Menyoal Risiko Migrasi BPA pada Galon Isi Ulang dan Kaitannya dengan Kanker

  • Maskobus
  • Aug 26, 2025

Pemakaian galon isi ulang sebagai sumber air minum masih menjadi pilihan banyak masyarakat Indonesia karena kemudahannya dan harga yang relatif terjangkau. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 34 persen rumah tangga di Indonesia mengandalkan air isi ulang sebagai sumber utama air minum, menjadikannya pilihan populer di berbagai lapisan masyarakat. Namun, di balik kemudahan dan kepraktisan ini, muncul kekhawatiran yang semakin meningkat soal risiko kesehatan jangka panjang, terutama terkait potensi migrasi zat kimia berbahaya dari wadah plastik ke dalam air minum yang dikonsumsi sehari-hari. Kekhawatiran ini berpusat pada Bisphenol A (BPA), sebuah senyawa kimia yang umum digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat, bahan yang sering digunakan untuk galon isi ulang.

Bisphenol A (BPA) adalah senyawa kimia industri yang digunakan dalam produksi berbagai macam produk plastik, termasuk botol air, wadah makanan, dan resin epoksi yang melapisi kaleng makanan dan minuman. Kehadiran BPA dalam galon isi ulang telah menimbulkan pertanyaan serius tentang keamanan air minum yang dikonsumsi oleh jutaan orang setiap hari. Dalam kondisi tertentu, BPA dapat larut ke dalam air, terutama jika galon sudah tua, tergores, terpapar panas berlebih, atau dibersihkan dengan cara yang tidak tepat. Paparan BPA telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan dalam berbagai penelitian, termasuk gangguan hormon, masalah reproduksi, peningkatan risiko penyakit jantung, dan potensi karsinogenik, yaitu kemampuannya untuk memicu pertumbuhan sel kanker.

Pendapat Pakar: BPA Bisa Pengaruhi Proses Kanker melalui Berbagai Mekanisme

Prof. Zubairi Djoerban, seorang pakar hematologi-onkologi terkemuka, telah mengungkapkan pandangannya tentang potensi risiko BPA dan kaitannya dengan kanker. Beliau menjelaskan bahwa sejumlah studi telah menunjukkan BPA bersifat karsinogenik, yang berarti BPA dapat berperan dalam proses pembentukan kanker melalui berbagai mekanisme biologis yang kompleks.

"BPA bisa memengaruhi mitosis (pembelahan sel), ekspresi gen, dan jalur biologis yang berperan dalam tumbuhnya kanker," jelas Prof. Zubairi kepada detikcom, Kamis (31/7/2025). Pernyataan ini menyoroti potensi BPA untuk mengganggu proses-proses seluler penting yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan sel, yang pada akhirnya dapat menyebabkan pembentukan tumor dan perkembangan kanker.

Menyoal Risiko Migrasi BPA pada Galon Isi Ulang dan Kaitannya dengan Kanker

Namun, Prof. Zubairi juga menekankan bahwa belum semua penelitian menunjukkan hasil yang konsisten mengenai hubungan antara BPA dan kanker. Artinya, keterkaitan antara BPA dan kanker masih perlu diteliti lebih lanjut secara lebih mendalam dan menyeluruh untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang risiko yang terkait dengan paparan BPA. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan yang ada dan untuk mengidentifikasi mekanisme pasti di mana BPA dapat berkontribusi pada perkembangan kanker.

Jenis Kanker yang Berpotensi Berkaitan dengan BPA: Fokus pada Kanker Hormonal

BPA termasuk dalam kategori endocrine disruptor, yaitu zat yang dapat mengganggu sistem hormon dalam tubuh. Sistem endokrin memainkan peran penting dalam mengatur berbagai fungsi tubuh, termasuk pertumbuhan, perkembangan, metabolisme, dan reproduksi. Karena BPA dapat mengganggu sistem hormon, ia berpotensi memengaruhi kerja reseptor hormon seperti estrogen, progesteron, dan HER-2, yang berperan penting dalam pertumbuhan beberapa jenis kanker.

Contoh yang sering dikaji adalah kanker payudara, jenis kanker dengan prevalensi tertinggi di dunia, termasuk di Indonesia. Kanker payudara seringkali memiliki karakteristik hormonal yang dapat dipengaruhi oleh BPA, seperti reseptor estrogen positif (ER+), progesteron positif (PR+), dan HER-2. Paparan BPA dapat memicu atau mempercepat pertumbuhan sel kanker payudara yang sensitif terhadap hormon, sehingga meningkatkan risiko perkembangan penyakit ini.

Menurut Prof. Zubairi, riset juga menunjukkan BPA dapat berdampak pada hampir semua tahap karsinogenesis, proses perubahan sel sehat menjadi sel kanker. Ini termasuk fase mitosis, aktivasi jalur molekuler, hingga ekspresi gen abnormal. BPA dapat memengaruhi berbagai aspek perkembangan kanker, mulai dari inisiasi hingga metastasis, yang menunjukkan potensi bahayanya bagi kesehatan manusia.

"Tapi ada juga penelitian lain yang tidak menemukan hubungan itu," tegasnya, menekankan bahwa konsistensi bukti ilmiah masih belum kuat. Pernyataan ini menyoroti pentingnya untuk menafsirkan temuan penelitian dengan hati-hati dan untuk mempertimbangkan semua bukti yang tersedia sebelum menarik kesimpulan tentang risiko BPA.

Regulasi BPA di Berbagai Negara: Pendekatan yang Beragam dan Berkembang

Sejak 1960-an, BPA digunakan luas di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, dalam produk seperti botol susu bayi, galon air, hingga struk belanja. Penggunaan BPA yang meluas telah menyebabkan kekhawatiran tentang potensi paparan manusia terhadap zat kimia ini dan dampaknya terhadap kesehatan.

Namun, regulasi terhadap BPA relatif berbeda di setiap negara, mencerminkan perbedaan dalam penilaian risiko dan prioritas kebijakan. Beberapa negara telah mengambil langkah-langkah yang lebih ketat untuk membatasi atau melarang penggunaan BPA dalam produk-produk tertentu, sementara negara lain memiliki regulasi yang lebih longgar atau tidak ada regulasi sama sekali.

Amerika Serikat dan Inggris melarang BPA dalam produk bayi dan anak karena sistem tubuh mereka lebih rentan terhadap efek berbahaya dari zat kimia ini. Anak-anak kecil lebih rentan terhadap efek BPA karena sistem hormon mereka masih berkembang dan mereka lebih mungkin terpapar BPA melalui makanan dan minuman yang dikonsumsi dari wadah plastik.

Sementara, Jepang menerapkan pembatasan lebih luas terhadap penggunaan BPA di semua usia, mencerminkan pendekatan yang lebih konservatif terhadap manajemen risiko. Jepang telah mengambil langkah-langkah untuk mengurangi paparan BPA dari berbagai sumber, termasuk wadah makanan, minuman, dan kertas termal.

Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan menetapkan batas maksimal migrasi BPA dari kemasan 0,6 bpj (600 mikrogram/kg). Batas migrasi ini bertujuan untuk meminimalkan jumlah BPA yang dapat larut ke dalam makanan dan minuman dari kemasan plastik. Selain itu, ada juga Peraturan BPOM No. 6/2024 yang mewajibkan pelabelan BPA pada kemasan galon berbahan polikarbonat. Pelabelan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada konsumen tentang keberadaan BPA dalam kemasan dan untuk memungkinkan mereka membuat pilihan yang lebih tepat tentang produk yang mereka beli.

Regulasi di berbagai negara masih terus berkembang seiring dengan munculnya bukti ilmiah baru tentang potensi risiko BPA. Pengawasan dan literasi publik menjadi penting untuk melindungi konsumen dari paparan BPA dan untuk memastikan bahwa mereka memiliki informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat tentang kesehatan mereka.

Secara teori, penggunaan galon guna ulang, terutama yang sudah digunakan dalam jangka panjang, bisa meningkatkan risiko migrasi BPA ke dalam air, terlebih bila galon tidak dalam kondisi baik. Galon yang sudah tua, tergores, atau terpapar panas berlebih lebih mungkin melepaskan BPA ke dalam air.

Meski begitu, hingga kini belum ada bukti ilmiah pasti yang mengaitkan langsung konsumsi air dari galon BPA dengan kejadian kanker. Kurangnya bukti yang meyakinkan membuat sulit untuk membuat kesimpulan definitif tentang risiko kesehatan yang terkait dengan paparan BPA dari galon isi ulang.

Karena itu, Prof. Zubairi menyarankan masyarakat untuk bersikap preventif dan berhati-hati, seraya mengikuti perkembangan riset ilmiah. Sikap preventif melibatkan mengambil langkah-langkah untuk mengurangi paparan BPA, seperti memilih wadah makanan dan minuman yang bebas BPA, menghindari memanaskan makanan dalam wadah plastik, dan memilih galon isi ulang yang terbuat dari bahan yang lebih aman.

"Dulu kita pakai ivermectin atau oseltamivir buat COVID-19, tapi kemudian ditemukan malah berbahaya. Bukti ilmiah bisa berubah," ujarnya, mengingatkan bahwa sikap waspada penting meski risiko belum terlihat secara langsung. Contoh ini menyoroti pentingnya untuk tetap terbuka terhadap informasi baru dan untuk menyesuaikan tindakan kita berdasarkan bukti ilmiah yang berkembang.

Prof. Zubairi mengingatkan agar masyarakat tidak panik berlebihan. BPA yang masuk ke tubuh lewat makanan atau minuman umumnya bisa dikeluarkan oleh liver jika fungsi organ baik dan gaya hidup sehat dijaga. Hati memainkan peran penting dalam mendetoksifikasi tubuh dari berbagai zat berbahaya, termasuk BPA.

"Semua ahli sepakat, hindari produk mengandung BPA untuk bayi dan anak. Untuk orang dewasa, belum ada bukti kuat dan konsisten soal risiko kesehatannya," sambungnya. Rekomendasi ini mencerminkan konsensus di antara para ahli bahwa anak-anak kecil lebih rentan terhadap efek BPA dan bahwa tindakan pencegahan harus diambil untuk melindungi mereka dari paparan. Sementara itu, risiko bagi orang dewasa masih belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

Kesimpulannya, meskipun ada kekhawatiran tentang potensi risiko BPA dan kaitannya dengan kanker, bukti ilmiah saat ini masih belum meyakinkan. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami sepenuhnya dampak BPA terhadap kesehatan manusia dan untuk menentukan tingkat paparan yang aman. Sementara itu, disarankan untuk mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi paparan BPA dan untuk mengikuti perkembangan riset ilmiah.

💬 Tinggalkan Komentar dengan Facebook

Related Post :