Kejari Jaksel Mangkir dari Sidang Praperadilan Tidak Dieksekusinya Silfester Matutina

  • Maskobus
  • Aug 27, 2025

Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan menunjukkan ketidakhadirannya dalam sidang perdana praperadilan yang diajukan terkait polemik belum dilaksanakannya eksekusi terhadap vonis yang dijatuhkan kepada Silfester Matutina. Sidang dengan nomor perkara 96/Pid.Pra/2025/PN JKT-Sel tersebut berlangsung pada hari Senin, 25 Agustus 2025, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketidakhadiran pihak kejaksaan menimbulkan pertanyaan besar dan kekecewaan dari pihak pemohon praperadilan.

Rudy Marjono, kuasa hukum dari Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan (Arruki), yang bertindak sebagai pemohon dalam praperadilan ini, mengungkapkan bahwa hakim tetap membuka persidangan meskipun pihak Kejari Jaksel tidak hadir hingga melewati pukul 13.30 WIB. "Pihak termohon (Kejari Jaksel) tidak memberikan kabar maupun pemberitahuan, dan juga tidak mengirimkan wakilnya," ujar Rudy kepada awak media pada hari Selasa, 26 Agustus 2025. Ketidakhadiran ini dianggap sebagai bentuk kurangnya penghormatan terhadap proses hukum dan menimbulkan spekulasi mengenai alasan di balik absennya pihak kejaksaan.

Menurut Rudy, dalam sidang perdana tersebut, hakim hanya melakukan pemeriksaan terhadap legal standing atau kedudukan hukum dari pihak pemohon. Namun, ketidakhadiran Kejari Jaksel memaksa hakim untuk menunda persidangan selama satu minggu. "Hakim bahkan sempat menyinggung, apakah eksekusi sudah dijalankan terhadap Silfester? Sampai saat ini tidak ada tanda-tanda," kata Rudy, menambahkan bahwa pertanyaan hakim tersebut semakin memperjelas urgensi dari pelaksanaan eksekusi terhadap Silfester Matutina.

Arruki secara resmi mengajukan gugatan praperadilan ini pada tanggal 8 Agustus 2025. Alasan utama pengajuan praperadilan ini adalah karena mereka menilai Kejari Jaksel telah melakukan pembiaran dengan tidak kunjung melaksanakan eksekusi terhadap Silfester Matutina, meskipun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) sejak tahun 2019. "Kalau memang Silfester tidak ada orangnya, ya di-DPO-kan (Daftar Pencarian Orang). Itu akan menunjukkan keseriusan jaksa dalam menangani perkara ini," tegas Rudy, menekankan bahwa kejaksaan memiliki kewajiban untuk memastikan semua putusan pengadilan dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Latar belakang kasus ini cukup kompleks dan melibatkan tokoh yang cukup kontroversial. Silfester Matutina dikenal sebagai salah satu tokoh yang berada di barisan terdepan dalam membela Joko Widodo (Jokowi) dan keluarganya. Pada tahun 2019, ia dijatuhi vonis hukuman penjara selama 1,5 tahun karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Kejari Jaksel Mangkir dari Sidang Praperadilan Tidak Dieksekusinya Silfester Matutina

Proses hukum terhadap Silfester Matutina telah melalui berbagai tingkatan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan awalnya memvonis Silfester dengan hukuman 1 tahun penjara. Putusan ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi. Namun, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) justru memperberat hukuman menjadi 1 tahun 6 bulan penjara. Dengan putusan kasasi ini, seharusnya Silfester Matutina telah berstatus sebagai narapidana dan harus menjalani hukuman penjaranya.

Namun, fakta yang lebih mengejutkan adalah meskipun telah berstatus sebagai narapidana, Silfester Matutina belum ditahan. Bahkan, ia justru diangkat sebagai Komisaris Independen PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) atau ID Food oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir pada tanggal 18 Maret 2025. Penunjukan ini tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri BUMN Nomor SK-58/MBU/03/2025. Penunjukan seorang narapidana sebagai komisaris di perusahaan BUMN tentu menimbulkan kontroversi dan pertanyaan mengenai proses seleksi dan kelayakan yang dilakukan oleh Kementerian BUMN.

Menanggapi sorotan publik yang semakin meningkat, Silfester Matutina baru mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) pada tanggal 5 Agustus 2025. Langkah ini diambil setelah kasusnya kembali mencuat ke permukaan dan menjadi perbincangan hangat di media massa dan media sosial. Namun, pengajuan PK ini tidak menghalangi desakan dari berbagai pihak agar Kejari Jaksel segera melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah inkrah sejak enam tahun lalu.

"Kami sangat berharap agar kejaksaan segera melaksanakan eksekusi demi mewujudkan kepastian hukum," kata Rudy, menegaskan bahwa penundaan eksekusi ini telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan rasa keadilan di masyarakat. Arruki berharap agar melalui gugatan praperadilan ini, pengadilan dapat memerintahkan Kejari Jaksel untuk segera melaksanakan eksekusi terhadap Silfester Matutina dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait.

Kasus ini menyoroti beberapa isu penting dalam sistem hukum di Indonesia, antara lain:

  1. Efektivitas Pelaksanaan Putusan Pengadilan: Kasus Silfester Matutina menunjukkan bahwa meskipun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap, pelaksanaan eksekusi tidak selalu berjalan lancar. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas sistem pengawasan dan penegakan hukum di Indonesia.
  2. Independensi Kejaksaan: Ketidakhadiran Kejari Jaksel dalam sidang praperadilan dan penundaan eksekusi terhadap Silfester Matutina menimbulkan pertanyaan mengenai independensi kejaksaan dalam menjalankan tugasnya. Muncul dugaan bahwa ada intervensi dari pihak-pihak tertentu yang mempengaruhi kinerja kejaksaan.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas BUMN: Penunjukan seorang narapidana sebagai komisaris di perusahaan BUMN menyoroti kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi dan pengangkatan pejabat di BUMN. Hal ini menunjukkan perlunya perbaikan dalam sistem pengawasan dan pengelolaan BUMN agar terhindar dari praktik-praktik yang merugikan negara.
  4. Kepastian Hukum: Penundaan eksekusi terhadap Silfester Matutina telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan merugikan rasa keadilan di masyarakat. Hal ini menunjukkan pentingnya kepastian hukum sebagai salah satu pilar utama dalam negara hukum.

Kasus ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi pemerintah dan aparat penegak hukum untuk melakukan evaluasi dan perbaikan dalam sistem hukum di Indonesia. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua putusan pengadilan dilaksanakan secara efektif dan efisien, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Kejaksaan harus menjaga independensinya dan menjalankan tugasnya secara profesional dan akuntabel. BUMN harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan perusahaan agar terhindar dari praktik-praktik yang merugikan negara. Dan yang terpenting, pemerintah harus menjamin kepastian hukum bagi semua warga negara, tanpa terkecuali.

Sidang praperadilan ini menjadi krusial karena membuka ruang untuk menelisik lebih dalam alasan di balik kelambatan eksekusi dan menuntut pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terkait. Masyarakat menantikan hasil dari proses hukum ini dengan harapan dapat memberikan kejelasan dan keadilan dalam kasus yang telah lama menggantung ini. Ketidakhadiran Kejari Jaksel dalam sidang perdana justru semakin memperkuat spekulasi dan mendorong publik untuk terus mengawal kasus ini hingga tuntas.

Kasus Silfester Matutina adalah cermin dari kompleksitas dan tantangan yang dihadapi dalam penegakan hukum di Indonesia. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil dan transparan, tanpa pandang bulu. Hanya dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan aparat penegak hukum dapat dipulihkan dan ditingkatkan.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :