Indonesia Vs Obesitas, ‘Double Burden’ di Tengah Masalah Gizi Anak

  • Maskobus
  • Sep 15, 2025

Indonesia menghadapi tantangan kesehatan yang kompleks: "double burden" masalah gizi, di mana stunting (kekurangan gizi kronis) dan obesitas pada anak terjadi secara bersamaan. Sementara upaya mengatasi stunting terus digenjot, prevalensi obesitas anak juga meningkat, terutama di perkotaan, menimbulkan kekhawatiran serius akan kesehatan generasi mendatang. Laporan UNICEF terbaru menyoroti bahwa setidaknya satu dari sepuluh anak di dunia mengalami obesitas, sebuah kondisi yang dipicu oleh kurangnya edukasi gizi dan mudahnya akses terhadap Ultra Processed Food (UPF) atau makanan ultra proses yang seringkali lebih murah daripada buah dan sayur segar.

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menjelaskan bahwa situasi ini menempatkan Indonesia pada posisi yang sulit. Anak-anak tidak hanya berisiko mengalami kekurangan gizi yang berujung pada stunting, tetapi juga menghadapi ancaman obesitas, yang keduanya membawa dampak jangka panjang bagi kesehatan dan kualitas hidup mereka.

Obesitas pada anak bukan sekadar masalah berat badan berlebih, melainkan kondisi penumpukan lemak tubuh yang berlebihan dan dapat mengganggu kesehatan. Penentuan obesitas pada anak berbeda dengan orang dewasa. Pada anak, digunakan grafik pertumbuhan yang disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin, bukan hanya Indeks Massa Tubuh (IMT). Menurut WHO, anak usia 5-19 tahun dikategorikan obesitas jika nilai IMT-nya berada di atas persentil 97 dibandingkan anak seusianya. Dengan kata lain, jika berat badan dan tinggi badan seorang anak jauh melampaui rata-rata teman sebayanya, kemungkinan besar ia mengalami obesitas.

Belajar dari Kebijakan Negara Lain:

Beberapa negara telah berhasil menekan angka obesitas anak melalui kebijakan yang inovatif dan tegas. Pengalaman mereka bisa menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia:

Indonesia Vs Obesitas, 'Double Burden' di Tengah Masalah Gizi Anak

  • Meksiko: Sejak 2014, Meksiko menerapkan pajak 10% untuk minuman manis. Hasilnya, konsumsi minuman berpemanis menurun hingga 7,6% hanya dalam dua tahun (BMC Public Health).
  • Inggris: Melaksanakan program Universal Infant Free School Meal (makan siang gratis untuk anak usia 4-7 tahun di sekolah dasar) sejak 2014. Menu makan siang di sekolah dirancang dengan gizi seimbang dan membatasi asupan kalori tinggi. Inggris juga menerapkan Soft Drinks Industry Levy (pajak industri minuman ringan) pada 2018, yang mendorong produsen untuk mengurangi kadar gula dalam produk mereka. Kadar gula pada minuman ringan berkurang rata-rata 29% dalam tiga tahun.
  • Chile: Mewajibkan label peringatan hitam di bagian depan kemasan untuk produk tinggi gula, garam, dan lemak. Kebijakan ini efektif menurunkan konsumsi minuman berpemanis pada anak sebesar 23,7% dalam 18 bulan pertama. Chile juga melarang iklan junk food pada jam tayang anak. Jurnal Nutrients (2025) merangkum studi ilmiah terkait hal ini.
  • Singapura: Menerapkan program Healthier Choice Symbol (simbol pilihan lebih sehat) untuk produk yang lebih sehat dan Nutri-grade Label untuk minuman manis. Pemerintah Singapura juga melarang semua iklan minuman berpemanis sejak 2020 dan aktif memberikan edukasi tentang gaya hidup sehat di sekolah. Keterlibatan komunitas, sekolah, dan orang tua menjadi faktor penting keberhasilan program ini. Laporan Ministry of Health (MoH) Singapura tahun 2022 menunjukkan bahwa kebijakan ini berhasil menahan laju peningkatan obesitas anak.
  • Korea Selatan: Melarang iklan junk food pada jam tayang anak sejak 2010 dan memperkenalkan konsep Green Food Zones, yaitu area 200 meter di sekitar sekolah di mana penjualan makanan tinggi gula, garam, dan lemak dilarang.
  • Jepang: Menerapkan pendidikan gizi nasional atau Shokuiku sejak 2005. Setiap sekolah dasar dan menengah wajib menyediakan menu sehat untuk makan siang yang mengikuti standar gizi nasional.

Upaya Indonesia Mengatasi Obesitas Anak:

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah obesitas anak, meskipun fokus utama masih pada penanganan stunting. Beberapa program yang telah digulirkan antara lain:

  • Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS): Mengajak masyarakat untuk lebih aktif bergerak, rutin mengonsumsi buah dan sayur, serta melakukan pemeriksaan kesehatan.
  • Program Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M): Menjadi wadah integrasi edukasi gizi, olahraga, dan pemeriksaan kesehatan anak di sekolah.
  • Pedoman Gizi Seimbang: Program edukasi gizi di sekolah, posyandu, dan fasilitas kesehatan melalui konsep "Isi Piringku" sebagai pengganti "4 Sehat 5 Sempurna".
  • Kantin Sehat: Program untuk menyediakan kantin sekolah yang menjual makanan sehat dan tidak mengandung tinggi gula, garam, dan lemak.
  • Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2021-2025: Memasukkan target penurunan prevalensi obesitas anak dengan fokus pada perbaikan pola konsumsi, peningkatan aktivitas fisik, dan pembatasan pemasaran pangan tidak sehat untuk anak.

Namun, data riset terbaru menunjukkan bahwa prevalensi obesitas anak di Indonesia belum mengalami penurunan signifikan, mengindikasikan bahwa implementasi kebijakan yang ada belum sekuat negara lain.

Pelajaran untuk Indonesia:

Pengalaman negara lain menunjukkan bahwa kombinasi regulasi tegas dan edukasi gizi sejak dini adalah kunci keberhasilan. Indonesia dapat mencontoh Meksiko dan Inggris yang berhasil menekan konsumsi gula melalui pajak minuman berpemanis. Wamenkes Dante menyinggung rencana penerapan regulasi sugar tax pada makanan dan minuman manis di Indonesia sedang dibahas dan segera diproses.

"Nanti kita sedang membuat regulasi, untuk melakukan sugar tax pada makanan. Sugar tax pada makanan ini akan memberlakukan pajak kepada sejumlah tertentu gula yang ada. Tapi masih dalam pembahasan, masih dalam proses, nanti akan kita wujudkan kalo sudah diselesaikan," pungkasnya.

Chile membuktikan bahwa label gizi yang jelas di bagian depan kemasan sangat membantu orang tua dalam memilih makanan yang lebih sehat. Di Indonesia, label gula, garam, lemak (GGL) saat ini berada di belakang kemasan, berukuran kecil, dan sulit dipahami. Oleh karena itu, diperlukan front of pack label (label informasi gizi sederhana di depan kemasan) agar lebih sederhana dan mudah dimengerti.

Dari Korea Selatan, Indonesia dapat belajar tentang pentingnya pembatasan iklan dan penjualan junk food di sekitar sekolah. Sementara itu, Jepang memberikan teladan melalui program makan siang sekolah yang konsisten menanamkan kebiasaan makan sehat sejak kecil. Saat ini, Indonesia sudah memiliki program Kantin Sehat dan Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi perlu ditingkatkan monitoring pelaksanaannya.

Singapura menunjukkan bagaimana kampanye nasional yang terintegrasi, melibatkan sekolah, industri, dan masyarakat, mampu mengubah perilaku konsumsi secara bertahap. Jika Indonesia mampu menggabungkan regulasi ketat dengan edukasi dan pengawasan yang efektif di sekolah dan masyarakat, peluang untuk menekan angka obesitas anak akan jauh lebih besar.

Langkah Konkret untuk Indonesia:

Berikut adalah beberapa langkah konkret yang dapat diambil Indonesia untuk mengatasi masalah obesitas anak:

  1. Penerapan Sugar Tax: Menerapkan pajak yang signifikan pada minuman dan makanan manis untuk mengurangi konsumsi gula berlebih.
  2. Pelabelan Gizi yang Jelas: Mewajibkan front of pack label yang mudah dipahami pada semua produk makanan dan minuman, dengan menekankan kandungan gula, garam, dan lemak.
  3. Pembatasan Iklan dan Penjualan Junk Food: Membatasi iklan junk food, terutama yang ditujukan untuk anak-anak, dan melarang penjualan makanan tidak sehat di sekitar sekolah.
  4. Peningkatan Kualitas Program Makan Siang Sekolah: Memastikan bahwa program makan siang sekolah menyediakan makanan yang sehat, bergizi seimbang, dan sesuai dengan standar gizi nasional.
  5. Edukasi Gizi yang Komprehensif: Meningkatkan edukasi gizi di sekolah, keluarga, dan masyarakat, dengan fokus pada pentingnya pola makan sehat dan aktivitas fisik yang cukup.
  6. Pengawasan dan Evaluasi: Melakukan pengawasan dan evaluasi yang ketat terhadap implementasi semua program dan kebijakan terkait obesitas anak, serta melakukan penyesuaian jika diperlukan.
  7. Keterlibatan Multi-Sektor: Melibatkan semua sektor terkait, termasuk pemerintah, industri makanan dan minuman, sekolah, keluarga, dan masyarakat, dalam upaya mengatasi masalah obesitas anak.

Dengan komitmen yang kuat, kebijakan yang tepat, dan kerjasama dari semua pihak, Indonesia dapat mengatasi "double burden" masalah gizi dan memberikan masa depan yang lebih sehat bagi generasi penerus bangsa.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :