Gaya Presiden RI di Sidang PBB: Mega Pakai Kebaya-Jokowi Bahasa Campur

  • Maskobus
  • Sep 23, 2025

Sidang Umum PBB (United Nations General Assembly/UNGA), sebuah forum diplomasi global terkemuka, menjadi ajang penting bagi Indonesia untuk menampilkan identitas, gagasan, dan arah kebijakan luar negerinya. Sejak era Soekarno hingga Joko Widodo, para pemimpin Indonesia telah menggunakan forum ini untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada dunia, dengan gaya penyampaian yang mencerminkan zaman dan kepribadian masing-masing. Pilihan pakaian dan bahasa menjadi elemen penting dalam membangun citra dan menyampaikan pesan yang ingin disampaikan.

Soekarno: Retorika Berapi-api dan Simbol Nasional

Presiden pertama RI, Soekarno, mencetak sejarah pada 30 September 1960 dengan pidatonya yang monumental berjudul "To Build The World Anew." Selama 90 menit, Bung Karno berpidato dalam bahasa Inggris dengan gaya retorika yang berapi-api, menyerang dominasi Barat dan menyerukan tatanan dunia baru. Pidatonya memadukan kutipan dari kitab suci dengan analisis geopolitik, yang kala itu sangat relevan di tengah polarisasi Perang Dingin.

Penampilan Soekarno pun tak kalah memukau. Ia mengenakan setelan jas formal yang rapi, dilengkapi dengan peci hitam khas Indonesia. Pakaian ini mencerminkan upaya untuk tampil sebagai pemimpin modern, namun tetap membawa simbol nasional yang kuat. Kombinasi bahasa Inggris yang lugas dengan simbol kultural ini menjadikan kehadiran Soekarno di PBB sebagai salah satu momen diplomasi paling ikonik. Pidato Soekarno di PBB bukan hanya sekadar penyampaian gagasan, tetapi juga sebuah pernyataan tentang identitas dan kemandirian Indonesia di panggung dunia. Ia berani mengkritik kekuatan-kekuatan besar dan menyerukan perubahan mendasar dalam sistem internasional.

Soeharto: Stabilitas dan Diplomasi Tenang

Gaya Presiden RI di Sidang PBB: Mega Pakai Kebaya-Jokowi Bahasa Campur

Dua puluh tahun kemudian, Soeharto tampil di Sidang Umum PBB dengan gaya yang berbeda jauh dari Soekarno. Ia lebih tenang, teknokratis, dan tidak meledak-ledak. Soeharto menyampaikan pidatonya dalam bahasa Indonesia, dengan penerjemah resmi PBB yang memastikan pesannya sampai ke audiens global. Pendekatan ini menunjukkan kehati-hatian dan preferensi untuk menekankan substansi alih-alih gaya retorika.

Soeharto mengenakan jas formal, sesuai dengan standar forum internasional. Tidak ada unsur pakaian tradisional yang menonjol, mencerminkan gaya kepemimpinan yang konservatif dan berorientasi pada protokol diplomasi klasik. Pidatonya menekankan stabilitas, pembangunan ekonomi, dan peran Indonesia dalam menjaga hubungan internasional. Kehadiran Soeharto di PBB menjadi bagian dari strategi legitimasi global yang hati-hati dan penuh perhitungan. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang stabil dan dapat diandalkan, serta siap bekerja sama dengan negara lain untuk mencapai tujuan bersama.

Megawati Soekarnoputri: Kebaya dan Pesan Toleransi

Memasuki era 2000-an, Megawati Soekarnoputri menghadiri Sidang Umum PBB pada 2001 dan 2003. Kehadirannya di tahun 2001 sangat penting karena berlangsung hanya beberapa hari setelah serangan 9/11 di Amerika Serikat. Megawati menggunakan kesempatan ini untuk menegaskan posisi Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, di tengah meningkatnya gelombang Islamofobia.

Megawati memilih bahasa Inggris untuk menyampaikan pidatonya. Ia menekankan perlunya reformasi mendasar dalam tubuh PBB agar lembaga internasional ini dapat bekerja lebih efektif dan memberikan kontribusi nyata bagi kehidupan manusia. Selain itu, Megawati menyoroti konflik berkepanjangan di Timur Tengah yang diyakininya menjadi akar munculnya aksi terorisme di seluruh dunia. Ia menyerukan agar para pemimpin dunia segera membicarakan dan menyelesaikan persoalan mendasar tersebut.

Dari sisi pakaian, Megawati tampil dengan kebaya, busana nasional yang jarang ditampilkan di forum seformal PBB. Pilihan ini memperkuat simbol identitas budaya sekaligus memberikan perbedaan visual dibandingkan pemimpin negara lain yang mayoritas memakai jas. Kehadiran Megawati pada 2001 dianggap penting, bukan hanya untuk menegaskan posisi Indonesia, tetapi juga untuk mengirimkan pesan bahwa dunia Islam tidak bisa disederhanakan dalam narasi terorisme pasca 9/11. Ia ingin menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan toleran, dan bahwa Indonesia adalah contoh negara Muslim yang demokratis dan modern.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY): Profesionalisme dan Diplomasi Global

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hadir beberapa kali di Sidang Umum PBB, dan gaya yang ia pilih lebih mendekati standar internasional. SBY kerap menggunakan bahasa Inggris secara langsung. Keputusan ini memungkinkan dirinya menyampaikan pesan tanpa perantara penerjemah, sekaligus memberi kesan presiden Indonesia mampu berbicara setara dengan pemimpin dunia lainnya. Gaya pidatonya rapi, diplomatis, dan sarat data, mencerminkan latar belakangnya sebagai perwira militer dan akademisi.

Dalam hal penampilan, SBY konsisten mengenakan jas formal dengan dasi. Ia menonjolkan citra presiden yang profesional dan serius di panggung internasional. Pidatonya biasanya berfokus pada kerja sama global, isu perubahan iklim, pembangunan ekonomi, dan perdamaian. SBY menjadikan forum ini sebagai sarana memperkuat citra Indonesia sebagai negara demokratis besar yang mampu memainkan peran konstruktif dalam hubungan internasional. Ia ingin menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang berkomitmen terhadap perdamaian dan pembangunan, serta siap bekerja sama dengan negara lain untuk mengatasi tantangan global.

Joko Widodo: Kesederhanaan dan Fokus pada Isu Global

Berbeda dengan para pendahulunya, Presiden Joko Widodo tidak pernah hadir langsung di Sidang Umum PBB. Selama masa jabatannya, ia lebih memilih menyampaikan pidato secara virtual pada 2020 dan 2021 ketika pandemi Covid-19 masih berlangsung. Jokowi menggunakan bahasa Indonesia dan bercampur Bahasa Inggris. Gaya penyampaiannya sederhana, lugas, dan tanpa retorika panjang. Dia fokus pada ajakan kerja sama dunia internasional akan penanganan Covid-19.

Karena tidak hadir langsung, pakaian Jokowi dalam forum ini tidak pernah menjadi sorotan utama. Rekaman pidato umumnya menampilkan dirinya dengan setelan jas sederhana. Pesan yang ia sampaikan biasanya berfokus pada solidaritas global, penanganan pandemi, serta kerja sama dalam pemulihan ekonomi. Absennya Jokowi secara fisik di New York membuat kehadiran Indonesia terasa berbeda dibanding presiden sebelumnya yang tampil langsung di podium. Meskipun demikian, pesan-pesan yang disampaikannya tetap relevan dan penting bagi dunia.

Wakil Presiden Jusuf Kalla: Batik dan Diplomasi Perdamaian

Wakil Presiden Jusuf Kalla menggantikan posisi presiden Joko Widodo di periode pertama pemerintahannya dengan hadir langsung di Sidang Umum PBB pada 2015-2019. Kehadiran pada 2015 dan 2019 menarik perhatian karena ia memilih mengenakan kemeja batik, berbeda dari tradisi jas formal. Pilihan ini memberi warna baru, memperlihatkan kepercayaan diri Indonesia membawa busana nasional ke panggung diplomasi dunia.

Dalam pidatonya, Jusuf Kalla menggunakan bahasa Inggris. Pesan yang dibawanya berfokus pada isu perdamaian dan peran Indonesia dalam berbagai misi internasional hingga isu Rohingya. Kehadiran JK menjadi bukti bahwa simbol budaya bisa mendapat tempat di forum seformal Sidang Umum PBB, sekaligus menegaskan identitas Indonesia di mata dunia. Pada 2016-2018, JK memilih berpidato dengan mengenakan pakaian sipil jas formal.

Prabowo Subianto: Babak Baru Diplomasi Indonesia

Kini, giliran Presiden Prabowo Subianto yang dijadwalkan berpidato perdana di Sidang Umum ke-80 PBB pada 23 September 2025. Prabowo akan berbicara setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat, menjadikannya salah satu pidato yang dinantikan. Prabowo tercatat sebagai presiden RI kelima yang berpidato langsung di podium PBB.

Meskipun detail busana dan pilihan bahasa belum diumumkan, pengalaman para pendahulu memberikan gambaran beragam. Ada yang memilih bahasa Inggris agar pesan tersampaikan langsung, ada pula yang memilih bahasa Indonesia dengan penerjemah resmi. Dari sisi pakaian, sebagian besar presiden memakai jas formal, sementara Megawati dan JK pernah menampilkan busana nasional. Kehadiran Prabowo akan menambah babak baru dalam tradisi panjang Indonesia di forum global ini. Dunia menantikan pesan-pesan yang akan disampaikan Prabowo, serta bagaimana ia akan menampilkan identitas Indonesia di panggung dunia. Pilihan bahasa dan pakaian akan menjadi elemen penting dalam menyampaikan pesan tersebut.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :