Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali menjadi sorotan tajam publik, menyusul viralnya kisah seorang wanita berinisial IGF di Surabaya yang diduga menjadi korban KDRT oleh suaminya, AAS, sejak tahun 2023. Rekaman CCTV yang memperlihatkan dugaan penganiayaan tersebut tersebar luas di media sosial, memicu gelombang perdebatan dan pertanyaan: mengapa korban KDRT seringkali sulit keluar dari lingkaran kekerasan yang membelitnya?
Pertanyaan ini bukanlah sekadar rasa ingin tahu, melainkan sebuah urgensi untuk memahami kompleksitas psikologis, sosial, dan ekonomi yang menjerat para korban KDRT. Dengan pemahaman yang mendalam, diharapkan dapat dirumuskan strategi pencegahan dan penanganan yang lebih efektif, serta memberikan dukungan yang tepat bagi para korban untuk membebaskan diri dari cengkeraman kekerasan.
Psikolog Vivi Anastasia, M.Psi., menjelaskan bahwa ada setidaknya lima faktor utama yang menyebabkan perempuan terjebak dalam lingkaran KDRT. Faktor-faktor ini saling terkait dan membentuk sebuah pola yang sulit diputuskan oleh korban.
1. Pola Relasi Tidak Sehat yang Dimulai Secara Halus: Jaring Cinta yang Mematikan
KDRT seringkali tidak dimulai dengan kekerasan fisik yang brutal. Sebaliknya, kekerasan seringkali merayap masuk secara perlahan dan halus, terbungkus dalam jubah cinta, perhatian, dan janji manis. Di awal hubungan, pelaku KDRT seringkali menampilkan diri sebagai sosok yang ideal: romantis, perhatian, dan penuh kasih sayang. Mereka membanjiri korban dengan pujian, hadiah, dan janji-janji masa depan yang indah.
Secara psikologis, pelaku KDRT menggunakan taktik ini untuk menciptakan keterikatan emosional yang kuat dengan korban. Mereka membuat korban merasa dicintai, dihargai, dan dibutuhkan. Korban pun mulai menaruh kepercayaan penuh pada pelaku, dan merasa bahwa mereka telah menemukan belahan jiwa yang sejati.
Namun, seiring berjalannya waktu, topeng pelaku KDRT mulai retak. Kekerasan mulai muncul secara bertahap, dimulai dengan kekerasan psikis seperti hinaan, cercaan, dan merendahkan harga diri korban. Pelaku juga mulai mengontrol dan membatasi aktivitas korban, seperti melarangnya bertemu dengan teman atau keluarga, mengatur penampilannya, dan memantau komunikasinya.
Kekerasan psikis ini seringkali dibarengi dengan ancaman dan intimidasi. Pelaku mengancam akan menyakiti korban, anak-anak mereka, atau orang-orang yang mereka sayangi jika korban tidak menuruti kemauannya. Korban pun merasa takut dan tertekan, dan mulai menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Seiring berjalannya waktu, kekerasan psikis dapat meningkat menjadi kekerasan fisik. Pelaku mulai mendorong, menampar, atau memukul korban. Kekerasan fisik ini seringkali terjadi secara sporadis dan tidak terduga, membuat korban merasa cemas dan tidak berdaya.
Pola relasi tidak sehat ini sangat sulit untuk dikenali dan dipecahkan. Korban seringkali tidak menyadari bahwa mereka sedang menjadi korban KDRT, karena mereka masih terikat secara emosional dengan pelaku dan berharap bahwa pelaku akan berubah. Selain itu, korban juga merasa malu dan takut untuk menceritakan apa yang mereka alami kepada orang lain.
2. Gaslighting dan Manipulasi Psikologis: Meruntuhkan Realitas Korban
Gaslighting adalah bentuk manipulasi psikologis yang sangat merusak. Pelaku gaslighting berusaha membuat korban meragukan kewarasan, ingatan, dan persepsi mereka sendiri. Mereka melakukan ini dengan cara menyangkal, meminimalkan, atau memutarbalikkan fakta yang terjadi.
Contoh gaslighting dalam KDRT adalah ketika pelaku menyangkal telah melakukan kekerasan, meskipun korban memiliki bukti yang jelas. Pelaku mungkin berkata, "Kamu pasti salah lihat," atau "Aku tidak pernah melakukan itu." Pelaku juga dapat meminimalkan dampak kekerasan yang mereka lakukan, dengan mengatakan, "Itu hanya bercanda," atau "Kamu terlalu sensitif."
Selain itu, pelaku gaslighting juga sering menyalahkan korban atas kekerasan yang mereka alami. Mereka mungkin berkata, "Kamu yang membuatku marah," atau "Kalau kamu tidak melakukan itu, aku tidak akan memukulmu." Dengan menyalahkan korban, pelaku berusaha untuk melepaskan tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.
Manipulasi psikologis lainnya yang sering digunakan oleh pelaku KDRT adalah dengan membuat korban merasa bersalah atau tidak berharga. Pelaku mungkin berkata, "Tidak ada yang akan mencintaimu selain aku," atau "Kamu tidak bisa hidup tanpa aku." Dengan membuat korban merasa tidak berdaya dan tidak berharga, pelaku berusaha untuk mengendalikan dan memanipulasi mereka.
Gaslighting dan manipulasi psikologis dapat memiliki dampak yang sangat merusak bagi korban KDRT. Korban mulai meragukan diri sendiri, kehilangan kepercayaan diri, dan merasa tidak berdaya. Mereka juga menjadi sulit untuk membedakan antara kenyataan dan kebohongan, dan merasa terisolasi dari dunia luar.
3. Ketergantungan Emosional dan Ekonomi: Jeratan yang Memenjarakan
Ketergantungan emosional dan ekonomi adalah dua faktor yang seringkali membuat korban KDRT sulit untuk meninggalkan pelaku. Ketergantungan emosional terjadi ketika korban merasa bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa pelaku. Mereka merasa bahwa pelaku adalah satu-satunya orang yang memahami dan mencintai mereka, dan bahwa mereka tidak akan bisa menemukan kebahagiaan dengan orang lain.
Ketergantungan emosional ini seringkali diperkuat oleh isolasi sosial yang dialami oleh korban KDRT. Pelaku seringkali melarang korban untuk bertemu dengan teman atau keluarga, sehingga korban merasa semakin terisolasi dan bergantung pada pelaku.
Selain ketergantungan emosional, ketergantungan ekonomi juga dapat menjadi penghalang bagi korban KDRT untuk meninggalkan pelaku. Banyak korban KDRT yang tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan sendiri, sehingga mereka bergantung sepenuhnya pada pelaku untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Ketergantungan ekonomi ini membuat korban merasa takut untuk meninggalkan pelaku, karena mereka tidak tahu bagaimana mereka akan menghidupi diri sendiri dan anak-anak mereka jika mereka pergi. Pelaku juga seringkali menggunakan ketergantungan ekonomi ini sebagai alat untuk mengendalikan dan memanipulasi korban.
4. Ketakutan dan Ancaman: Bayang-Bayang Kekerasan yang Mengintai
Ketakutan adalah emosi yang sangat kuat yang dapat melumpuhkan korban KDRT. Korban takut akan kekerasan yang akan mereka alami jika mereka mencoba untuk melawan atau meninggalkan pelaku. Mereka juga takut akan keselamatan anak-anak mereka, dan takut bahwa pelaku akan menyakiti mereka jika mereka pergi.
Ketakutan ini seringkali diperkuat oleh ancaman yang dilontarkan oleh pelaku. Pelaku mengancam akan menyakiti korban, anak-anak mereka, atau orang-orang yang mereka sayangi jika korban tidak menuruti kemauannya. Ancaman ini dapat berupa ancaman fisik, ancaman verbal, atau ancaman finansial.
Ketakutan dan ancaman ini membuat korban merasa tidak berdaya dan terperangkap dalam lingkaran kekerasan. Mereka merasa bahwa tidak ada jalan keluar, dan bahwa mereka harus menerima nasib mereka sebagai korban KDRT.
5. Norma Sosial dan Budaya: Belenggu yang Tak Terlihat
Norma sosial dan budaya juga dapat berperan dalam membuat perempuan terjebak dalam lingkaran KDRT. Di beberapa masyarakat, KDRT dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Korban KDRT seringkali merasa malu dan takut untuk menceritakan apa yang mereka alami kepada orang lain, karena mereka takut akan dicemooh atau disalahkan.
Selain itu, di beberapa budaya, perempuan diharapkan untuk tetap bertahan dalam pernikahan, meskipun mereka mengalami kekerasan. Perceraian dianggap sebagai aib, dan perempuan yang bercerai seringkali dicap sebagai perempuan yang gagal.
Norma sosial dan budaya ini dapat membuat korban KDRT merasa terisolasi dan tidak berdaya. Mereka merasa bahwa mereka tidak memiliki dukungan dari masyarakat, dan bahwa mereka harus menanggung beban kekerasan sendirian.
Memahami faktor-faktor yang menyebabkan perempuan terjebak dalam lingkaran KDRT adalah langkah penting untuk membantu para korban membebaskan diri dari kekerasan. Dengan memberikan dukungan emosional, ekonomi, dan hukum, serta dengan mengubah norma sosial dan budaya yang mendukung KDRT, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil bagi semua perempuan.
Penting untuk diingat bahwa KDRT bukanlah kesalahan korban. Korban KDRT tidak bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka alami. Pelaku KDRT lah yang bertanggung jawab atas tindakan mereka sendiri.
Jika Anda adalah korban KDRT, ketahuilah bahwa Anda tidak sendirian. Ada banyak orang yang peduli dan ingin membantu Anda. Jangan ragu untuk mencari bantuan dari teman, keluarga, atau organisasi yang bergerak di bidang penanganan KDRT. Anda berhak untuk hidup bebas dari kekerasan.