Industri semikonduktor Tiongkok bergulat dengan jurang teknologi yang menganga, tertinggal jauh di belakang Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Laporan terbaru dari bank investasi terkemuka, Goldman Sachs, mengungkap gambaran suram mengenai kemampuan litografi Tiongkok, yang menjadi tulang punggung produksi chip modern. Menurut laporan tersebut, teknologi litografi yang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok tertinggal setidaknya dua dekade dibandingkan dengan teknologi yang dikuasai oleh negara-negara Barat. Kesenjangan ini menjadi penghalang signifikan bagi ambisi Tiongkok untuk menjadi pemain utama dalam industri semikonduktor global.
Litografi memegang peranan sentral dalam proses fabrikasi semikonduktor. Proses ini melibatkan transfer desain rumit dari fotomask ke wafer silikon, yang kemudian diukir dan diproses untuk menciptakan chip. Semakin canggih mesin litografi yang digunakan, semakin kecil dan rapat pola sirkuit yang dapat diproduksi. Hal ini secara langsung berdampak pada performa, efisiensi, dan kemampuan chip yang dihasilkan. Chip dengan sirkuit yang lebih kecil dan rapat menawarkan kecepatan pemrosesan yang lebih tinggi, konsumsi daya yang lebih rendah, dan kemampuan yang lebih canggih.
Saat ini, mesin litografi tercanggih di dunia diproduksi oleh ASML, sebuah perusahaan yang berbasis di Belanda. ASML telah memantapkan posisinya sebagai pemimpin global dalam teknologi litografi, dengan mesin-mesinnya yang digunakan oleh produsen chip terkemuka di seluruh dunia. Namun, ASML sangat bergantung pada komponen-komponen yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan AS. Hal ini memberi pemerintah AS pengaruh yang signifikan atas penjualan mesin litografi ASML, terutama ke Tiongkok.
Pemerintah AS telah memanfaatkan pengaruh ini untuk memberlakukan pembatasan ketat pada ekspor teknologi litografi canggih ke Tiongkok. Pembatasan ini bertujuan untuk memperlambat kemajuan industri semikonduktor Tiongkok dan mencegah Tiongkok memperoleh kemampuan untuk memproduksi chip canggih yang dapat digunakan untuk tujuan militer atau keamanan nasional.
Pembatasan ekspor ini telah menjadi pukulan telak bagi perusahaan-perusahaan teknologi Tiongkok, terutama raksasa telekomunikasi Huawei. Huawei telah menjadi target utama sanksi AS, yang menuduh perusahaan tersebut memiliki hubungan dekat dengan militer Tiongkok. Akibat sanksi tersebut, Huawei tidak lagi dapat membeli chip dari TSMC, perusahaan manufaktur chip terbesar di dunia yang berbasis di Taiwan.
Sebagai akibatnya, Huawei terpaksa mengandalkan SMIC, perusahaan manufaktur chip terbesar di Tiongkok, sebagai pemasok chipnya. Namun, SMIC juga terkena pembatasan tambahan yang mencegahnya membeli mesin litografi EUV (Extreme Ultraviolet) yang canggih. Mesin EUV sangat penting untuk memproduksi chip dengan teknologi 7 nanometer dan di bawahnya, yang merupakan teknologi yang dibutuhkan untuk aplikasi-aplikasi canggih seperti smartphone 5G, kecerdasan buatan, dan komputasi kinerja tinggi.
Karena tidak dapat memperoleh mesin EUV, perusahaan-perusahaan Tiongkok hanya mampu memproduksi chip 7 nanometer menggunakan mesin DUV (Deep Ultraviolet) ASML yang lebih tua. Mesin DUV kurang efisien dan kurang mampu memproduksi chip yang lebih kecil dan lebih rapat dibandingkan dengan mesin EUV. Hal ini menempatkan perusahaan-perusahaan Tiongkok pada posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pesaing mereka di AS, Eropa, dan Taiwan, yang memiliki akses ke teknologi EUV.
Goldman Sachs memperkirakan bahwa industri peralatan litografi domestik Tiongkok tertinggal sekitar 20 tahun dari ASML. Untuk menempatkan ini dalam perspektif, ASML membutuhkan waktu 20 tahun dan investasi litbang dan belanja modal sekitar US$40 miliar untuk bermigrasi dari litografi 65nm ke di bawah 3nm. Sementara itu, TSMC telah mengomersialkan chip 3nm dan bersiap untuk beralih ke 2nm. Di sisi lain, teknologi litografi domestik China masih berkutat di level 65nm.
Kesenjangan teknologi yang sangat besar ini menggarisbawahi tantangan yang dihadapi Tiongkok dalam mengejar ketertinggalannya dari Barat dalam industri semikonduktor. Goldman Sachs menegaskan bahwa ASML membutuhkan waktu dua dekade dan investasi signifikan untuk mencapai kemajuan dari 65nm ke di bawah 3nm. Ini menunjukkan bahwa Tiongkok menghadapi perjalanan panjang dan mahal untuk mengejar ketertinggalannya.
Keterbatasan utama bagi Tiongkok terletak pada ketergantungannya pada mesin litografi canggih yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan Barat. Mesin-mesin ini dianggap sebagai "kemacetan" dalam industri chip, karena merupakan kunci untuk memproduksi chip canggih. Sanksi AS telah mempersulit akses Tiongkok ke teknologi EUV, yang sangat penting untuk memproduksi chip kelas atas dengan ukuran sirkuit yang lebih kecil dan performa yang lebih tinggi.
Tanpa mesin EUV, SMIC dan perusahaan-perusahaan Tiongkok lainnya terpaksa menggunakan teknologi DUV, yang jauh kurang efisien untuk memproduksi chip modern. Hal ini membatasi kemampuan mereka untuk bersaing dengan produsen chip terkemuka lainnya di pasar global.
Goldman Sachs memperkirakan bahwa kecil kemungkinan perusahaan-perusahaan Tiongkok dapat menutup kesenjangan teknologi ini dalam waktu dekat. Selain keterbatasan teknologi, besarnya investasi dan waktu yang dibutuhkan untuk litbang menjadi hambatan signifikan. Pengembangan teknologi litografi baru membutuhkan investasi besar-besaran dalam penelitian dan pengembangan, serta tim ilmuwan dan insinyur yang sangat terampil.
Ketertinggalan ini menempatkan Tiongkok dalam posisi sulit di tengah persaingan global dalam industri teknologi. Chip semikonduktor adalah komponen vital untuk berbagai produk, mulai dari smartphone hingga kecerdasan buatan dan kendaraan listrik. Ketergantungan Tiongkok pada teknologi Barat, ditambah dengan sanksi yang ketat, membuat Tiongkok harus berinovasi secara mandiri untuk memperkuat industri chip domestiknya.
Tiongkok telah meluncurkan berbagai inisiatif untuk mendukung pengembangan industri semikonduktornya. Ini termasuk investasi besar-besaran dalam litbang, insentif pajak untuk perusahaan-perusahaan semikonduktor, dan upaya untuk menarik talenta-talenta terbaik dari seluruh dunia. Namun, mengatasi kesenjangan teknologi yang lebar akan membutuhkan upaya yang berkelanjutan dan komprehensif.
Dengan kesenjangan teknologi yang begitu lebar, Tiongkok perlu strategi jangka panjang dan investasi besar untuk mengatasi "kemacetan" litografi. Ini mungkin melibatkan pengembangan teknologi litografi domestik, atau mencari cara untuk memperoleh teknologi dari sumber-sumber lain. Ini juga membutuhkan pengembangan ekosistem yang kuat dari pemasok dan mitra untuk mendukung industri semikonduktor Tiongkok.
Pada akhirnya, keberhasilan Tiongkok dalam mengejar ketertinggalannya dari Barat dalam industri semikonduktor akan bergantung pada kemampuannya untuk berinovasi, berinvestasi, dan menarik talenta-talenta terbaik. Ini juga membutuhkan komitmen untuk mengatasi hambatan politik dan ekonomi yang menghambat kemajuannya.
Industri semikonduktor adalah industri yang kompleks dan dinamis, dan masa depan industri ini masih belum pasti. Namun, satu hal yang pasti adalah bahwa Tiongkok akan terus berupaya untuk menjadi pemain utama dalam industri ini. Apakah Tiongkok berhasil mengejar ketertinggalannya dari Barat atau tidak, akan memiliki implikasi yang signifikan bagi masa depan teknologi global.