Memahami Istilah Performative Femininity, Apakah Sama Dengan Performative Male?

  • Maskobus
  • Sep 11, 2025

Istilah "performative femininity" dan "performative male" tengah menjadi perbincangan hangat di media sosial. Keduanya mengacu pada perilaku yang ditampilkan, bukan atas dasar preferensi pribadi, melainkan untuk memenuhi ekspektasi sosial atau menarik perhatian lawan jenis. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan performative femininity? Dan bagaimana konsep ini berhubungan dengan performative male?

Memahami Performative Femininity

Performative femininity secara sederhana dapat diartikan sebagai perilaku feminin yang dilakukan secara sadar dan berlebihan oleh perempuan. Tujuannya bukan karena perempuan tersebut menyukai atau merasa nyaman dengan perilaku tersebut, tetapi lebih karena adanya tekanan sosial atau keinginan untuk menarik perhatian laki-laki. Perilaku ini seringkali didasarkan pada stereotip dan ekspektasi masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan bertindak dan berpenampilan.

Contohnya, seorang perempuan mungkin selalu berusaha untuk tampil anggun dan lemah lembut, meskipun sebenarnya ia memiliki karakter yang kuat dan tegas. Ia mungkin selalu mengenakan pakaian yang dianggap feminin, seperti gaun atau rok, meskipun ia lebih nyaman mengenakan celana. Ia mungkin selalu tersenyum dan berbicara dengan nada yang manis, meskipun ia sedang merasa kesal atau marah. Semua perilaku ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi ekspektasi masyarakat dan agar dianggap "layak" sebagai seorang perempuan.

Memahami Istilah Performative Femininity, Apakah Sama Dengan Performative Male?

Asal-Usul Konsep Performatif

Konsep performatif sendiri pertama kali diperkenalkan oleh filsuf Inggris, J.L. Austin, pada tahun 1950-an. Dalam teorinya tentang tindak tutur, Austin menjelaskan bahwa ada jenis ucapan yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga melakukan suatu aksi. Contohnya, ketika seseorang mengucapkan janji pernikahan, ucapan tersebut tidak hanya menyampaikan niat untuk menikah, tetapi juga secara langsung menciptakan ikatan pernikahan.

Konsep ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Judith Butler, seorang filsuf dan ahli teori gender asal Amerika Serikat. Dalam bukunya yang berjudul "Gender Trouble" (1990), Butler menyatakan bahwa gender bukanlah sesuatu yang melekat pada diri seseorang sejak lahir, melainkan sesuatu yang dibentuk melalui tindakan dan perilaku yang dilakukan berulang-ulang. Menurut Butler, gender bersifat performatif, artinya identitas gender kita dibentuk dan dikukuhkan melalui tindakan yang kita lakukan secara konsisten.

Peran Norma Sosial dan Budaya

Norma sosial dan budaya memainkan peran penting dalam membentuk performative femininity. Masyarakat seringkali memiliki ekspektasi yang ketat tentang bagaimana seharusnya perempuan bertindak dan berpenampilan. Perempuan yang tidak memenuhi ekspektasi ini seringkali dianggap "tidak feminin" atau bahkan dicemooh. Akibatnya, banyak perempuan merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma ini, meskipun mereka tidak merasa nyaman atau sesuai dengan jati diri mereka.

Media juga turut berperan dalam melanggengkan performative femininity. Iklan, film, dan acara televisi seringkali menampilkan perempuan yang ideal sebagai perempuan yang cantik, lemah lembut, dan selalu berusaha untuk menyenangkan laki-laki. Hal ini dapat menciptakan tekanan bagi perempuan untuk meniru perilaku dan penampilan yang ditampilkan di media, meskipun mereka tidak merasa nyaman atau sesuai dengan jati diri mereka.

Dampak Negatif Performative Femininity

Performativity femininity dapat memiliki dampak negatif bagi perempuan. Pertama, hal ini dapat menyebabkan perempuan merasa tidak autentik dan tidak jujur pada diri sendiri. Ketika seorang perempuan selalu berusaha untuk memenuhi ekspektasi masyarakat, ia mungkin kehilangan kontak dengan jati dirinya yang sebenarnya. Ia mungkin merasa tidak bebas untuk mengekspresikan diri secara apa adanya, karena takut akan dinilai atau dicemooh.

Kedua, performative femininity dapat memperkuat stereotip gender yang berbahaya. Ketika perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang lemah lembut dan penurut, hal ini dapat memperkuat anggapan bahwa perempuan memang seharusnya seperti itu. Hal ini dapat menghambat kemajuan perempuan dalam berbagai bidang, karena mereka tidak dianggap mampu untuk memegang posisi penting atau mengambil keputusan yang sulit.

Ketiga, performative femininity dapat menyebabkan perempuan merasa tidak aman dan tidak berdaya. Ketika seorang perempuan selalu berusaha untuk menyenangkan laki-laki, ia mungkin merasa bahwa nilai dirinya hanya bergantung pada bagaimana ia dinilai oleh laki-laki. Hal ini dapat membuatnya merasa tidak aman dan tidak berdaya, karena ia selalu membutuhkan validasi dari orang lain.

Hubungan dengan Performative Male

Performative male memiliki konsep yang serupa dengan performative femininity, tetapi diterapkan pada laki-laki. Performative male mengacu pada perilaku maskulin yang dilakukan secara sadar dan berlebihan oleh laki-laki. Tujuannya bukan karena laki-laki tersebut menyukai atau merasa nyaman dengan perilaku tersebut, tetapi lebih karena adanya tekanan sosial atau keinginan untuk menarik perhatian perempuan.

Contohnya, seorang laki-laki mungkin selalu berusaha untuk tampil kuat dan dominan, meskipun sebenarnya ia memiliki sisi yang lembut dan sensitif. Ia mungkin selalu mengenakan pakaian yang dianggap maskulin, seperti jaket kulit atau celana jeans, meskipun ia lebih nyaman mengenakan pakaian yang lebih santai. Ia mungkin selalu berbicara dengan nada yang kasar dan tegas, meskipun ia sedang merasa sedih atau takut. Semua perilaku ini dilakukan semata-mata untuk memenuhi ekspektasi masyarakat dan agar dianggap "macho" atau "jantan".

Performatif Soft Boy

Fenomena "performatif soft boy" menjadi contoh yang relevan dalam konteks ini. Istilah ini merujuk pada laki-laki yang menampilkan minat palsu pada hal-hal yang dianggap menarik bagi perempuan, seperti membaca buku feminis, menikmati seni, atau minum matcha latte, dengan tujuan untuk menarik perhatian mereka. Perilaku ini mencerminkan upaya untuk memenuhi ekspektasi tertentu tentang apa yang dianggap menarik atau ideal oleh perempuan, alih-alih didasarkan pada minat dan preferensi pribadi yang sebenarnya.

Kesamaan dan Perbedaan

Baik performative femininity maupun performative male memiliki kesamaan dalam hal keduanya merupakan perilaku yang dilakukan untuk memenuhi ekspektasi sosial atau menarik perhatian lawan jenis, bukan karena keinginan pribadi. Keduanya juga dapat memiliki dampak negatif bagi individu yang melakukannya, seperti merasa tidak autentik, memperkuat stereotip gender, dan merasa tidak aman.

Perbedaan utama antara keduanya terletak pada fokusnya. Performatif femininity berfokus pada perilaku yang dianggap feminin, sedangkan performative male berfokus pada perilaku yang dianggap maskulin. Selain itu, performative femininity seringkali dikaitkan dengan tekanan sosial yang lebih besar, karena perempuan seringkali diharapkan untuk selalu memenuhi ekspektasi masyarakat tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak dan berpenampilan.

Menuju Kebebasan Ekspresi

Penting untuk diingat bahwa tidak semua perilaku yang terlihat feminin atau maskulin adalah performatif. Ada perempuan yang memang menyukai makeup dan gaun, dan ada laki-laki yang memang menyukai olahraga dan otomotif. Perilaku menjadi performatif ketika tujuannya adalah untuk memenuhi ekspektasi sosial atau menarik perhatian lawan jenis, bukan karena keinginan pribadi.

Untuk menghindari terjebak dalam performative femininity atau performative male, penting untuk mengenali dan menghargai jati diri sendiri. Jangan biarkan tekanan sosial atau ekspektasi orang lain memengaruhi cara kita bertindak dan berpenampilan. Bebaskan diri untuk mengekspresikan diri secara apa adanya, tanpa takut akan dinilai atau dicemooh.

Selain itu, penting juga untuk menantang stereotip gender yang berbahaya. Jangan biarkan stereotip gender membatasi potensi dan kesempatan kita. Dukung kesetaraan gender dan berikan kesempatan yang sama bagi semua orang, tanpa memandang jenis kelamin.

Dengan menghargai jati diri sendiri dan menantang stereotip gender, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil, di mana setiap orang bebas untuk mengekspresikan diri secara apa adanya, tanpa takut akan dinilai atau dicemooh.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :