Kapolres Magelang Kota Bantah Salah Tangkap-Aniaya Remaja di Kasus Demo Rusuh

  • Maskobus
  • Sep 19, 2025

Kepolisian Resor (Polres) Magelang Kota tengah menjadi sorotan setelah adanya laporan dari orang tua seorang remaja berusia 15 tahun, berinisial DRP, terkait dugaan salah tangkap dan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian saat mengamankan aksi demonstrasi yang berujung ricuh di depan markas Polres. Menanggapi laporan tersebut, Kapolres Magelang Kota, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anita Indah Setyaningrum, dengan tegas membantah segala tuduhan yang dialamatkan kepada dirinya dan jajarannya.

Menurut AKBP Anita, Polres Magelang Kota tidak pernah melakukan tindakan penyiksaan terhadap siapapun, termasuk para peserta unjuk rasa yang diamankan dalam insiden tersebut. Ia menjelaskan bahwa proses penangkapan dan penahanan terhadap para demonstran telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan prinsip-prinsip profesionalisme kepolisian.

Lebih lanjut, AKBP Anita menyatakan bahwa pihaknya siap menghadapi aduan yang telah dilayangkan oleh orang tua DRP ke Polda Jawa Tengah. Ia menegaskan bahwa Polres Magelang Kota akan bersikap kooperatif dan transparan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polda Jateng. Ia juga berjanji akan mengikuti seluruh tahapan penyidikan dengan seksama dan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya.

"Kami dari Polres Magelang Kota tidak melakukan penyiksaan terhadap peserta unjuk rasa yang kami amankan. Kami akan menindaklanjuti aduan tersebut yang dilaporkan ke Polda Jateng secara profesional dan transparan. Kita akan mengikuti proses tahapan-tahapan yang dilakukan oleh penyidik Polda Jateng," ujar AKBP Anita melalui pesan singkat kepada awak media.

Kapolres Magelang Kota Bantah Salah Tangkap-Aniaya Remaja di Kasus Demo Rusuh

Sebelumnya, orang tua DRP telah melaporkan AKBP Anita dan Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Magelang Kota, Inspektur Polisi Satu (Iptu) Iwan Kristiana, ke Polda Jawa Tengah atas tiga perkara, yaitu dugaan salah tangkap, penyiksaan, dan doxing atau penyebaran identitas. Orang tua DRP menuding bahwa anaknya telah menjadi korban salah tangkap saat aparat kepolisian membubarkan aksi demonstrasi yang berujung ricuh di depan Polres Magelang Kota.

Selain itu, orang tua DRP juga menuding bahwa anaknya telah mengalami penyiksaan selama berada di dalam tahanan Polres Magelang Kota. Mereka mengklaim bahwa DRP telah dipukuli, diinjak-injak, dan dianiaya secara verbal oleh oknum-oknum polisi. Orang tua DRP juga menuding bahwa identitas anaknya telah disebarluaskan oleh pihak kepolisian, sehingga membuat DRP menjadi sasaran perundungan dan diskriminasi dari masyarakat.

Menanggapi laporan tersebut, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Stefanus Satake Bayu Setianto, membenarkan adanya laporan tersebut. Ia mengatakan bahwa Polda Jawa Tengah telah menerima laporan dari orang tua DRP dan akan segera menindaklanjutinya.

"Kami sudah menerima laporan tersebut dan akan segera kami tindaklanjuti. Kami akan melakukan penyelidikan secara profesional dan transparan untuk mengungkap kebenaran dari kasus ini," ujar Kombes Pol Satake Bayu.

Kombes Pol Satake Bayu juga mengimbau kepada masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh informasi-informasi yang belum jelas kebenarannya. Ia meminta kepada masyarakat untuk mempercayakan penanganan kasus ini kepada pihak kepolisian dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperkeruh suasana.

Sementara itu, terkait dengan aksi demonstrasi yang berujung ricuh di depan Polres Magelang Kota, AKBP Anita menjelaskan bahwa aksi tersebut dilakukan oleh sekelompok massa yang menuntut pembebasan beberapa orang yang sebelumnya telah ditangkap oleh pihak kepolisian karena diduga terlibat dalam tindak pidana. Aksi demonstrasi tersebut awalnya berjalan dengan damai, namun kemudian berubah menjadi anarkis setelah massa mulai melakukan pelemparan batu dan benda-benda lainnya ke arah petugas kepolisian.

AKBP Anita menambahkan bahwa dalam insiden tersebut, beberapa orang petugas kepolisian mengalami luka-luka akibat terkena lemparan batu. Selain itu, beberapa kendaraan dinas Polres Magelang Kota juga mengalami kerusakan akibat dirusak oleh massa.

Untuk mengendalikan situasi, AKBP Anita mengatakan bahwa pihaknya terpaksa mengambil tindakan tegas dengan membubarkan massa demonstran. Dalam pembubaran tersebut, beberapa orang demonstran berhasil diamankan oleh pihak kepolisian.

"Kami terpaksa mengambil tindakan tegas dengan membubarkan massa demonstran karena aksi mereka sudah sangat anarkis dan membahayakan keselamatan petugas kepolisian dan masyarakat sekitar," jelas AKBP Anita.

AKBP Anita juga menyayangkan terjadinya aksi demonstrasi yang berujung ricuh tersebut. Ia mengimbau kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya secara damai dan tidak melanggar hukum. Ia juga mengajak kepada seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban di Kota Magelang.

Selain itu, AKBP Anita juga mengungkapkan bahwa Polres Magelang Kota telah memberikan edukasi parenting kepada orang tua yang anaknya terlibat dalam unjuk rasa yang berakhir dengan kerusuhan tersebut. Edukasi parenting ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman orang tua tentang pentingnya pengawasan dan pembinaan terhadap anak-anak mereka, terutama dalam hal pergaulan dan aktivitas di luar rumah.

"Kami mengambil keterangan dan klarifikasi dari peserta unjuk rasa. Dan kami panggil seluruh orang tua, wali serta kepala desa, lurah serta Bhabinkamtibmas dan mengadakan kegiatan edukasi parenting," kata AKBP Anita.

AKBP Anita berharap dengan adanya edukasi parenting ini, para orang tua dapat lebih berperan aktif dalam mencegah anak-anak mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang negatif dan melanggar hukum. Ia juga berharap agar para orang tua dapat menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka, sehingga anak-anak mereka dapat tumbuh menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas dan bertanggung jawab.

Kasus dugaan salah tangkap dan penyiksaan yang dialami oleh DRP ini menjadi perhatian serius dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan aktivis hak asasi manusia (HAM). Para aktivis HAM mendesak kepada pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan secara transparan dan akuntabel terhadap kasus ini. Mereka juga meminta kepada pihak kepolisian untuk memberikan sanksi yang tegas kepada oknum-oknum polisi yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa kasus dugaan salah tangkap dan penyiksaan yang dialami oleh DRP ini merupakan bentuk pelanggaran HAM yang serius. Ia mendesak kepada pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas kasus ini dan memberikan keadilan kepada korban.

"Kami mengecam keras tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap DRP. Tindakan ini merupakan bentuk pelanggaran HAM yang serius dan harus diusut tuntas," ujar Usman Hamid.

Usman Hamid juga meminta kepada pihak kepolisian untuk menghormati hak-hak anak dalam proses hukum. Ia mengatakan bahwa anak-anak yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan secara manusiawi dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

"Anak-anak yang berhadapan dengan hukum memiliki hak-hak yang harus dihormati. Mereka tidak boleh diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi," tegas Usman Hamid.

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga memberikan perhatian serius terhadap kasus ini. Ketua KPAI, Susanto, mengatakan bahwa KPAI akan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memastikan bahwa hak-hak DRP sebagai anak terlindungi.

"Kami akan melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian, Kementerian Sosial, dan lembaga-lembaga terkait lainnya untuk memastikan bahwa hak-hak DRP sebagai anak terlindungi," ujar Susanto.

Susanto juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan stigmatisasi terhadap DRP dan keluarganya. Ia mengatakan bahwa DRP adalah korban dan harus mendapatkan perlindungan dari semua pihak.

"Kami mengimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan stigmatisasi terhadap DRP dan keluarganya. DRP adalah korban dan harus mendapatkan perlindungan dari kita semua," kata Susanto.

Kasus dugaan salah tangkap dan penyiksaan yang dialami oleh DRP ini menjadi momentum bagi pihak kepolisian untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja dan profesionalisme anggotanya. Pihak kepolisian harus memastikan bahwa seluruh anggotanya bertindak sesuai dengan prosedur yang berlaku dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya.

Selain itu, pihak kepolisian juga harus meningkatkan pengawasan terhadap anggotanya untuk mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Pihak kepolisian juga harus memberikan pelatihan yang memadai kepada anggotanya tentang HAM dan etika kepolisian.

Dengan demikian, diharapkan kasus-kasus serupa tidak akan terulang kembali di masa depan. Pihak kepolisian harus menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, bukan menjadi sumber ketakutan dan kekerasan.

Kasus ini masih dalam proses penyelidikan oleh Polda Jawa Tengah. Masyarakat diharapkan untuk bersabar dan menunggu hasil penyelidikan dari pihak kepolisian. Pihak kepolisian berjanji akan melakukan penyelidikan secara profesional dan transparan untuk mengungkap kebenaran dari kasus ini.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :