Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Taruna Ikrar, menekankan urgensi sistem farmakovigilans yang kuat untuk menjamin keselamatan pasien, khususnya bagi kelompok rentan seperti bayi baru lahir dan anak-anak. Menurut Taruna, hak atas perlindungan kesehatan sejak dini merupakan hak asasi manusia yang fundamental, dan negara memiliki kewajiban untuk memenuhinya.
Menyitir data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Mei 2025, Taruna mengungkapkan bahwa populasi anak usia 0-4 tahun di Indonesia mencapai 22,75 juta jiwa, setara dengan sekitar 9 persen dari total populasi. Angka kelahiran yang mencapai 4,6 juta bayi per tahun semakin menegaskan pentingnya perhatian khusus terhadap kesehatan dan keselamatan kelompok usia ini.
"Keselamatan pasien adalah hak mendasar yang tidak boleh dikompromikan. Secara khusus, perlindungan ini harus dimulai sejak bayi baru lahir dan anak-anak, karena mereka adalah generasi penerus bangsa yang akan menentukan masa depan Indonesia," tegas Taruna Ikrar dalam acara National Pharmacovigilance Webinar yang diselenggarakan dalam rangka memperingati World Patient Safety Day (WPSD) 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (18/9/2025).
Taruna menambahkan bahwa bayi dan anak-anak merupakan aset bangsa yang sangat berharga, dan pertumbuhan serta perkembangan mereka yang optimal akan menjadi fondasi bagi terwujudnya visi Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, segala upaya harus dilakukan untuk memastikan mereka mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan terjangkau.
Lebih lanjut, Taruna menjelaskan bahwa farmakovigilans dan penggunaan obat yang aman merupakan dua pilar utama dalam menjamin keselamatan pasien. Sistem farmakovigilans yang efektif berperan penting dalam mendeteksi efek samping obat secara dini, sehingga tindakan pencegahan dan penanganan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Selain itu, farmakovigilans juga mendorong peningkatan pelaporan dari tenaga kesehatan, memberdayakan keluarga pasien untuk berpartisipasi aktif dalam pemantauan keamanan obat, serta membangun budaya keselamatan di seluruh fasilitas layanan kesehatan.
"Kita masih menghadapi kesenjangan dalam kapasitas pelaporan dan kesadaran di kalangan tenaga medis maupun masyarakat dalam melaporkan kejadian tidak diinginkan (KTD), efek samping obat (ESO), maupun kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). Hal ini menjadi tantangan yang harus segera diatasi agar sistem farmakovigilans dapat berfungsi secara optimal," ungkap Taruna.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, BPOM RI telah melakukan berbagai upaya, antara lain meningkatkan pelatihan dan edukasi bagi tenaga kesehatan, memperkuat sistem pelaporan online, serta menggencarkan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pelaporan KTD, ESO, dan KIPI. Selain itu, BPOM RI juga bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk organisasi profesi, rumah sakit, dan lembaga swadaya masyarakat, untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam program farmakovigilans.
Dalam kesempatan yang sama, Deputy Representative WHO Indonesia, Momoe Takeuchi, menyampaikan apresiasi atas komitmen dan upaya Indonesia dalam meningkatkan keselamatan pasien, khususnya anak-anak dan bayi baru lahir. Ia menekankan bahwa keselamatan pasien merupakan isu mendasar yang harus menjadi perhatian semua pihak, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat luas.
"Setiap peningkatan dalam keselamatan pasien berarti menyelamatkan nyawa. Pencapaian dalam menurunkan angka kematian anak di berbagai negara membuktikan bahwa layanan kesehatan yang kuat, aman, dan berkualitas adalah kunci," ujar Momoe.
Momoe juga mengakui bahwa Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam memperkuat praktik produksi, distribusi, serta pengawasan obat, vaksin, dan produk medis dalam dua tahun terakhir. Namun, ia juga menyoroti tantangan baru yang muncul seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dan inovasi dalam perawatan medis.
"Perkembangan teknologi dan inovasi dalam perawatan medis membuka peluang baru untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan, tetapi juga menimbulkan risiko baru yang perlu diantisipasi dan dikelola dengan baik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus beradaptasi dan mengembangkan strategi yang efektif untuk memastikan keselamatan pasien di era digital," kata Momoe.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, WHO Indonesia siap memberikan dukungan teknis dan sumber daya kepada pemerintah Indonesia dalam memperkuat sistem kesehatan nasional, meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keselamatan pasien.
Selain itu, Momoe juga menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor dan kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan dalam upaya meningkatkan keselamatan pasien. Ia mengajak semua pihak untuk bekerja sama secara sinergis untuk menciptakan lingkungan layanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan berpusat pada pasien.
Acara National Pharmacovigilance Webinar tersebut dihadiri oleh berbagai pihak, antara lain perwakilan dari Kementerian Kesehatan, BPOM RI, WHO Indonesia, organisasi profesi, rumah sakit, apotek, industri farmasi, serta perwakilan dari masyarakat. Webinar ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya farmakovigilans dan penggunaan obat yang aman dalam menjamin keselamatan pasien, khususnya anak-anak dan bayi baru lahir.
Dalam sesi diskusi, para peserta webinar berbagi pengalaman dan praktik baik dalam implementasi program farmakovigilans di berbagai fasilitas layanan kesehatan. Mereka juga membahas berbagai tantangan dan hambatan yang dihadapi, serta mencari solusi bersama untuk mengatasi masalah tersebut.
Salah satu isu yang menjadi perhatian utama dalam diskusi adalah kurangnya sumber daya manusia yang terlatih di bidang farmakovigilans. Para peserta sepakat bahwa perlu adanya peningkatan investasi dalam pelatihan dan pengembangan tenaga kesehatan di bidang farmakovigilans, sehingga mereka memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka.
Selain itu, para peserta juga menyoroti pentingnya peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam program farmakovigilans. Mereka sepakat bahwa masyarakat perlu diberikan edukasi yang memadai mengenai pentingnya pelaporan KTD, ESO, dan KIPI, serta cara melaporkannya dengan benar.
Sebagai penutup, Kepala BPOM RI Taruna Ikrar kembali menegaskan komitmen BPOM RI untuk terus meningkatkan keselamatan pasien, khususnya anak-anak dan bayi baru lahir. Ia mengajak semua pihak untuk bekerja sama secara sinergis untuk menciptakan lingkungan layanan kesehatan yang aman, berkualitas, dan berpusat pada pasien.
"Keselamatan pasien adalah tanggung jawab kita bersama. Mari kita bergandengan tangan untuk mewujudkan Indonesia yang sehat dan sejahtera bagi seluruh masyarakat," pungkas Taruna.
Dengan adanya perhatian yang serius dari pemerintah, dukungan dari organisasi internasional seperti WHO, serta partisipasi aktif dari tenaga kesehatan dan masyarakat, diharapkan keselamatan pasien anak di Indonesia dapat terus ditingkatkan, sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas dan berdaya saing.