Pergerakan harga komoditas global menunjukkan dinamika yang beragam pada perdagangan hari ini. Beberapa komoditas mengalami kenaikan harga, seperti Crude Palm Oil (CPO) dan timah, sementara yang lain melanjutkan tren pelemahan, termasuk batu bara dan minyak mentah. Perubahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kondisi ekonomi global, dinamika pasokan dan permintaan, hingga sentimen pasar terkait isu geopolitik.
Minyak Mentah
Harga minyak mentah dunia mengalami penurunan signifikan pada penutupan perdagangan hari Kamis (11/9), anjlok hampir 2 persen. Penurunan ini dipicu oleh kombinasi faktor yang membebani pasar. Pertama, kekhawatiran pasar terhadap potensi melemahnya permintaan minyak dari Amerika Serikat (AS) menjadi sentimen negatif. Data ekonomi yang kurang menggembirakan dari AS memicu spekulasi bahwa pertumbuhan ekonomi negara tersebut mungkin melambat, yang pada gilirannya dapat mengurangi kebutuhan akan energi, termasuk minyak mentah.
Kedua, kekhawatiran tentang kelebihan pasokan minyak mentah global juga turut menekan harga. Produksi minyak dari negara-negara produsen utama, termasuk anggota OPEC dan sekutunya (OPEC+), masih relatif tinggi, sementara permintaan belum menunjukkan pemulihan yang signifikan. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan pasar yang memicu tekanan jual.
Ketiga, ketidakpastian geopolitik, termasuk konflik di Timur Tengah dan Ukraina, juga memberikan dampak pada pasar minyak. Meskipun konflik ini berpotensi mengganggu pasokan minyak, pasar tampaknya lebih fokus pada potensi dampak negatif konflik terhadap pertumbuhan ekonomi global, yang dapat mengurangi permintaan minyak.
Mengutip data dari Reuters, harga minyak mentah Brent turun USD 1,12, atau 1,7 persen, menjadi USD 66,37 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS turun lebih tajam, yakni USD 1,30 atau 2,0 persen, menjadi USD 62,37 per barel. Penurunan ini mencerminkan sentimen bearish yang kuat di pasar minyak.
CPO (Crude Palm Oil)
Berbeda dengan minyak mentah, harga CPO justru menunjukkan tren positif. Berdasarkan data dari Tradingeconomics pada Jumat (12/9), harga CPO mengalami kenaikan sebesar 0,91 persen. Dengan demikian, harga CPO berada di level MYR 4.453 per ton. Kenaikan ini didorong oleh beberapa faktor yang saling terkait.
Pertama, pelemahan nilai tukar Ringgit Malaysia (MYR) terhadap dolar AS membuat harga CPO dalam denominasi dolar AS menjadi lebih menarik bagi pembeli internasional. Pelemahan Ringgit meningkatkan daya saing CPO Malaysia di pasar global.
Kedua, spekulasi tentang permintaan yang kuat dari India, salah satu pembeli utama CPO, menjelang musim liburan pertengahan Oktober, juga menjadi pendorong kenaikan harga. Musim liburan di India biasanya meningkatkan konsumsi minyak nabati, termasuk CPO, untuk keperluan memasak dan industri makanan.
Selain itu, data impor minyak sawit India pada bulan Agustus juga memberikan sentimen positif. Impor minyak sawit India melonjak 16 persen menjadi 993.000 ton, menjadi yang tertinggi sejak Juli 2024. Peningkatan impor ini menunjukkan bahwa permintaan CPO dari India memang sedang meningkat.
Batu Bara
Harga batu bara berjangka Newcastle, yang menjadi benchmark harga batu bara global, justru mengalami penurunan lanjutan. Berdasarkan data dari Tradingeconomics, harga batu bara turun 1,51 persen ke level USD 100,90 per ton. Penurunan ini melanjutkan tren pelemahan harga batu bara dalam beberapa waktu terakhir.
Akibat penurunan ini, harga batu bara berada di level terendah dalam lebih dari tiga bulan. Penurunan harga batu bara ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk permintaan global yang lesu dan peningkatan pasokan.
Volume batu bara kokas dunia juga mengalami penurunan sebesar 6 persen secara tahunan pada paruh pertama 2025 menjadi sekitar 172 juta ton. Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk lemahnya produksi baja, peningkatan pasokan dalam negeri di sejumlah negara utama, dan perubahan arus perdagangan karena India dan China mengurangi pembelian lewat jalur laut.
Nikel
Harga nikel juga melanjutkan tren penurunan. Berdasarkan data dari Tradingeconomics, harga nikel turun 0,17 persen ke level USD 15.194 per ton. Penurunan ini memperpanjang tren lesu harga nikel sejak awal tahun.
Pergerakan harga nikel yang lesu disebabkan oleh pasokan yang melimpah, yang membuat harga nikel tertinggal dibandingkan logam dasar lainnya. Kelebihan pasokan nikel ini merupakan konsekuensi dari ekspansi besar-besaran sektor nikel di Indonesia sejak pemerintah melarang ekspor bijih nikel pada tahun 2020. Kebijakan ini mendorong investasi besar-besaran dalam pembangunan smelter nikel di Indonesia, yang meningkatkan produksi nikel secara signifikan.
Timah
Berbeda dengan nikel dan batu bara, harga timah justru mulai mengalami kenaikan. Saat ini, harga timah naik 1,75 persen ke level USD 34.606 per ton. Kenaikan ini merupakan yang paling tajam di antara logam dasar tahun ini.
Kenaikan harga timah dipicu oleh kekhawatiran akan berlanjutnya pengetatan pasokan. Meskipun kuota tambang timah di Myanmar mulai digulirkan kembali setelah lama dihentikan, data belum menunjukkan peningkatan produksi. Tambang utama Man Maw masih tutup sejak dilakukan audit sumber daya.
Kondisi ini diperburuk oleh musim hujan dan kerusakan infrastruktur akibat gempa besar di negara tersebut. Masalah serupa juga terjadi di Republik Demokratik Kongo, sementara di Indonesia izin ekspor timah yang dikeluarkan lebih sedikit. Faktor-faktor ini menyebabkan kekhawatiran tentang potensi kekurangan pasokan timah di pasar global, yang mendorong kenaikan harga.
Implikasi dan Prospek Pasar
Pergerakan harga komoditas yang beragam ini memiliki implikasi yang signifikan bagi berbagai pihak, termasuk produsen, konsumen, dan investor. Kenaikan harga CPO dan timah dapat memberikan keuntungan bagi produsen di negara-negara penghasil, sementara penurunan harga minyak mentah dan batu bara dapat menguntungkan konsumen energi.
Namun, fluktuasi harga komoditas juga dapat menciptakan ketidakpastian dan risiko bagi pelaku pasar. Produsen perlu mengelola risiko harga dengan hati-hati, sementara konsumen perlu mempertimbangkan dampak fluktuasi harga terhadap biaya produksi dan inflasi.
Ke depan, prospek pasar komoditas akan sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global, dinamika pasokan dan permintaan, serta sentimen pasar terkait isu geopolitik. Pertumbuhan ekonomi global yang kuat dapat meningkatkan permintaan komoditas, sementara gangguan pasokan dapat mendorong kenaikan harga.
Selain itu, kebijakan pemerintah, seperti regulasi lingkungan dan kebijakan perdagangan, juga dapat mempengaruhi pasar komoditas. Investor perlu memantau perkembangan ini dengan cermat untuk membuat keputusan investasi yang tepat.
Secara keseluruhan, pasar komoditas global saat ini menunjukkan dinamika yang kompleks dan penuh tantangan. Pelaku pasar perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi harga komoditas untuk dapat mengelola risiko dan memanfaatkan peluang yang ada.