobil listrik murni masih relatif tinggi dibandingkan dengan mobil hybrid atau konvensional. Dengan demikian, mobil hybrid dapat menjadi pilihan yang lebih menarik bagi konsumen yang ingin beralih ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan tanpa harus menghadapi kendala infrastruktur atau biaya yang signifikan.
Selain itu, Gaikindo juga menyoroti bahwa industri otomotif Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi basis produksi kendaraan hybrid yang kompetitif di tingkat regional maupun global. Dengan dukungan pemerintah yang tepat, termasuk insentif fiskal yang menarik, industri otomotif nasional dapat menarik investasi asing dan meningkatkan ekspor kendaraan hybrid ke negara-negara lain. Hal ini akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing industri otomotif Indonesia di pasar internasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Gaikindo mengusulkan beberapa opsi kebijakan yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah. Salah satunya adalah penurunan tarif PPnBM untuk kendaraan hybrid, terutama untuk model-model yang memiliki tingkat efisiensi bahan bakar dan emisi yang sangat baik. Selain itu, pemerintah juga dapat memberikan insentif lainnya, seperti pengurangan pajak kendaraan bermotor (PKB) atau biaya balik nama (BBN), serta dukungan untuk pengembangan infrastruktur pengisian daya untuk mobil listrik dan plug-in hybrid.
Gaikindo juga menekankan pentingnya koordinasi yang erat antara pemerintah, industri otomotif, dan pemangku kepentingan lainnya dalam merumuskan kebijakan yang efektif dan berkelanjutan. Dialog yang terbuka dan konstruktif akan membantu memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasar Indonesia, serta mendukung pertumbuhan industri otomotif yang sehat dan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, dorongan Gaikindo untuk meninjau ulang aturan pajak mobil hybrid merupakan langkah strategis yang bertujuan untuk mempercepat transisi menuju mobilitas yang lebih ramah lingkungan, mendukung pertumbuhan industri otomotif nasional, dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global. Dengan respons yang positif dari pemerintah, diharapkan industri otomotif Indonesia dapat memainkan peran yang lebih besar dalam mencapai target-target lingkungan dan ekonomi yang telah ditetapkan.