Menemukan Titik Tengah: Alternatif Penyelesaian Persoalan Hukum tentang Royalti Hak Cipta

  • Maskobus
  • Sep 10, 2025

Isu royalti hak cipta, sebagai hak eksklusif dan ekonomi pencipta, belakangan ini menghangat dalam industri musik dan lagu. Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 (UUHC 2014) menjadi sorotan, dengan beberapa pihak menganggap norma-normanya justru memicu konflik hukum. Beberapa usulan bahkan menyerukan amandemen undang-undang ini, sementara pencipta merasa dirugikan oleh pengaturan royalti yang ada.

Perdebatan utama berpusat pada Pasal 9 ayat (2) dan (3) UUHC 2014, yang mengatur tentang izin pencipta, dan Pasal 23 ayat (5), yang memungkinkan penggunaan komersial ciptaan tanpa izin langsung, asalkan imbalan dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Interpretasi yang berbeda atas kedua pasal ini memicu dialektika di masyarakat. Ada yang menganggap Pasal 9 mewajibkan izin pencipta, sementara Pasal 23 membolehkan penggunaan komersial tanpa izin, asalkan ada pembayaran royalti.

Pergeseran persoalan kemudian terjadi, dengan fokus pada kerugian pencipta akibat tafsir kedua pasal tersebut. Meskipun ada kewajiban pembayaran royalti, pencipta merasa dirugikan.

Problematika Royalti Hak Cipta: Lebih dari Sekadar Undang-Undang

Menemukan Titik Tengah: Alternatif Penyelesaian Persoalan Hukum tentang Royalti Hak Cipta

Sengketa royalti ini berujung di pengadilan, seperti kasus antara Ari Bias dan Agnes Monica. Putusan Mahkamah Agung pun belum mengakhiri persoalan. Fokus kemudian beralih ke LMK dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang dianggap tidak transparan dalam mengelola dan mendistribusikan royalti. Pencipta merasa menerima royalti yang tidak sepadan.

Persoalan terus berkembang, melibatkan seniman (pencipta dan penyanyi) dengan perbedaan pendapat, bahkan berujung pada uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para stakeholder. Pengguna karya cipta, seperti Perkumpulan Hotel dan Restoran seluruh Indonesia (termasuk coffee shop) dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional (PRSSNI), turut merasakan dampaknya.

Tuntutan pembayaran royalti, seperti yang dialami restoran Mie Gacoan, memicu kekhawatiran. Pertanyaan mendasar pun muncul: Apa sebenarnya akar permasalahan hukum dalam UUHC 2014 terkait royalti? Apa substansi persoalan yang menyebabkan dialektika yang seolah tak berujung ini?

Analisis Regulasi: Mencari Kejelasan dalam UUHC 2014

UUHC 2014, sebagai hukum publik, pada dasarnya tidak menimbulkan konflik. Namun, ketidakjelasan atau ketidaksinronan pasal, seperti Pasal 9 dan Pasal 23 juncto Pasal 89 ayat (4), perlu dicermati.

Pasal 89 ayat (4) mengatur tentang "pedoman penetapan besaran Royalti" yang disahkan oleh Menteri. Namun, pedoman ini muncul dalam bentuk Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, bukan dalam bentuk peraturan yang lebih kuat. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah UUHC 2014 perlu diubah secara keseluruhan, atau cukup dengan memperbaiki Surat Keputusan Menteri tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (PP 56/2021) juga menjadi sorotan. PP ini memperkenalkan LMKN sebagai "lembaga bantu pemerintah nonAPBN", yang menimbulkan perdebatan karena tidak dikenal dalam sistem perundang-undangan Indonesia.

Sebenarnya, Pasal 9 dan Pasal 23 UUHC 2014 tidak bertentangan jika dipahami dengan cermat. Pasal 9 berlaku untuk karya cipta secara umum, yang diatur dalam BAB II tentang HAK CIPTA, khususnya Hak Ekonomi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Sementara itu, Pasal 23 diatur dalam BAB III tentang HAK TERKAIT, khususnya Hak Ekonomi Pelaku Pertunjukan. Dengan kata lain, Pasal 9 mengatur hak cipta secara umum (tidak hanya musik dan lagu), sedangkan Pasal 23 khusus mengatur hak ekonomi pelaku pertunjukan.

PP 56/2021 diturunkan lagi ke Peraturan Menteri. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 36 Tahun 2018 dan Nomor 9 Tahun 2022 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Peraturan Menteri Hukum yang kini berlaku adalah Peraturan Menteri Hukum Nomor 27 Tahun 2025 tentang Peraturan Pelaksanaan PP 56/2021. Upaya hukum dapat ditempuh jika ada masalah, tanpa harus mengubah UUHC 2014.

Besaran royalti yang seharusnya diterima pencipta harus terukur. Kontrak menjadi penting sebagai dasar pembuktian, penentuan kewajiban pajak, dan penentuan besaran royalti. Pencipta harus membuktikan dan menentukan kerugian yang nyata jika terjadi sengketa. Praktik peradilan di Indonesia mengharuskan tuntutan kerugian disertai pembuktian dan perincian yang jelas.

Analisis Substantif: Menemukan Akar Masalah Royalti Hak Cipta

Dialektika yang berawal dari perbedaan tafsir UUHC dan peraturan teknis, bergeser menjadi persoalan royalti: siapa yang wajib membayar dan berapa besarannya. Hal-hal teknis, seperti pemberian lisensi melalui LMKN atau direct licensing, dan pencipta yang terdiri dari beberapa orang, turut diperdebatkan.

Masyarakat seringkali hanya membaca teks peraturan perundang-undangan. Padahal, penstudi hukum memahami bahwa peraturan harus dibaca secara kontekstual, dengan penafsiran hukum yang sesuai prosedur dan mekanisme yang ada.

Hubungan hukum antara pencipta lagu dan pengguna merupakan pengalihan hak keperdataan (hukum privat). Pencipta mengalihkan hak atas karya ciptanya kepada pengguna melalui mekanisme lisensi (Pasal 5 ayat 3 juncto Pasal 16 UUHC 2014), dengan imbalan (royalti). Besaran royalti berdasarkan kesepakatan para pihak, seperti jual-beli barang atau jasa. Besaran royalti berbeda tergantung pada penggunaan karya cipta (personal, pelaku pertunjukan, badan hukum), dan popularitas pencipta.

Besaran royalti sebenarnya ditentukan oleh LMK/LMKN (Pasal 89 ayat 4 UUHC 2014), bukan pemerintah. Karena LMK/LMKN bukan institusi pemerintah, besaran royalti seharusnya ditentukan oleh pencipta dan pengguna. Hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan hukum kontraktual (hukum privat), meskipun pengguna karya cipta adalah pemerintah.

Hukum perdata memberikan batasan yang jelas: harta kekayaan yang dapat dialihkan untuk hak cipta adalah hak ekonomi pencipta. Prinsip objek hak cipta/hak ekonomi sebagai hak kebendaan immateril (Buku II KUH Perdata) dan prinsip besaran royalty yang tunduk pada asas-asas Hukum Perikatan (Buku III KUH Perdata), dapat dijadikan acuan dalam pengalihan hak cipta/hak ekonomi.

Tujuannya adalah menghindari miss persepsi dan kegaduhan di masyarakat. Besaran royalti harus proporsional, tidak sama rata untuk semua pengguna, karena tiap pengguna memiliki kondisi yang berbeda. Besaran royalti tidak mungkin digeneralisir atau distandarisasi karena perbedaan variabel.

Popularitas lagu dan/atau musik yang digunakan pengguna juga perlu diperhatikan. Lagu populer tidak mungkin disamakan royaltinya dengan lagu yang belum populer. Penggunaan lagu untuk pertunjukan live show juga mempengaruhi besaran royalti. Hal-hal ini perlu diperinci secara detail.

Banyak cara melakukan pengalihan Hak Cipta (Pasal 5 ayat 2 dan 4 untuk hak moral, Pasal 16 untuk hak ekonomi). Pencipta bisa seseorang atau beberapa orang, yang menghasilkan karya cipta bersama. Hal ini tidak menjadi masalah, karena kontrak dapat dilakukan oleh pimpinan dari pencipta yang terdiri dari beberapa orang.

PERMENKUM No.27/2025 mengatur tentang Penarikan Royalti (Pasal 19), layanan publik komersial dalam bentuk analog (Pasal 21), dan layanan digital (Pasal 22). PERMENKUM No.27/2025 juga mengatur pedoman penetapan besaran royalti yang ditetapkan oleh LMK/LMKN dan disahkan oleh Menteri.

Ketentuan terkait pedoman penetapan besaran royalti ini sama seperti Pasal 89 ayat 4 UUHC 2014, yang masih menggunakan Keputusan yang disusun oleh LMKN (Keputusan LMKN No.20160511T/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016), yang telah ditetapkan melalui Surat Keputusan (seharusnya Pengesahan) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MENKUMHAM) Nomor HKI.2OT.03.01-02 Tahun 2016.

Dua belas Keputusan LMKN tersebut menyatakan bahwa "besaran tarif royalti sebagaimana terlampir dalam keputusan ini akan dilakukan evaluasi minimal setiap 1 (satu) tahun sekali." Persoalannya, apakah Keputusan LMKN dapat mengikat langsung rakyat Indonesia? Dapatkah peraturan yang dibuat oleh lembaga bentukan kelompok masyarakat tanpa melibatkan legislatif mengikat langsung penduduk? Hal inilah yang menimbulkan dialektika dan kegaduhan di masyarakat, bahkan sampai ke Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dinamika ini mempengaruhi industri musik, kontrak dengan pencipta musik, dan ketakutan penyanyi untuk membawakan lagu ciptaan orang lain. Pelaku usaha yang menggunakan karya cipta si pencipta juga terpengaruh. Padahal, pencipta akan rugi jika musiknya tidak diperdengarkan di masyarakat. Kegiatan bisnis dan perekonomian nasional juga akan terpengaruh. Perbincangan ini belum sampai merambah ke hak terkait (neighboring right) yang melibatkan hak atas tampilan artis/pelaku pertunjukan, hak lembaga penyiaran dan hak produser rekaman suara.

Penutup: Menemukan Jalan Tengah dalam Persoalan Royalti

Dari aspek Undang Undang (UUHC 2014), tidak terlalu urgent untuk dilakukan perubahan. Perlu dipertegas kedudukan antara LMK dan LMKN, termasuk pengertian dan kedudukan LMKN yang merupakan lembaga bantu pemerintah nonAPBN, karena cukup membingungkan bila dibandingkan kepada sistem ketatanegaraan maupun sistem administrasi negara di Indonesia. Termasuk adanya penemuan tarif royalti secara sepihak oleh LMKN, tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu, setidaknya dengan pengguna dan stakeholder lainnya.

Perdebatan teknis, seperti penyanyi harus menghubungi pencipta lagu sebelum menyanyikan lagu pencipta, bukanlah masalah substansial. Teknologi memungkinkan pembuatan kontrak digital untuk menentukan besaran royalti dan teknis pembayaran. Setiap artis penyanyi sudah memiliki manajemen artisnya masing-masing.

Yang dibutuhkan adalah penyusunan data tentang informasi manajemen atau Copyright Management Information (CMI) dan Informasi Elektronik Hak Cipta (Pasal 6 UUHC 2014), atau Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik (SILM) yang dibangun oleh LMKN, untuk memudahkan inventarisasi lagu dan/atau musik yang setiap tahun atau bulan akan berubah, dan untuk kemudian disosialisasikan ke masyarakat.

Ketimpangan penghasilan antara pencipta lagu, artis penyanyi, industri musik, Lembaga Penyiaran, dan pelaku pertunjukan, perlu diperhatikan. Namun, hal ini dapat diatasi dengan kesepakatan para pihak melalui kontrak yang prinsipnya tinduk pada asas-asas hukum perikatan yang diatur dalam KUH Perdata.

Perlu dicermati adanya kesan dominasi LMKN yang memonopoli tugas pengelolaan royalti, yang sebenarnya menyalahi prinsip-prinsip hukum benda yang diatur dalam BUKU II KUH Perdata. LMKN bukanlah lembaga publik yang mewakili negara (pemerintah). Namun, peran LMKN tetap diperlukan sebagai pengawas, hakim/juri bilamana terjadi pelanggaran etika, dan jembatan penghubung antara pencipta dan para penggunanya.

Rekomendasi: Prioritaskan Solusi Cepat dan Efektif

Belum begitu mendesak untuk dilakukan perubahan terhadap UUHC 2014. Indonesia sedang menghadapi ujian besar terkait timbulnya demonstrasi yang membutuhkan energi bangsa dan negara baik moril maupun materil untuk memperbaikinya. Mengubah UUHC 2014 memerlukan waktu yang tidak pendek.

Permasalahan terkait royalti dapat diselesaikan melalui perubahan-perubahan regulasi pada tataran teknis, atau dengan menggunakan ketentuan normatif dan asas-asas hukum yang yang terkandung dalam BUKU II KUH Perdata (Hukum Benda) dan BUKU III KUH Perdata (Hukum Perikatan). Selain tidak memerlukan waktu panjang untuk menyusunnya, juga dapat segera diimplementasikan untuk menjawab berbagai sengketa yang muncul. Tentu saja perlu dilakukan sosialisasikan terlebih dahulu kepada seluruh masyarakat agar tidak terjadi kegaduhan baru.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :