Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI), sebuah forum yang terdiri dari lebih dari 300 guru besar dari berbagai fakultas kedokteran di seluruh Indonesia, memberikan tanggapan terhadap rencana pemerintah untuk mendirikan 300 fakultas kedokteran (FK) baru sebagai respons terhadap isu "krisis dokter". MGBKI, yang dideklarasikan pada Jumat, 22 Agustus 2025, di Aula IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI), menekankan pentingnya kualitas dalam produksi dokter dan menyoroti masalah distribusi dokter yang belum merata sebagai isu yang perlu diatasi.
Ketua MGBKI, Prof. Budi Iman Santoso, menyatakan bahwa rencana pembukaan 300 FK merupakan tantangan besar, terutama dalam hal penyediaan tenaga pendidik yang berkualitas. Menurutnya, memastikan kualitas dokter sejak lulus hingga mendapatkan izin praktik adalah hal yang krusial. Prof. Budi menganalogikan pendirian FK dengan membangun rumah, yang membutuhkan fondasi yang kuat, termasuk standar input yang terpenuhi dan proses yang dijalankan dengan benar. Ia menekankan bahwa membangun 300 FK tidak hanya membutuhkan fasilitas, regulasi, dan sarana, tetapi juga waktu dan sumber daya yang signifikan.
MGBKI menyoroti bahwa kedokteran berhubungan dengan pelayanan manusia, sehingga standar dan kompetensi yang tidak sesuai dapat mengancam keselamatan pasien. Oleh karena itu, kualitas pendidikan dan pelatihan dokter harus menjadi prioritas utama. Selain itu, MGBKI juga menyoroti masalah distribusi dokter yang belum merata di seluruh Indonesia. Prof. Budi mencontohkan bahwa jumlah dokter spesialis obgyn yang ada saat ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional, namun masalahnya terletak pada distribusinya yang tidak merata.
Prof. Menaldi Rasmin, yang juga tergabung dalam MGBKI, menilai bahwa niat pemerintah untuk memperbanyak dokter spesialis relatif baik, namun perlu diiringi dengan tiga komitmen yang menjamin kesejahteraan dan sarana tenaga medis. Komitmen pertama adalah jaminan keamanan bagi dokter yang bertugas, terutama di daerah-daerah terpencil atau rawan konflik. Prof. Menaldi mencontohkan situasi di mana dokter yang bertugas di puskesmas di daerah tertentu merasa terancam oleh kelompok kriminal bersenjata, yang dapat menghambat upaya pemerataan distribusi dokter.
Komitmen kedua adalah jaminan kenyamanan dalam bekerja. Prof. Menaldi menyoroti bahwa banyak tenaga medis yang berpraktik di daerah masih terkendala oleh kurangnya alat dan sarana yang memadai, yang dapat menghambat pelayanan praktik. Ia memberikan contoh kasus korupsi obat kusta di Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana pasien harus menempuh perjalanan yang sulit untuk mendapatkan obat yang dibutuhkan. Situasi ini membuat dokter kesulitan untuk memastikan pasien dapat berobat secara teratur.
Komitmen ketiga adalah jaminan kesejahteraan dokter. Prof. Menaldi menekankan bahwa untuk memastikan dokter tidak mencari uang melalui pengobatan dan fokus pada pengabdian, mereka memerlukan jaminan kesejahteraan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarga. Ia menambahkan bahwa dokter tidak perlu menjadi miliarder atau diberikan mobil mewah, tetapi mereka perlu mendapatkan penghasilan yang cukup untuk hidup tenang dan menyekolahkan anak-anak mereka dengan baik.
MGBKI berpendapat bahwa jika tiga hal tersebut tidak terpenuhi, pembukaan 300 FK dapat menghasilkan masalah baru, seperti ribuan dokter tanpa kepastian pekerjaan dan jaminan menjadi pegawai. Banyak dokter yang mungkin akan terlunta-lunta karena tidak diterima di rumah sakit vertikal maupun swasta. Oleh karena itu, MGBKI mengingatkan pemerintah untuk tidak menyelesaikan masalah dengan menciptakan masalah baru.
Sebagai tambahan, MGBKI juga menekankan pentingnya peningkatan kualitas pendidikan kedokteran yang ada saat ini. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas kurikulum, fasilitas, dan tenaga pengajar di FK yang sudah ada. Selain itu, MGBKI juga mendorong pemerintah untuk meningkatkan pemerataan distribusi dokter dengan memberikan insentif yang menarik bagi dokter yang bersedia bertugas di daerah-daerah terpencil atau yang membutuhkan.
MGBKI juga menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap kebutuhan dokter di berbagai daerah di Indonesia. Evaluasi ini perlu mempertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah penduduk, tingkat kesehatan masyarakat, dan ketersediaan fasilitas kesehatan. Dengan demikian, pemerintah dapat membuat perencanaan yang lebih akurat dan efektif dalam memenuhi kebutuhan dokter di seluruh Indonesia.
Selain itu, MGBKI juga menekankan pentingnya kerjasama antara pemerintah, FK, dan organisasi profesi dokter dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan kedokteran di Indonesia. Kerjasama ini dapat dilakukan melalui berbagai program pelatihan, pengembangan kurikulum, dan penelitian bersama. Dengan kerjasama yang baik, diharapkan kualitas dokter di Indonesia dapat terus meningkat dan pelayanan kesehatan dapat diberikan secara merata kepada seluruh masyarakat.
MGBKI juga mengingatkan bahwa masalah kekurangan dokter tidak hanya dapat diatasi dengan meningkatkan jumlah FK. Pemerintah juga perlu memperhatikan faktor-faktor lain seperti peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, peningkatan kesejahteraan tenaga medis, dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Dengan mengatasi masalah-masalah ini secara komprehensif, diharapkan masalah kekurangan dokter dapat diatasi secara berkelanjutan.
MGBKI juga mendorong pemerintah untuk melibatkan para ahli dan praktisi kedokteran dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan kesehatan. Dengan melibatkan para ahli dan praktisi kedokteran, diharapkan kebijakan yang dihasilkan dapat lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, MGBKI juga siap memberikan masukan dan saran kepada pemerintah terkait kebijakan kesehatan yang akan diambil.
MGBKI berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan masukan dan saran yang diberikan dalam mengambil keputusan terkait rencana pembukaan 300 FK. MGBKI yakin bahwa dengan kerjasama yang baik antara pemerintah, FK, dan organisasi profesi dokter, masalah kekurangan dokter di Indonesia dapat diatasi secara efektif dan berkelanjutan. Dengan demikian, pelayanan kesehatan dapat diberikan secara merata kepada seluruh masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali.
Sebagai penutup, MGBKI menegaskan komitmennya untuk terus berkontribusi dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pelayanan kedokteran di Indonesia. MGBKI akan terus memberikan masukan dan saran kepada pemerintah terkait kebijakan kesehatan, serta berpartisipasi aktif dalam berbagai program pelatihan, pengembangan kurikulum, dan penelitian bersama. MGBKI berharap agar dapat menjadi mitra yang konstruktif bagi pemerintah dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera.