Jakarta Membara: Empat Hari Amarah dan Kekacauan
Jakarta, kota metropolitan yang biasanya berdenyut dengan hiruk pikuk bisnis dan kehidupan malam, berubah menjadi medan pertempuran selama empat hari terakhir bulan Agustus 2025. Gelombang demonstrasi besar-besaran yang dipicu oleh kematian seorang pengemudi ojek daring dan diperparah oleh isu kenaikan tunjangan anggota DPR RI, berujung pada kerusuhan, kekerasan aparat, dan penjarahan yang mengguncang fondasi kota.
Awal Mula: Kematian Affan dan Bara Kekecewaan
Semua bermula dari tragedi yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring berusia 21 tahun. Pada Kamis, 28 Agustus 2025, Affan tewas setelah ditabrak dan dilindas oleh kendaraan taktis Brimob saat melintas di tengah aksi demonstrasi di kawasan Bendungan Hilir. Kematian tragis Affan menjadi simbol ketidakadilan dan kekerasan aparat, menyulut kemarahan yang telah lama terpendam di kalangan masyarakat, terutama para pengemudi ojek daring.
Sebelum insiden tragis itu, ribuan buruh dari berbagai serikat pekerja seperti KSPI, Partai Buruh, dan Koalisi Serikat Pekerja telah turun ke jalan, memadati kawasan gedung DPR RI. Mereka menyuarakan tuntutan penghapusan outsourcing, penolakan upah murah, percepatan pembahasan RUU Ketenagakerjaan dan RUU Perampasan Aset, hingga revisi UU Pemilu. Aksi yang awalnya damai itu sempat diwarnai ketegangan ketika aparat mencegat sekelompok pelajar yang hendak bergabung dalam demonstrasi.
Menjelang siang, massa buruh mulai membubarkan diri, digantikan oleh mahasiswa yang mengenakan almamater dan mengibarkan spanduk tuntutan baru, termasuk pembubaran DPR dan penolakan tunjangan anggota Dewan yang dianggap fantastis. Suasana semakin memanas sekitar pukul 15.00 WIB, ketika polisi menembakkan meriam air ke arah kerumunan. Gas air mata pun menyusul, memicu kepanikan dan bentrokan antara massa dan aparat. Ketegangan terus berlanjut hingga malam hari, merambat ke Jalan Asia Afrika, jalan layang Pejompongan, hingga Penjernihan I.
Jumat Kelabu: Amarah Meluap di Jalanan
Keesokan harinya, Jumat, 29 Agustus, duka atas kematian Affan berubah menjadi amarah yang meluap di jalanan. Ribuan pengemudi ojek daring mengantarkan jenazah Affan ke tempat peristirahatan terakhir, sebuah aksi solidaritas yang menyentuh hati banyak orang. Namun, di saat yang sama, gelombang demonstrasi semakin membesar, melibatkan berbagai elemen masyarakat yang merasa geram dengan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Sejak sore, suasana di sekitar kompleks MPR/DPR kembali mencekam. Petasan dilemparkan ke arah gedung parlemen, hingga akhirnya gerbang kecil DPR RI jebol sekitar pukul 18.00 WIB. Gas air mata terus-menerus ditembakkan, membuat mata perih dan tenggorokan tercekat. Malam semakin larut, emosi massa semakin membara. Beberapa halte Transjakarta di kawasan Senen, Polda Metro Jaya, dan Senayan hangus terbakar. Stasiun MRT Istora Mandiri juga tak luput dari kerusakan. Akibatnya, layanan Transjakarta dihentikan total, sementara MRT terpaksa memangkas jalurnya hanya sampai Blok M.
Di Kwitang, ratusan demonstran mengepung markas Brimob, tempat kendaraan yang menabrak Affan bernaung. Batu, botol, dan petasan melayang, dibalas dengan gas air mata yang ditembakkan hampir tanpa jeda sejak pukul 14.50 WIB. Mobil-mobil polisi menjadi sasaran amuk massa, sebagian rusak parah di tengah kekacauan. Malam itu, Jakarta seperti kota yang tidak tidur, api menyala dan asap membubung ke langit gelap. Dari Senayan sampai Senen, dari gedung DPRD hingga Polda Metro Jaya, bara amarah warga menandai hari yang panjang dan penuh kekerasan.
Sabtu yang Mencekam: Penjarahan dan Sasaran Amuk Baru
Belum reda amarah Jumat malam, Sabtu dini hari, amuk massa berlanjut di Polres Jakarta Timur. Molotov dilemparkan ke area parkir, melahap dua truk Dalmas, sebuah ambulans, satu mobil pikap, satu minibus Elf, hingga dua double cabin. Untungnya, kobaran api tidak sempat menjalar ke gedung utama.
Pagi hingga siang hari, situasi relatif lebih tenang. Polisi dan warga sama-sama kelelahan setelah semalaman berjibaku dengan api dan gas air mata. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Menjelang sore, kabar tentang anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Ahmad Sahroni, yang disebut-sebut kabur ke luar negeri menyulut emosi baru. Kediaman Sahroni di Jakarta Utara pun menjadi sasaran amuk massa. Massa menyerbu rumahnya, menjarah isi dalamnya.
Tak lama kemudian, rumah Eko Patrio di Jakarta Timur menyusul bernasib sama. Malam harinya, sekitar pukul 21.55 WIB, massa kembali merangsek dan merusak rumah artis sekaligus anggota DPR RI dari Fraksi PAN, Surya Utama alias Uya Kuya. Penjarahan rumah-rumah anggota DPR RI ini menandai eskalasi baru dalam kerusuhan, menunjukkan bahwa amarah massa tidak hanya ditujukan kepada aparat, tetapi juga kepada para elite politik yang dianggap tidak peduli terhadap penderitaan rakyat.
Minggu yang Suram: Refleksi dan Janji Pemerintah
Jakarta menyisakan jejak yang mengerikan pada Minggu pagi. Jalanan berserakan pecahan kaca, halte terbakar, rumah-rumah politikus porak-poranda. Di balik semua itu, rasa kehilangan dan marah bercampur meluas ke berbagai daerah. Kerusuhan Jakarta tidak hanya menjadi tragedi lokal, tetapi juga menjadi perhatian nasional dan internasional.
Presiden Prabowo Subianto akhirnya menyampaikan pernyataan resmi di Istana Negara pada Minggu, 31 Agustus 2025, setelah memanggil pemimpin lembaga tinggi negara dan ketua partai politik. Dia menegaskan bahwa pemerintah menghormati kebebasan berpendapat sebagai hak yang dijamin konstitusi dan hukum internasional.
"Negara menghormati dan terbuka terhadap kebebasan penyampaian pendapat dan aspirasi yang murni dari masyarakat," ujar Prabowo.
Namun, ia juga menekankan batasan tegas atas aksi dengan kekerasan. "Jika dalam pelaksanaannya terdapat kegiatan-kegiatan yang bersifat anarkis, destabilisasi negara, merusak atau membakar fasilitas umum sampai adanya korban jiwa, mengancam dan menjarah rumah-rumah dan instansi-instansi publik maupun rumah-rumah pribadi, hal itu merupakan pelanggaran hukum dan negara wajib hadir dan melindungi rakyatnya," katanya.
Analisis dan Perspektif
Kerusuhan empat hari di Jakarta merupakan puncak dari akumulasi berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik yang telah lama membelit masyarakat. Kematian Affan Kurniawan hanyalah katalis yang memicu ledakan amarah yang telah lama dipendam.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Mohamad Syafi’ Alielha atau Savic Ali, menekankan pentingnya sikap hati-hati dari pemerintah maupun DPR RI dalam merespons situasi yang memanas. Menurutnya, elite politik seharusnya tidak lagi mengeluarkan pernyataan yang terkesan arogan atau mengancam, karena hal itu justru berpotensi memperuncing kemarahan publik.
"Pihak pemerintah maupun DPR harus bisa bersikap yang tepat ya dalam situasi sekarang. Nah, tidak ada lagi statement-statement yang arogan atau kesannya mengancam gitu. Karena itu hanya yang akan membuat publik lebih marah. Kedua, tentu saja bahwa pihak-pihak yang selama ini dituntut untuk berubah harus berubah," ujar Savic.
Savic juga mengingatkan bahwa demonstrasi seharusnya tetap berada dalam koridor perjuangan politik yang sehat, bukan justru terjebak dalam aksi kekerasan yang kontraproduktif. Ia menggarisbawahi bahwa praktik penjarahan atau pembakaran tidak hanya lahir dari ledakan emosional, tetapi juga bisa menjadi bagian dari skenario pihak-pihak tertentu yang ingin melemahkan gerakan.
"Berdasar pengalaman ’98 saya, tindakan-tindakan pembakaran atau penjarahan itu satu. Biasanya memang bisa terjadi karena emosional, karena kemarahan lapangan, gitu ya. Karena sudah berkali-kali menjadi korban, tetapi juga tindakan pembakaran-penjarahan itu juga bisa dilakukan oleh kelompok yang memang terorganisir, yang menyiapkan diri. Yang niatnya menggembosi gerakan," tandasnya.
Mencari Jalan Keluar
Kerusuhan Jakarta menjadi pelajaran pahit bagi semua pihak. Pemerintah harus lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat, terutama dalam hal penegakan hukum dan keadilan. Aparat keamanan harus lebih profesional dan menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan. Elite politik harus lebih rendah hati dan peduli terhadap penderitaan rakyat.
Masyarakat juga harus belajar untuk menyampaikan aspirasi secara damai dan konstruktif, tanpa melakukan tindakan anarkis yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Semua pihak harus bersatu padu untuk membangun Jakarta dan Indonesia yang lebih adil, makmur, dan sejahtera. Luka akibat kerusuhan ini akan membekas lama, tetapi semangat untuk bangkit dan membangun kembali harus terus menyala. Jakarta harus belajar dari tragedi ini dan bangkit menjadi kota yang lebih baik.