Kecanduan Nyicip Bubuk Pemutih Baju, Wanita Ini Berakhir Alami Anemia Langka

  • Maskobus
  • Sep 21, 2025

Seorang wanita berusia 36 tahun dari Michigan, Amerika Serikat, mengalami kasus langka akibat obsesinya terhadap bau dan keinginan mencicipi bubuk pemutih pakaian. Kasus ini menyoroti pentingnya integrasi antara psikiatri dan kedokteran dalam mendiagnosis dan menangani kondisi medis yang kompleks.

Awalnya, wanita yang identitasnya dirahasiakan itu dilarikan ke instalasi gawat darurat (IGD) dengan keluhan sesak napas parah, nyeri perut, dan kelelahan yang berlangsung selama seharian. Riwayat kesehatannya cukup rumit, meliputi obesitas, sleep apnea, kekurangan vitamin, serta gangguan psikiatri seperti kecemasan, depresi, dan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder). Sebelumnya, pasien ini pernah dua kali dirawat di rumah sakit karena masalah kesehatan mental. Namun, kondisinya relatif stabil berkat terapi antidepresan harian dan suntikan antipsikotik bulanan.

Saat tiba di IGD, pasien segera diberikan oksigen. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia berat, suatu kondisi di mana tubuh kekurangan sel darah merah yang berfungsi membawa oksigen ke seluruh tubuh. Akibatnya, dokter melakukan transfusi darah berulang untuk mengatasi kekurangan tersebut. Pemeriksaan darah lebih lanjut mengungkapkan kadar hemoglobin dan trombosit yang sangat rendah, menandakan masalah serius pada produksi sel darah. Foto rontgen jantung menunjukkan pembesaran, yang mengindikasikan jantung bekerja ekstra keras untuk memompa darah akibat kurangnya kapasitas darah dalam mengangkut oksigen.

Untuk mencari tahu penyebab anemia, dokter menguji kadar zat besi dan folat dalam darah pasien, karena kedua nutrisi ini penting untuk pembentukan sel darah merah. Hasilnya menunjukkan kadar zat besi dan folat yang normal. Namun, kadar vitamin B12, mikronutrien penting untuk pembentukan sel darah merah dan fungsi neurologis, sangat rendah. Tes lanjutan mengungkapkan bahwa pasien memiliki antibodi yang mengganggu penyerapan vitamin B12. Temuan ini konsisten dengan anemia pernisiosa, suatu kondisi autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel lambung yang bertanggung jawab untuk menghasilkan faktor intrinsik, protein yang dibutuhkan untuk menyerap vitamin B12.

Tanpa vitamin B12 yang cukup, tubuh tidak dapat memproduksi sel darah merah yang sehat. Defisiensi vitamin B12 yang berkepanjangan dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk perubahan kognitif dan perilaku, seperti gangguan suasana hati dan psikosis.

Kecanduan Nyicip Bubuk Pemutih Baju, Wanita Ini Berakhir Alami Anemia Langka

Mengingat riwayat gangguan mental pasien, tim dokter IGD melibatkan psikiater untuk membantu memahami kondisi pasien. Dalam konsultasi dengan psikiater, pasien mengaku memiliki kebiasaan aneh selama sebulan terakhir, yaitu mencicipi bubuk pemutih rumah tangga dua hingga tiga kali sehari. Ia menjelaskan bahwa ia tertarik pada bau tajam dan tekstur berbubuk dari pemutih tersebut. Ia akan menjilati jarinya, mencelupkan ujungnya ke dalam bubuk, dan memasukkannya ke dalam mulut. Setelah itu, ia akan berkumur, meludah, dan berkumur lagi. Pasien menegaskan bahwa ia tidak pernah menelan bubuk pemutih tersebut.

Keluarga pasien khawatir dengan kebiasaan aneh ini, tetapi pasien sendiri tidak merasa khawatir atau terganggu oleh perilakunya. Perilaku ini mengarah pada diagnosis pica, suatu gangguan makan yang ditandai dengan keinginan kuat untuk mengonsumsi atau mencicipi benda-benda non-makanan, seperti tanah, es, rambut, atau dalam kasus ini, bubuk pemutih. Dalam kasus ini, dorongan untuk mencicipi bubuk pemutih tampaknya berkaitan langsung dengan anemia akibat defisiensi vitamin B12.

Setelah diagnosis ditegakkan, pasien dirawat intensif di ICU (Intensive Care Unit) dengan transfusi darah untuk menstabilkan kondisinya dan mengurangi beban kerja jantung. Setelah kondisinya stabil, ia diberi suplemen vitamin B12 untuk mengatasi defisiensi dan obat pengurang asam lambung untuk melindungi lapisan lambung. Dokter juga merekomendasikan endoskopi untuk memeriksa adanya peradangan atau kerusakan pada lambung.

Dokter menekankan bahwa anemia pernisiosa membutuhkan suplementasi vitamin B12 seumur hidup untuk mencegah kekambuhan defisiensi dan mengurangi gejala psikiatri. Namun, setelah keluar dari rumah sakit, pasien tidak pernah kembali untuk kontrol, sehingga tidak diketahui apakah ia melanjutkan terapi atau sembuh.

Pica umumnya dikaitkan dengan kekurangan zat besi atau seng. Namun, dalam kasus ini, penyebabnya adalah defisiensi vitamin B12, yang oleh para dokter disebut sebagai kasus pertama yang tercatat dengan latar anemia B12. Laporan kasus ini juga menyoroti varian langka pica yang disebut desiderosmia, di mana dorongan awal lebih dipicu oleh aroma daripada rasa. Dalam kasus wanita ini, ketertarikannya pada bau tajam bubuk pemutih menjadi faktor utama yang mendorongnya untuk mencicipinya.

Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa psikiatri dan kedokteran harus berjalan beriringan. Dengan riwayat gangguan mental, perilaku pasien ini bisa saja dianggap murni masalah psikologis. Namun, kenyataannya, ada penyakit serius yang tersembunyi di baliknya, yaitu anemia pernisiosa akibat defisiensi vitamin B12.

Para dokter menegaskan bahwa perubahan perilaku yang tidak biasa, seperti pica, harus mendorong evaluasi medis menyeluruh selain pemeriksaan psikiatri. Perubahan perilaku tersebut bisa menjadi petunjuk pertama adanya penyakit berbahaya yang mengancam nyawa. Dalam kasus ini, kecanduan mencicipi bubuk pemutih menjadi sinyal penting yang mengarah pada diagnosis anemia pernisiosa, yang jika tidak diobati, dapat menyebabkan komplikasi serius, termasuk kerusakan saraf permanen dan masalah jantung.

Kasus ini juga menyoroti pentingnya mendengarkan dan mempercayai pasien. Meskipun kebiasaan mencicipi bubuk pemutih terdengar aneh dan tidak masuk akal, dokter harus tetap menggali informasi lebih lanjut untuk memahami motivasi dan latar belakang perilaku tersebut. Dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, dokter dapat memberikan perawatan yang lebih efektif dan komprehensif bagi pasien dengan kondisi medis yang kompleks.

Selain itu, kasus ini menggarisbawahi pentingnya edukasi masyarakat tentang pica dan defisiensi vitamin B12. Masyarakat perlu mengetahui gejala-gejala pica dan faktor-faktor risiko defisiensi vitamin B12 agar dapat mencari pertolongan medis sedini mungkin. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat, kita dapat membantu mencegah komplikasi serius akibat kondisi-kondisi ini.

Sebagai kesimpulan, kasus wanita ini adalah contoh langka dari pica yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12. Kasus ini menyoroti pentingnya integrasi antara psikiatri dan kedokteran, perlunya evaluasi medis menyeluruh untuk perubahan perilaku yang tidak biasa, dan pentingnya mendengarkan dan mempercayai pasien. Dengan pendekatan yang holistik dan terintegrasi, dokter dapat memberikan perawatan yang lebih efektif dan komprehensif bagi pasien dengan kondisi medis yang kompleks. Selain itu, edukasi masyarakat tentang pica dan defisiensi vitamin B12 sangat penting untuk meningkatkan kesadaran dan mencegah komplikasi serius. Kasus ini menjadi pengingat bahwa kesehatan fisik dan mental saling terkait, dan perawatan yang komprehensif harus mempertimbangkan kedua aspek tersebut.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :