Gelombang demonstrasi yang berujung pada insiden tragis tewasnya seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, akibat terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob Polri di Jalan Penjernihan, Penjompongan, Jakarta Pusat, pada Kamis malam, 28 Agustus 2025, telah memicu seruan keras agar Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengundurkan diri dari jabatannya. Desakan ini datang dari 213 organisasi sipil yang menilai Kapolri gagal mengubah watak represif kepolisian. Koalisi organisasi masyarakat sipil juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan evaluasi dan reformasi menyeluruh terhadap institusi Polri (Tempo, 29 Agustus 2025).
Menanggapi permintaan pencopotan dirinya, Kapolri menyatakan bahwa hal tersebut merupakan hak prerogatif Presiden Prabowo Subianto. Ia menegaskan bahwa sebagai seorang prajurit, dirinya siap menerima segala keputusan yang diambil oleh presiden (Tempo, 30 Agustus 2025). Sementara itu, Perwira Brimob Kompol Cosmas K Gae, yang berada di dalam rantis yang menindas Affan Kurniawan, telah dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Dalam situasi yang penuh tekanan ini, Jenderal Listyo Sigit Prabowo diharapkan dapat meneladani sikap kesatria Jenderal Soemitro, yang mundur dari jabatannya meski Presiden Soeharto masih memberikan kepercayaan kepadanya. Jenderal Soemitro memilih untuk tidak membebani Presiden Soeharto, tidak mengorbankan, dan tidak melimpahkan kesalahan kepada bawahan. Keputusan Jenderal Soemitro untuk mengundurkan diri mencerminkan tanggung jawab moral yang tinggi dan komitmen untuk menjaga stabilitas negara.
Jenderal Soemitro adalah sosok penting dalam sejarah militer Indonesia. Ia dikenal sebagai seorang perwira yang cerdas, tegas, dan memiliki integritas yang tinggi. Kariernya di militer terbilang cemerlang, pernah menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), sebuah posisi yang sangat strategis pada masa Orde Baru.
Namun, puncak karier Jenderal Soemitro harus berakhir lebih cepat dari yang diperkirakan. Pada tahun 1974, terjadi peristiwa demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan sebutan Malapetaka 15 Januari (Malari). Demonstrasi ini dipicu oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan ekonomi pemerintah yang dianggap terlalu pro-asing dan korupsi yang merajalela.
Sebagai Pangkopkamtib, Jenderal Soemitro bertanggung jawab untuk mengendalikan situasi keamanan. Namun, demonstrasi Malari berubah menjadi kerusuhan yang meluas dan sulit dikendalikan. Banyak toko dan bangunan yang dijarah dan dibakar. Situasi semakin memburuk ketika terjadi bentrokan antara demonstran dengan aparat keamanan.
Setelah peristiwa Malari, Jenderal Soemitro merasa bertanggung jawab atas kegagalan dalam mengendalikan situasi. Ia kemudian mengajukan pengunduran diri kepada Presiden Soeharto. Meskipun Presiden Soeharto masih memberikan kepercayaan kepadanya, Jenderal Soemitro tetap bersikukuh untuk mengundurkan diri.
Keputusan Jenderal Soemitro untuk mengundurkan diri merupakan sebuah langkah yang sangat berani dan tidak lazim pada masa itu. Di tengah budaya politik yang cenderung mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, Jenderal Soemitro justru memilih untuk mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral atas kegagalan yang terjadi.
Selepas mengundurkan diri dari jabatan, Jenderal Soemitro diminta oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Duta Besar di Amerika Serikat. Namun, Jenderal Soemitro menolak tawaran tersebut. Ia memilih untuk pensiun dalam usia yang tergolong muda, yaitu 49 tahun.
Meskipun tidak lagi berada dalam lingkaran kekuasaan, Jenderal Soemitro tetap setia dan loyal kepada Presiden Soeharto. Sampai akhir hayatnya pada tahun 1998, Jenderal Soemitro hanya memasang foto Presiden Soeharto di ruang kerjanya, tanpa foto Wakil Presiden. Hal ini menunjukkan bahwa Jenderal Soemitro adalah sosok yang sangat menghormati dan menghargai pemimpinnya.
Sikap Jenderal Soemitro yang mengundurkan diri dari jabatan sebagai bentuk tanggung jawab moral atas kegagalan yang terjadi merupakan sebuah teladan yang sangat berharga bagi para pemimpin di Indonesia. Dalam situasi krisis atau kegagalan, seorang pemimpin yang bertanggung jawab tidak akan mencari kambing hitam atau melimpahkan kesalahan kepada bawahan. Sebaliknya, ia akan berani mengakui kesalahan dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki situasi, termasuk mengundurkan diri dari jabatan jika memang diperlukan.
Keputusan Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam menghadapi tekanan publik saat ini akan menjadi ujian penting bagi kepemimpinannya. Apakah ia akan meneladani sikap kesatria Jenderal Soemitro dengan mengundurkan diri dari jabatan, ataukah ia akan memilih untuk bertahan dan mempertahankan kekuasaannya? Waktu akan menjawabnya.
Namun, terlepas dari keputusan yang akan diambil oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo, penting untuk diingat bahwa jabatan bukanlah segalanya. Lebih penting dari itu adalah integritas, tanggung jawab moral, dan komitmen untuk melayani kepentingan rakyat dan negara. Seorang pemimpin yang memiliki integritas dan tanggung jawab moral akan selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan.
Dalam konteks insiden tewasnya Affan Kurniawan, penting untuk dilakukan investigasi yang transparan dan akuntabel untuk mengungkap fakta yang sebenarnya. Jika terbukti ada pelanggaran hukum atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat kepolisian, maka pelaku harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, perlu dilakukan evaluasi dan reformasi menyeluruh terhadap institusi Polri untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di masa depan.
Reformasi Polri harus mencakup berbagai aspek, mulai dari peningkatan kualitas sumber daya manusia, perubahan budaya organisasi, peningkatan profesionalisme, hingga peningkatan pengawasan dan akuntabilitas. Polri harus menjadi institusi yang profesional, modern, danHumanis, yang mampu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Selain itu, penting juga untuk membangun komunikasi yang baik antara Polri dengan masyarakat. Polri harus mampu mendengarkan aspirasi dan keluhan masyarakat, serta meresponsnya dengan cepat dan tepat. Dengan membangun komunikasi yang baik, Polri dapat memperoleh dukungan dan kepercayaan dari masyarakat, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antara Polri dengan masyarakat.
Dalam menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang kompleks, Polri membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan media massa. Pemerintah harus memberikan dukungan anggaran dan kebijakan yang memadai untuk meningkatkan kinerja Polri. Masyarakat harus memberikan masukan dan kritik yang membangun untuk memperbaiki kinerja Polri. Media massa harus memberitakan informasi yang akurat dan berimbang tentang kinerja Polri.
Dengan dukungan dari semua pihak, Polri diharapkan dapat menjadi institusi yang profesional, modern, danHumanis, yang mampu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta melindungi hak-hak asasi manusia. Polri harus menjadi kebanggaan bangsa dan negara, bukan menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat.
Kasus Jenderal Soemitro menjadi pengingat bahwa kekuasaan bukanlah tujuan utama, melainkan amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Ketika amanah itu tidak dapat dijalankan dengan baik, atau bahkan justru merugikan kepentingan rakyat dan negara, maka seorang pemimpin yang bertanggung jawab harus berani mengundurkan diri. Sikap inilah yang patut diteladani oleh para pemimpin di Indonesia, termasuk Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Situasi yang dihadapi Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat ini memang tidak mudah. Namun, dengan meneladani sikap kesatria Jenderal Soemitro, ia dapat menunjukkan kepada publik bahwa ia adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab dan memiliki integritas yang tinggi. Keputusan yang akan diambil oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan menjadi penentu bagi masa depan Polri dan citra kepolisian di mata masyarakat.
Semoga Jenderal Listyo Sigit Prabowo dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi kepentingan rakyat dan negara.