Kisah Dokter Bedah Lakukan Operasi Usus Buntu ke Dirinya Sendiri

  • Maskobus
  • Sep 11, 2025

Kisah heroik dan menegangkan datang dari seorang dokter bedah Rusia bernama Leonid Rogozov, yang dalam kondisi darurat ekstrem terpaksa melakukan operasi usus buntu pada dirinya sendiri di tengah ekspedisi ke Antartika. Kejadian luar biasa ini menjadi bukti ketahanan manusia, keberanian, dan kemampuan untuk bertahan hidup dalam situasi yang tampaknya mustahil.

Pada tahun 1961, Leonid Rogozov, seorang ahli bedah muda berusia 27 tahun, menjadi bagian dari Ekspedisi Antartika Soviet keenam. Tim yang terdiri dari 12 orang ini ditugaskan untuk membangun pangkalan penelitian baru di Oasis Schirmacher, sebuah wilayah terpencil dan terisolasi di benua beku tersebut. Setelah menyelesaikan pembangunan Stasiun Novolazarevskaya pada pertengahan Februari, tim bersiap untuk menghadapi kerasnya musim dingin Antartika yang panjang dan gelap.

Namun, pada akhir April, situasi darurat muncul. Rogozov mulai merasakan gejala yang mengkhawatirkan: kelelahan, kelemahan, mual, dan nyeri hebat yang terlokalisasi di sisi kanan perutnya. Sebagai satu-satunya dokter di tim ekspedisi, Rogozov menyadari dengan cepat bahwa dirinya menderita radang usus buntu akut, sebuah kondisi medis yang berpotensi fatal jika tidak segera ditangani.

Dalam kondisi normal, radang usus buntu akan diobati dengan operasi pengangkatan usus buntu (apendektomi) di rumah sakit dengan fasilitas lengkap. Namun, Rogozov berada dalam situasi yang sangat tidak menguntungkan. Ia terisolasi di Antartika, ribuan kilometer dari peradaban, dan tidak ada cara untuk mendapatkan bantuan medis dari luar. Perjalanan laut dari Rusia ke Antartika memakan waktu 36 hari, dan kapal baru tidak akan tiba hingga setahun kemudian. Penerbangan pun tidak memungkinkan karena badai salju yang dahsyat.

Rogozov menghadapi pilihan yang mengerikan. Ia bisa menunggu bantuan yang tidak mungkin datang tepat waktu, yang berarti kematian akibat peritonitis (infeksi rongga perut) jika usus buntunya pecah. Atau, ia bisa mencoba melakukan operasi pada dirinya sendiri, sebuah tindakan yang sangat berisiko dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Kisah Dokter Bedah Lakukan Operasi Usus Buntu ke Dirinya Sendiri

"Ia dihadapkan pada situasi hidup dan mati yang sangat sulit," kata Vladislav, putra Leonid Rogozov, mengenang kisah ayahnya. "Pilihannya hanya dua, ia terus menunggu bantuan yang tidak kunjung datang atau mencoba mengoperasi dirinya sendiri."

Rogozov menyadari bahwa usus buntu yang pecah akan menjadi akhir hidupnya. Ia tahu betul risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi selama operasi, terutama karena ia harus melakukannya seorang diri. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.

"Ia harus membuka perutnya sendiri untuk mengeluarkan ususnya," kata Vladislav. "Ia tidak tahu apakah itu mungkin dilakukan manusia."

Selain tekanan medis, Rogozov juga merasakan beban tanggung jawab sebagai bagian dari ekspedisi ilmiah Soviet. Saat itu adalah puncak Perang Dingin, dan Uni Soviet bersaing dengan Amerika Serikat dalam berbagai bidang, termasuk eksplorasi ruang angkasa dan penaklukan kutub. Kegagalan dalam misi ini akan menjadi pukulan bagi prestise negara.

Setelah mempertimbangkan semua faktor, Rogozov memutuskan untuk melakukan auto-apendektomi, operasi pengangkatan usus buntu pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya kesempatan untuk bertahan hidup.

Malam sebelum operasi, Rogozov menulis dalam buku hariannya: "Saya tidak tidur sama sekali tadi malam. Rasanya sakit sekali! Badai salju menerjang jiwa saya, meratap seperti 100 serigala. Masih belum ada gejala yang jelas bahwa perforasi akan segera terjadi, tetapi firasat buruk yang mencekam menyelimuti saya. Inilah saatnya. Saya harus memikirkan satu-satunya jalan keluar yang mungkin, mengoperasi diri saya sendiri, meski tampaknya hampir mustahil, tetapi saya tidak bisa menyerah begitu saja."

Rogozov menyusun rencana operasi yang terperinci. Ia menunjuk dua rekan kerjanya sebagai asisten utama. Tugas mereka adalah menyerahkan instrumen bedah, mengatur posisi lampu, dan memegang cermin. Rogozov berencana menggunakan pantulan cermin untuk melihat bagian tubuhnya yang tidak bisa ia jangkau secara langsung. Direktur stasiun juga hadir di ruangan itu untuk berjaga-jaga jika salah satu asisten pingsan.

"Dia sangat sistematis, bahkan menginstruksikan mereka apa yang harus dilakukan jika ia kehilangan kesadaran," kata Vladislav.

Anestesi umum tidak mungkin dilakukan karena Rogozov harus tetap sadar selama operasi. Ia hanya bisa memberikan anestesi lokal pada dinding perutnya. Setelah mengiris kulit dan jaringan di bawahnya, ia harus melanjutkan operasi tanpa penghilang rasa sakit lebih lanjut agar pikirannya tetap jernih dan fokus.

Pada tanggal 30 April 1961, operasi dimulai. Rogozov berbaring di tempat tidur di ruang operasi darurat yang telah disiapkan. Dua asistennya berdiri di sampingnya, siap membantu.

"Kasihan asisten-asistenku! Di menit-menit terakhir, saya melihat ke arah mereka. Mereka berdiri di sana dengan pakaian operasi putih mereka, bahkan lebih putih dari putihnya," tulis Rogozov kemudian. "Saya juga takut. Tapi ketika saya mengambil jarum suntik berisi novocaine dan menyuntikkan sendiri suntikan pertama, entah bagaimana saya langsung masuk ke mode operasi, dan sejak saat itu saya tidak merasakan apa-apa lagi."

Rogozov berniat menggunakan cermin untuk membantunya melihat area operasi, tetapi ia merasa pandangan terbalik dari cermin terlalu membingungkan. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengandalkan sentuhan dan pengetahuannya tentang anatomi manusia. Ia melakukan operasi tanpa sarung tangan agar bisa merasakan jaringan dengan lebih baik.

Operasi berlangsung selama hampir dua jam. Rogozov membuat sayatan di perut bagian bawahnya, mencari usus buntu yang meradang. Ia menghadapi berbagai kesulitan, termasuk perdarahan hebat dan kesulitan melihat area operasi dengan jelas.

"Pendarahannya cukup deras, tapi saya melakukannya dengan perlahan. Setelah membuka peritoneum, saya melukai usus buntu dan harus menjahitnya," tulis Rogozov. "Saya semakin lemah, kepala saya mulai berputar. Setiap empat hingga lima menit saya beristirahat selama 20-25 detik."

Pada saat-saat terakhir operasi, Rogozov hampir pingsan karena kelelahan dan rasa sakit. Ia mulai takut bahwa ia akan gagal di saat-saat kritis.

"Akhirnya, ini dia, usus buntu terkutuk itu! Dengan ngeri saya melihat noda gelap di dasarnya. Itu berarti tinggal sehari lagi dan usus buntu itu akan pecah. Jantung saya berdebar kencang dan terasa melambat, tangan saya terasa seperti karet. Yah, pikirku, semuanya akan berakhir buruk, dan yang tersisa hanyalah pengangkatan usus buntu."

Namun, Rogozov tidak menyerah. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia berhasil mengangkat usus buntu yang meradang dan menjahit luka operasinya.

Setelah hampir dua jam, operasi selesai. Rogozov memberi tahu asistennya cara mencuci instrumen bedah. Kemudian, ia meminum antibiotik dan obat tidur.

Operasi itu sukses. Rogozov telah menyelamatkan hidupnya sendiri.

"Yang terpenting, dia merasa lega karena memiliki kesempatan lain untuk hidup," kata Vladislav.

Rogozov pulih dengan cepat. Hanya dua minggu setelah operasi, ia kembali bertugas seperti biasa.

Kisah Leonid Rogozov menjadi legenda. Ia diakui sebagai pahlawan oleh Uni Soviet dan dunia medis. Tindakannya yang berani dan penuh tekad menjadi inspirasi bagi banyak orang.

Kisah ini adalah bukti bahwa manusia mampu melakukan hal-hal luar biasa ketika dihadapkan pada situasi yang ekstrem. Ini adalah kisah tentang keberanian, ketahanan, dan kekuatan semangat manusia. Ini adalah kisah tentang seorang dokter yang mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, dan dalam prosesnya, menginspirasi dunia.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :