Kesenjangan imbal hasil antara obligasi jangka pendek dan panjang Indonesia diperkirakan akan terus melebar seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek fiskal negara. Dinamika ini menciptakan kurva imbal hasil (yield curve) yang semakin curam, mencerminkan sentimen pasar yang terbagi antara optimisme terhadap obligasi jangka pendek dan kekhawatiran terhadap risiko jangka panjang.
Menurut data Bloomberg, selisih imbal hasil obligasi tenor dua tahun dan 10 tahun sempat melebar hingga 114 basis poin pada pekan lalu, mencapai level tertinggi sejak Januari 2023. Meskipun kemudian sedikit menyempit, tren pelebaran ini tetap menjadi perhatian utama bagi para pelaku pasar obligasi di Indonesia.
Perbedaan pergerakan antara obligasi jangka pendek dan panjang menjadi pemicu utama pelebaran kurva imbal hasil. Obligasi jangka pendek cenderung menguat setelah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan, sebuah langkah yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, obligasi jangka panjang masih tertekan oleh berbagai faktor risiko, terutama kekhawatiran terhadap defisit anggaran yang berpotensi memicu arus keluar modal (capital outflow) dari pasar obligasi Indonesia.
Wee Khoon Chong, Senior Asia Pacific Market Strategist di BNY, menyoroti bahwa dalam jangka pendek, obligasi jangka pendek menawarkan risiko dan imbal hasil yang lebih menarik, terutama dengan potensi pemangkasan suku bunga BI lebih lanjut. Pernyataan ini mencerminkan ekspektasi pasar bahwa BI akan terus melonggarkan kebijakan moneternya untuk mendukung pemulihan ekonomi.
Namun, Chong juga mengingatkan bahwa investor cenderung enggan untuk memperpanjang durasi investasi mereka di tengah gejolak politik dan ekonomi yang sedang berlangsung. Ketidakpastian terkait stabilitas politik, termasuk isu reshuffle kabinet, serta potensi dampak aksi jual global (global sell-off) terhadap obligasi jangka panjang, menjadi faktor-faktor yang membuat investor lebih berhati-hati.
Chong bahkan memperkirakan bahwa selisih imbal hasil antara obligasi dua tahun dan 10 tahun dapat melebar hingga 130 basis poin. Pada Kamis, 4 September, selisih tersebut tercatat sebesar 110 basis poin, menunjukkan potensi pelebaran lebih lanjut dalam beberapa waktu mendatang.
Sentimen pasar terhadap obligasi Indonesia semakin terpengaruh oleh isu-isu politik dan ekonomi domestik. Demonstrasi yang disertai kekerasan serta pencopotan mendadak Sri Mulyani dari kursi Menteri Keuangan memicu aksi jual obligasi domestik, mencerminkan meningkatnya keraguan terhadap disiplin fiskal pemerintah.
Meskipun penggantinya, Purbaya Yudhi Sadewa, telah berjanji untuk berhati-hati dalam mengelola keuangan negara, komitmennya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih agresif tetap membuat investor waspada. Pasar khawatir bahwa upaya untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dapat mengarah pada peningkatan defisit anggaran dan utang pemerintah, yang pada gilirannya dapat menekan harga obligasi.
Selain faktor-faktor domestik, obligasi rupiah berjangka panjang juga rentan terhadap pergerakan imbal hasil US Treasuries, obligasi pemerintah Amerika Serikat. Tingginya konsentrasi investor global di pasar obligasi Indonesia membuat pasar lokal sangat sensitif terhadap perubahan sentimen di pasar global.
Data menunjukkan bahwa sekitar 47 persen obligasi pemerintah Indonesia yang dipegang oleh investor asing berada pada tenor menengah hingga panjang, sedangkan surat utang dengan tenor dua tahun atau kurang hanya mencapai 11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa investor asing cenderung lebih tertarik pada obligasi jangka panjang, sehingga pergerakan imbal hasil US Treasuries dapat memiliki dampak signifikan terhadap harga obligasi Indonesia.
Analis dari Goldman Sachs Group Inc. juga mencatat bahwa kurva obligasi jangka panjang di pasar negara berkembang secara umum menunjukkan tren kenaikan, sejalan dengan pergeseran di pasar obligasi negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa pelebaran kurva imbal hasil di Indonesia bukan merupakan fenomena yang unik, melainkan bagian dari tren global yang lebih luas.
Kebijakan pemerintah terkait pengelolaan kas negara juga turut mempengaruhi dinamika pasar obligasi. Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan kepada anggota DPR pada Rabu, 10 September, bahwa pemerintah berencana untuk memindahkan setengah dari cadangan kas sebesar Rp 400 triliun yang disimpan di BI ke bank-bank BUMN.
Analis menilai bahwa langkah ini berpotensi semakin memperlebar kurva imbal hasil obligasi. Bank-bank BUMN kemungkinan akan menempatkan tambahan likuiditas tersebut pada obligasi jangka pendek, sehingga meningkatkan permintaan dan menekan imbal hasil obligasi jangka pendek. Sebaliknya, obligasi jangka panjang mungkin tidak mengalami peningkatan permintaan yang signifikan, sehingga imbal hasilnya tetap tinggi atau bahkan meningkat.
Selain faktor-faktor fiskal dan politik, kebijakan moneter BI juga memainkan peran penting dalam membentuk kurva imbal hasil obligasi Indonesia. Pemangkasan suku bunga BI sebesar 125 basis poin sepanjang siklus pelonggaran moneter ini merupakan yang terbesar di antara negara-negara emerging Asia, setelah Bangko Sentral ng Pilipinas (bank sentral Filipina).
BI juga memberikan sinyal bahwa masih ada ruang untuk pelonggaran moneter lebih lanjut, yang semakin mendorong investor untuk membeli obligasi jangka pendek. Ekspektasi penurunan suku bunga lebih lanjut membuat obligasi jangka pendek menjadi lebih menarik, karena investor berharap untuk mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga obligasi saat suku bunga turun.
Namun, pelebaran kurva imbal hasil juga dapat menjadi indikasi bahwa pasar meragukan efektivitas kebijakan moneter BI dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika investor tidak yakin bahwa penurunan suku bunga akan berhasil meningkatkan investasi dan konsumsi, mereka mungkin akan tetap enggan untuk membeli obligasi jangka panjang.
Sentimen negatif terhadap pasar obligasi Indonesia tercermin dalam lelang obligasi yang diadakan pada Selasa, 9 September. Pemerintah gagal memenuhi target penjualan indikatif untuk pertama kalinya sejak Januari, yang menunjukkan bahwa minat investor terhadap obligasi pemerintah menurun setelah pencopotan Sri Mulyani.
Kegagalan lelang obligasi ini menjadi sinyal peringatan bagi pemerintah. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kepercayaan investor dan meyakinkan pasar bahwa disiplin fiskal akan tetap terjaga. Jika tidak, pelebaran kurva imbal hasil dapat berlanjut, yang pada gilirannya dapat meningkatkan biaya pinjaman pemerintah dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pelebaran kurva imbal hasil obligasi memiliki beberapa implikasi penting bagi perekonomian Indonesia. Pertama, hal ini dapat meningkatkan biaya pinjaman pemerintah, yang pada gilirannya dapat mengurangi ruang fiskal untuk investasi publik dan belanja sosial.
Kedua, pelebaran kurva imbal hasil dapat mengurangi daya tarik obligasi Indonesia bagi investor asing, yang dapat menyebabkan arus keluar modal dan melemahkan nilai tukar rupiah.
Ketiga, pelebaran kurva imbal hasil dapat mencerminkan ekspektasi inflasi yang lebih tinggi di masa depan. Jika investor percaya bahwa inflasi akan meningkat, mereka akan meminta imbal hasil yang lebih tinggi untuk obligasi jangka panjang, yang dapat memicu siklus inflasi yang sulit dikendalikan.
Ke depan, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah komprehensif untuk mengatasi kekhawatiran fiskal dan memulihkan kepercayaan investor. Langkah-langkah tersebut meliputi:
-
Menjaga disiplin fiskal: Pemerintah perlu menunjukkan komitmen yang kuat untuk menjaga defisit anggaran tetap terkendali dan mengurangi rasio utang terhadap PDB. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pendapatan negara, mengurangi belanja yang tidak perlu, dan meningkatkan efisiensi pengelolaan keuangan negara.
-
Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas: Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan informasi yang lebih rinci tentang anggaran dan utang pemerintah, serta meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan dana publik.
-
Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan: Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan investasi di infrastruktur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
-
Memperkuat koordinasi antara pemerintah dan BI: Pemerintah dan BI perlu memperkuat koordinasi dalam kebijakan fiskal dan moneter. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagi informasi dan pandangan secara teratur, serta menyelaraskan tujuan kebijakan untuk mencapai stabilitas ekonomi dan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Dengan mengambil langkah-langkah tersebut, pemerintah dapat mengatasi kekhawatiran fiskal, memulihkan kepercayaan investor, dan mengurangi tekanan pada pasar obligasi. Hal ini pada gilirannya dapat membantu menjaga stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan di Indonesia. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk mengkomunikasikan strategi dan kebijakan ekonomi secara efektif kepada publik dan investor, guna membangun kepercayaan dan mengurangi ketidakpastian. Komunikasi yang transparan dan konsisten dapat membantu meredakan kekhawatiran pasar dan mencegah aksi jual yang berlebihan.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk diversifikasi basis investor obligasi pemerintah. Terlalu bergantung pada investor asing membuat pasar obligasi rentan terhadap perubahan sentimen global. Meningkatkan partisipasi investor domestik, baik individu maupun institusi, dapat membantu mengurangi volatilitas pasar dan meningkatkan stabilitas.
Pelebaran kurva imbal hasil obligasi merupakan tantangan yang kompleks, tetapi dengan kebijakan yang tepat dan koordinasi yang efektif, pemerintah dapat mengatasi tantangan ini dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Pasar obligasi yang stabil dan likuid merupakan kunci untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.