Ini Kata Asosiasi Perusahaan Otobus soal Bus Tanpa Musik

  • Maskobus
  • Aug 27, 2025

Suasana perjalanan menggunakan bus, baik itu bus pariwisata maupun bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), kini terasa berbeda. Dahulu, alunan musik atau tayangan video menjadi teman setia para penumpang selama perjalanan. Namun, kini kabin bus cenderung hening. Perubahan ini bukan tanpa alasan. Ikatan Pengusaha Otobus Muda Indonesia (IPOMI) telah mengambil sikap tegas untuk menonaktifkan audio dan video di seluruh armada bus sebagai respons terhadap pemberlakuan royalti musik untuk layanan publik komersial, termasuk di sektor transportasi umum bus.

Kurnia Lesani Adnan, atau yang akrab disapa Sani, selaku Ketua IPOMI, mengonfirmasi langkah ini. "Kami semua sudah sejak 15 Agustus membuat internal memo kepada seluruh kru untuk tidak mengaktifkan audio," ujarnya kepada media. Keputusan ini diambil sebagai upaya untuk menghindari beban tambahan yang timbul dari kewajiban pembayaran royalti lagu. IPOMI khawatir, jika biaya royalti ini dibebankan kepada perusahaan otobus, pada akhirnya konsumen yang akan terkena dampaknya melalui penyesuaian tarif tiket.

Sani menjelaskan bahwa aturan royalti ini berpotensi membebani masyarakat. "Aturan royalti ini membebani masyarakat karena pada akhirnya kami harus charge ke pengguna bus," lanjutnya. Jika operator bus tetap memutar musik atau video yang memiliki hak cipta di dalam bus, konsekuensinya adalah harga tiket akan naik untuk menutupi biaya tambahan tersebut. Sejauh ini, menurut Sani, para penumpang dapat memahami dan menerima kebijakan untuk meniadakan hiburan audio visual di dalam bus.

"Daripada di-charge biaya tambahan, penumpang bisa mengerti kenapa audio dan video kami matikan," kata Sani. Respons ini kemudian diviralkan di media sosial dengan tagar #transportasiindonesiahening, sebagai bentuk sikap dan arahan kepada seluruh operator bus untuk sementara waktu tidak memutar lagu melalui platform apapun. Sani, yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PO SAN, mengungkapkan bahwa banyak operator bus lain yang mengambil langkah serupa.

Ini Kata Asosiasi Perusahaan Otobus soal Bus Tanpa Musik

Kebijakan ini tentu menimbulkan pertanyaan dan perdebatan di kalangan masyarakat. Mengapa bus-bus kini "hening"? Apa yang mendasari keputusan ini? Dan bagaimana dampaknya bagi industri transportasi bus dan para penggunanya? Untuk memahami persoalan ini secara komprehensif, penting untuk menelusuri akar masalahnya, yaitu regulasi tentang royalti musik dan dampaknya bagi sektor transportasi.

Latar Belakang Regulasi Royalti Musik

Kewajiban pembayaran royalti musik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi hak-hak para pencipta lagu dan pemegang hak cipta atas karya-karya mereka. Dalam beleid tersebut, setiap penggunaan lagu atau musik secara komersial wajib membayar royalti kepada pencipta atau pemegang hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN adalah lembaga yang diberi wewenang untuk mengelola hak cipta lagu dan musik, termasuk mengumpulkan royalti dari pengguna komersial dan mendistribusikannya kepada para pencipta lagu dan pemegang hak cipta.

Aturan ini diperkuat dengan peraturan turunan yang mewajibkan sektor transportasi, termasuk bus pariwisata dan AKAP, untuk ikut serta dalam skema pembayaran royalti. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. Dalam Pasal 3 ayat (1) PP tersebut ditegaskan bahwa: "Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN."

Lebih lanjut, pada Pasal 3 ayat (2) juga disebutkan bahwa bentuk layanan publik komersial yang dimaksud meliputi restoran, hotel, bioskop, karaoke, hingga moda transportasi seperti pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut. Dengan aturan tersebut, artinya setiap pemutaran musik atau lagu di dalam bus dianggap sebagai bentuk pemanfaatan komersial, sehingga operator wajib membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Regulasi ini diperkuat dengan terbitnya Permenkumham Nomor 27 Tahun 2025. Aturan baru tersebut membatasi biaya operasional LMKN maksimal 8 persen serta memperjelas mekanisme pengelolaan hingga distribusi royalti kepada pencipta lagu.

Pro dan Kontra Regulasi Royalti Musik

Implementasi aturan royalti musik ini menuai pro dan kontra. Di satu sisi, regulasi ini dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap hak cipta musisi Indonesia. Para musisi berhak mendapatkan kompensasi yang layak atas karya-karya mereka yang digunakan secara komersial. Dengan adanya royalti, diharapkan para musisi dapat terus berkarya dan industri musik Indonesia dapat berkembang lebih baik.

Namun, di sisi lain, operator transportasi merasa terbebani karena harus menanggung biaya tambahan yang ujungnya berpotensi dialihkan kepada konsumen. Bagi perusahaan otobus, biaya royalti musik dapat menjadi beban yang cukup signifikan, terutama bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. Mereka khawatir bahwa biaya ini akan mengurangi keuntungan mereka dan pada akhirnya memaksa mereka untuk menaikkan harga tiket, yang akan memberatkan para penumpang.

Selain itu, terdapat juga kekhawatiran mengenai transparansi dan efektivitas pengelolaan royalti oleh LMKN. Beberapa pihak mempertanyakan apakah royalti yang dikumpulkan benar-benar didistribusikan secara adil dan tepat sasaran kepada para pencipta lagu dan pemegang hak cipta. Mereka juga menyoroti biaya operasional LMKN yang dinilai terlalu tinggi, sehingga mengurangi jumlah royalti yang dapat disalurkan kepada para musisi.

Dampak "Bus Hening" bagi Penumpang dan Industri Transportasi

Keputusan IPOMI untuk menonaktifkan audio dan video di bus-bus mereka tentu memiliki dampak yang signifikan bagi para penumpang dan industri transportasi secara keseluruhan. Bagi para penumpang, perjalanan dengan bus kini menjadi lebih hening dan mungkin terasa kurang menyenangkan. Hiburan audio visual yang biasanya menemani mereka selama perjalanan kini tidak lagi tersedia. Hal ini mungkin membuat sebagian penumpang merasa bosan atau kurang nyaman, terutama dalam perjalanan jarak jauh.

Namun, di sisi lain, ada juga penumpang yang mungkin menyambut baik kebijakan ini. Bagi mereka yang lebih menyukai suasana tenang dan damai selama perjalanan, ketiadaan musik dan video mungkin justru menjadi nilai tambah. Mereka dapat menikmati pemandangan di luar jendela, membaca buku, atau beristirahat dengan tenang tanpa terganggu oleh suara-suara dari sistem audio bus.

Bagi industri transportasi bus, kebijakan "bus hening" ini dapat berdampak positif maupun negatif. Di satu sisi, perusahaan otobus dapat menghemat biaya operasional dengan tidak perlu membayar royalti musik. Hal ini dapat membantu mereka untuk menjaga stabilitas harga tiket dan tetap kompetitif di pasar.

Namun, di sisi lain, ketiadaan hiburan audio visual di bus dapat mengurangi daya tarik bus sebagai moda transportasi pilihan. Para penumpang mungkin beralih ke moda transportasi lain yang menawarkan fasilitas hiburan yang lebih lengkap, seperti kereta api atau pesawat terbang. Hal ini dapat mengurangi jumlah penumpang bus dan pada akhirnya berdampak pada pendapatan perusahaan otobus.

Mencari Solusi yang Adil dan Berkelanjutan

Polemik mengenai royalti musik di sektor transportasi bus ini menunjukkan adanya kebutuhan untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat. Pemerintah, LMKN, perusahaan otobus, dan para musisi perlu duduk bersama untuk berdiskusi dan mencari jalan tengah yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak.

Salah satu solusi yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah dengan menetapkan tarif royalti yang lebih terjangkau bagi sektor transportasi bus, terutama bagi perusahaan-perusahaan kecil dan menengah. Tarif royalti ini dapat disesuaikan dengan ukuran perusahaan, jumlah armada bus, dan frekuensi penggunaan musik di dalam bus.

Selain itu, LMKN juga perlu meningkatkan transparansi dan efektivitas pengelolaan royalti. Mereka perlu memastikan bahwa royalti yang dikumpulkan benar-benar didistribusikan secara adil dan tepat sasaran kepada para pencipta lagu dan pemegang hak cipta. Mereka juga perlu menekan biaya operasional agar jumlah royalti yang dapat disalurkan kepada para musisi semakin besar.

Pemerintah juga dapat memberikan insentif kepada perusahaan otobus yang bersedia membayar royalti musik, misalnya melalui pengurangan pajak atau subsidi. Insentif ini dapat membantu meringankan beban perusahaan otobus dan mendorong mereka untuk tetap menyediakan fasilitas hiburan audio visual di bus-bus mereka.

Selain itu, perlu juga dipertimbangkan opsi untuk menyediakan alternatif hiburan yang tidak memerlukan pembayaran royalti, seperti podcast, audiobook, atau konten edukatif lainnya. Perusahaan otobus dapat bekerja sama dengan para kreator konten lokal untuk menyediakan hiburan yang berkualitas dan bermanfaat bagi para penumpang.

Dengan mencari solusi yang adil dan berkelanjutan, diharapkan polemik mengenai royalti musik di sektor transportasi bus ini dapat diselesaikan dengan baik. Para musisi dapat terus mendapatkan kompensasi yang layak atas karya-karya mereka, perusahaan otobus dapat tetap menyediakan fasilitas hiburan yang menarik bagi para penumpang, dan para penumpang dapat menikmati perjalanan yang menyenangkan dan nyaman dengan bus.

Sani menutup pernyataannya dengan harapan agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali aturan royalti ini. "Kalau pun harus dipaksakan, akhirnya tiket bus bisa naik. Dampaknya justru dirasakan langsung masyarakat," tuntas Sani.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :