Universitas Indonesia (UI) menuai kecaman keras dari berbagai pihak, terutama dari organisasi-organisasi pro-Palestina dan masyarakat sipil, atas keputusannya mengundang Peter Berkowitz, seorang profesor Universitas Stanford yang dikenal luas sebagai pendukung kuat Israel, untuk memberikan orasi ilmiah dalam acara Pengenalan Sistem Akademik Program Pascasarjana UI di Kampus UI, Depok, pada Sabtu, 23 Agustus. Kehadiran Berkowitz, yang memiliki rekam jejak vokal dalam membela kebijakan-kebijakan Israel, dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, serta melukai perasaan masyarakat Indonesia yang mayoritas mendukung kemerdekaan Palestina.
Peter Berkowitz, seorang intelektual publik dan komentator politik konservatif, telah lama dikenal karena pandangan-pandangan pro-Israelnya. Keturunan Yahudi ini kerap kali menggunakan platform akademis dan publikasinya untuk membela tindakan-tindakan Israel, termasuk kebijakan-kebijakan yang dikecam secara internasional karena melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia. Salah satu contohnya adalah bukunya yang berjudul "Israel and The Struggle Over the International Laws of War" (2012), di mana ia membela tindakan-tindakan militer Israel dalam konflik dengan Palestina. Pandangan-pandangan ini, menurut para pengkritik, secara tidak langsung memberikan legitimasi terhadap pendudukan ilegal Israel atas wilayah Palestina dan kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil Palestina.
Kecaman terhadap UI muncul dari berbagai arah, mencerminkan kemarahan dan kekecewaan yang mendalam atas keputusan tersebut. Baitul Maqdis Institute, sebuah lembaga yang fokus pada isu-isu Palestina dan Timur Tengah, menjadi salah satu suara terdepan dalam mengecam UI. Direktur Utama Baitul Maqdis Institute, Fahmi Salim, menyatakan keprihatinannya yang mendalam dan mengecam keras undangan UI kepada Berkowitz. Menurutnya, UI seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, bukan memberikan panggung kepada tokoh yang mendukung agresi dan genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza. Fahmi Salim menekankan bahwa sebagai lembaga akademik yang seharusnya menjadi garda depan dalam membela hak asasi manusia, UI telah melakukan tindakan yang sangat disayangkan dengan memberikan platform kepada tokoh yang secara terbuka mendukung kebijakan luar negeri Israel yang menindas dan menzalimi rakyat Palestina.
Baitul Maqdis Institute tidak hanya mengecam, tetapi juga membeberkan rekam jejak Peter Berkowitz yang dianggap problematik. Mereka menyoroti peran Berkowitz sebagai mantan pejabat AS pada era pemerintahan Donald Trump, yang dianggap sebagai salah satu arsitek narasi pembenaran terhadap tindakan militer Israel yang telah menewaskan ribuan warga sipil, termasuk anak-anak dan perempuan, di Jalur Gaza. Fahmi Salim juga menyoroti data dari Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza yang mencatat hampir 63.000 warga Gaza tewas sejak Oktober 2023, termasuk ratusan warga yang mati kelaparan akibat blokade yang diberlakukan oleh Israel. Dalam konteks ini, undangan UI kepada Berkowitz dianggap sebagai tindakan yang tidak sensitif dan melukai perasaan keluarga korban serta masyarakat yang peduli terhadap nasib rakyat Palestina.
Baitul Maqdis Institute juga menyoroti bahwa UI seharusnya melakukan pemeriksaan latar belakang yang lebih cermat sebelum mengundang Peter Berkowitz. Menurut mereka, opini, pemikiran, dan visi Berkowitz yang sangat militan mendukung Israel sangat mudah ditemukan di berbagai platform media, termasuk situs media konservatif AS seperti realclearpolitics.com. Mereka mencontohkan beberapa artikel yang ditulis oleh Berkowitz, seperti "Human-Rights Bodies Corrupt Human Rights To Vilify Israel" (27 April 2025), "Disregarding Military Necessity To Accuse Israel of War Crimes" (22 Desember 2024), dan "Trump and Congress Gear Up To Fight Campus Antisemitism" (24 November 2024), yang menunjukkan kecenderungannya untuk membela Israel dan mengkritik pihak-pihak yang mengkritik tindakan-tindakan Israel.
Lebih lanjut, Baitul Maqdis Institute mempertanyakan nilai ilmiah apa yang menjadi dasar UI sehingga mengundang Peter Berkowitz. Mereka mempertanyakan apakah orasi seorang Berkowitz dapat memberikan kontribusi positif bagi dunia akademik, yang seharusnya menjunjung tinggi objektivitas, keadilan, dan keberpihakan pada kemanusiaan. Mereka menilai bahwa UI terlalu naif jika mengaku kurang hati-hati dalam memeriksa latar belakang Berkowitz, karena tulisan-tulisannya yang sangat aktif berdiri sebagai pendukung utama tindakan-tindakan Israel di Jalur Gaza sangat mudah dilacak oleh publik.
Menanggapi kecaman yang meluas, Direktur Humas UI, Arie Afriansyah, menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat atas kegaduhan yang timbul akibat undangan kepada Peter Berkowitz. Ia berterima kasih atas kritik dan masukan yang disampaikan, dan menegaskan bahwa UI selalu berkomitmen untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina agar bisa bebas dari penjajahan Israel sebagaimana termaktub dalam UUD 1945. Arie Afriansyah juga menyinggung kunjungan Duta Besar Palestina ke UI pada 17 Januari lalu, di mana Rektor UI, Heri Hermansyah, secara langsung menyampaikan dukungan UI terhadap perjuangan Palestina.
Arie Afriansyah mengakui bahwa kasus ini menjadi sebuah pembelajaran sekaligus bentuk perhatian positif untuk UI agar lebih selektif dan sensitif dalam mempertimbangkan berbagai aspek saat mengundang akademisi internasional pada masa yang akan datang. Ia menjelaskan bahwa kehadiran Berkowitz dalam kegiatan tersebut bertujuan untuk menambah ilmu dalam bidang sains, sosial humaniora, teknologi, teknik, dan matematika bagi para mahasiswa pascasarjana dengan menghadirkan profesor dari universitas terkemuka. Arie Afriansyah menegaskan bahwa tidak ada maksud lain dalam memberikan kesempatan kepada Berkowitz untuk berorasi selain untuk kepentingan akademik.
Meskipun demikian, Arie Afriansyah mengakui bahwa UI luput dalam mengecek latar belakang dari Berkowitz dan menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat Indonesia atas kekhilafan dalam kekurangcermatan saat melakukan background check terhadap yang bersangkutan. Ia berjanji bahwa hal itu tidak akan terjadi lagi di kemudian hari.
Permohonan maaf dari UI tidak serta merta meredakan kecaman yang ada. Baitul Maqdis Institute tetap mendesak agar dilakukan investigasi terhadap proses pengambilan keputusan di UI yang menyebabkan undangan kepada Peter Berkowitz. Mereka menyerukan kepada Universitas Indonesia untuk menginvestigasi kejadian ini dan menuntut posisi UI secara nyata dan praktis sebagai institusi yang berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan universal, bukan malah memfasilitasi tokoh-tokoh yang mendukung penjajahan dan pelanggaran hak asasi manusia. Desakan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa undangan kepada Berkowitz mungkin merupakan indikasi adanya bias atau pengaruh tertentu dalam kebijakan UI terkait isu-isu internasional, khususnya yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina.
Kasus ini menjadi momentum penting bagi UI untuk merefleksikan perannya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberpihakan pada kelompok-kelompok yang tertindas. UI perlu memastikan bahwa proses pengambilan keputusan terkait undangan kepada tokoh-tokoh publik dilakukan secara transparan dan akuntabel, dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk rekam jejak, pandangan, dan potensi dampak dari kehadiran tokoh tersebut terhadap citra dan reputasi UI. Selain itu, UI juga perlu meningkatkan kesadaran dan pemahaman di kalangan civitas akademika mengenai isu-isu global, termasuk konflik Israel-Palestina, agar dapat mengambil sikap yang bijak dan bertanggung jawab dalam menghadapi isu-isu tersebut.