Penarikan udang beku asal Indonesia oleh Amerika Serikat baru-baru ini menjadi perhatian serius. Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan penarikan kembali (recall) produk udang beku merek Great Value yang diimpor dari PT Bahari Makmur Sejati (BMS Foods) setelah ditemukan kandungan isotop radioaktif Cesium-137 (Cs-137) pada satu sampel udang. Kadar yang terdeteksi adalah sekitar 68,48 Bq/kg ± 8,25 Bq/kg. Meskipun angka ini masih di bawah level intervensi FDA, temuan ini memicu kekhawatiran karena potensi risiko yang mungkin timbul jika dikonsumsi secara terus-menerus dalam jangka panjang.
Indun Dewi Puspita, S.P., M.Sc. Ph.D, seorang dosen Teknologi Hasil Perikanan Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan bahwa isu ini harus menjadi perhatian utama bagi seluruh pemangku kepentingan, mulai dari petambak, industri pengolahan, eksportir, hingga pemerintah. Kasus ini tidak boleh diabaikan karena menyangkut reputasi Indonesia di mata dunia. Kerja sama yang solid dari semua sektor sangat penting untuk memastikan kualitas dan keamanan produk perikanan Indonesia tetap terjaga.
"Hal ini menjadi isu yang sangat penting, khususnya untuk jaminan mutu produk perikanan Indonesia," ujar Indun seperti dikutip dari laman UGM pada hari Selasa, 2 September 2025.
Indun menjelaskan bahwa Cesium-137 bukanlah zat radioaktif yang terbentuk secara alami. Keberadaannya merupakan hasil dari aktivitas manusia, seperti uji coba senjata nuklir atau kebocoran reaktor nuklir. Sifatnya yang memiliki waktu paruh yang panjang memungkinkan zat ini untuk bertahan lama di lingkungan dan berpotensi masuk ke rantai makanan melalui air atau lahan tambak yang terkontaminasi, termasuk mencemari udang.
Hal ini mengindikasikan bahwa faktor eksternal di luar kendali petambak dapat memengaruhi kualitas produk udang. Kompleksitas siklus lingkungan membuat risiko kontaminasi menjadi tantangan yang signifikan bagi sektor perikanan Indonesia.
"Siklus alami memungkinkan zat ini menyebar ke lingkungan perairan dan mempengaruhi biota, termasuk udang," jelasnya lebih lanjut.
Meskipun kadar Cesium-137 yang ditemukan masih jauh di bawah standar intervensi yang ditetapkan, penolakan tetap dilakukan oleh otoritas Amerika Serikat sebagai langkah pencegahan. Kebijakan ini mencerminkan bahwa standar keamanan pangan internasional cenderung mengutamakan prinsip kehati-hatian untuk melindungi kesehatan konsumen.
Indun menekankan pentingnya penerapan sistem jaminan mutu dan traceability (ketertelusuran) yang kuat di seluruh rantai pasok industri perikanan. Dengan sistem yang efektif, potensi bahaya dapat dicegah sejak awal sebelum menimbulkan dampak serius yang merugikan.
"Kalau sistem jaminan mutu dan penelusuran berjalan baik, potensi bahaya menjadi sangat minim," tegasnya.
Bahaya Radioaktif Cs-137
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), paparan eksternal terhadap Cesium-137 dalam jumlah besar dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari luka bakar hingga penyakit radiasi akut, dan bahkan kematian. Paparan Cs-137 juga dapat meningkatkan risiko kanker karena radiasi gamma berenergi tinggi yang dipancarkannya.
Paparan internal terhadap Cs-137, baik melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi maupun inhalasi partikel radioaktif, memungkinkan bahan radioaktif tersebut untuk terdistribusi di jaringan lunak tubuh, terutama jaringan otot. Hal ini menyebabkan jaringan tersebut terpapar partikel beta dan radiasi gamma, yang pada akhirnya meningkatkan risiko kanker.
Mengapa Cs-137 Bisa Muncul di Pangan?
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), bersama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah melakukan monitoring dan investigasi di pabrik udang PT BMS. Hasil pengukuran laju paparan di area pabrik udang beku tersebut menunjukkan adanya kontaminasi Cs-137.
BAPETEN kemudian memperluas monitoring radiasi ke area yang lebih luas dan menemukan adanya paparan radiasi yang signifikan di tempat pengumpulan besi bekas di kawasan tersebut. Investigasi lebih lanjut mengungkapkan keberadaan material logam yang terindikasi mengandung zat radioaktif Cs-137.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, menyampaikan bahwa sumber awal dugaan cemaran pada udang beku asal Indonesia yang ditarik oleh Amerika Serikat kemungkinan berasal dari tempat peleburan baja yang berlokasi di sekitar pabrik produksi udang.
"Indikasinya ada peleburan besi dan baja yang mengandung radioaktif. Kemudian sedang ditangani. Iya (peleburan besi dan baja dekat pabrik produksi) sedang ditangani," ujar Hanif kepada media pada tanggal 1 September 2025.
Analisis Lebih Mendalam dan Rekomendasi
Kasus kontaminasi Cesium-137 pada udang beku asal Indonesia ini menyoroti beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:
-
Pengawasan dan Monitoring yang Komprehensif: Perlu adanya pengawasan dan monitoring yang lebih ketat dan komprehensif terhadap potensi sumber-sumber kontaminasi radioaktif, termasuk industri peleburan logam, fasilitas pengolahan limbah, dan lokasi-lokasi lain yang berpotensi mengandung bahan radioaktif. Monitoring tidak hanya terbatas pada produk akhir, tetapi juga pada lingkungan sekitar tambak dan fasilitas pengolahan.
-
Peningkatan Sistem Jaminan Mutu dan Traceability: Sistem jaminan mutu dan traceability harus ditingkatkan secara signifikan untuk memastikan bahwa setiap produk perikanan dapat ditelusuri asal-usulnya, mulai dari tambak hingga konsumen. Sistem ini harus mencakup pengujian rutin terhadap kontaminan berbahaya, termasuk zat radioaktif.
-
Pendidikan dan Pelatihan Petambak: Petambak perlu mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai mengenai praktik budidaya yang baik (Good Aquaculture Practices/GAP) dan pentingnya menjaga kualitas air dan lingkungan tambak. Mereka juga perlu dibekali dengan pengetahuan tentang potensi sumber kontaminasi dan cara menghindarinya.
-
Kerja Sama Multisektor: Penanganan masalah kontaminasi radioaktif memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai sektor, termasuk pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat. Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang jelas dan tegas mengenai pengelolaan limbah radioaktif dan melakukan penegakan hukum yang efektif terhadap pelanggaran.
-
Teknologi Deteksi yang Canggih: Investasi dalam teknologi deteksi radioaktif yang canggih dan akurat sangat penting untuk memastikan bahwa kontaminasi dapat dideteksi secara dini dan cepat. Teknologi ini harus tersedia di laboratorium pengujian dan di titik-titik strategis di sepanjang rantai pasok perikanan.
-
Transparansi dan Komunikasi Publik: Pemerintah dan industri perlu bersikap transparan dan proaktif dalam mengkomunikasikan informasi mengenai risiko dan upaya penanganan kontaminasi kepada publik. Komunikasi yang efektif dapat membantu membangun kepercayaan konsumen dan mencegah kepanikan yang tidak perlu.
-
Penelitian dan Pengembangan: Penelitian dan pengembangan teknologi untuk menghilangkan atau mengurangi kontaminasi radioaktif pada produk perikanan perlu terus didorong. Hal ini dapat mencakup pengembangan metode filtrasi air yang efektif, penggunaan bahan penyerap radioaktif, atau teknik pengolahan pangan yang dapat mengurangi kadar radioaktif.
-
Standar Keamanan Pangan yang Harmonis: Pemerintah perlu bekerja sama dengan negara-negara lain untuk mengharmonisasikan standar keamanan pangan terkait dengan kontaminasi radioaktif. Hal ini akan membantu memastikan bahwa produk perikanan Indonesia dapat diterima di pasar internasional dan melindungi kesehatan konsumen di seluruh dunia.
Kasus kontaminasi Cesium-137 pada udang beku asal Indonesia ini adalah peringatan bagi semua pihak untuk lebih meningkatkan kewaspadaan dan mengambil tindakan yang komprehensif untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. Dengan kerja sama yang solid dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat memastikan bahwa produk perikanannya aman, berkualitas, dan berkelanjutan.
(suc/kna)