Infertilitas, yang telah diakui oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak tahun 2009 sebagai penyakit yang memerlukan penanganan medis serius, masih menjadi tantangan besar bagi banyak pasangan yang mendambakan kehadiran buah hati. Kondisi ini, yang bisa disebabkan oleh faktor pada pihak pria, wanita, atau keduanya, seringkali dibalut stigma dan kesalahpahaman yang mendalam. Morula IVF Indonesia, sebagai pionir dalam layanan fertilitas di Indonesia, terus berupaya untuk mendobrak stigma ini dan memberikan solusi inovatif bagi para pejuang dua garis.
Dalam perayaan "Ultimate Grande Anniversary Morula IVF 27th: Bringing Dreams to Life" yang meriah, yang berlangsung pada 26-27 Juli 2025, Presiden Komisaris PT Bundamedik Tbk (BMHS) sekaligus Presiden Direktur PT Morula Indonesia, Dr. dr. Ivan R. Sini, GDRM, MMIS, FRANZCOG, Sp.OG, menyampaikan kebanggaannya atas pencapaian Morula IVF yang telah berkiprah selama 27 tahun. Ia menekankan bahwa usia ini merupakan bukti komitmen Morula dalam menyediakan layanan program bayi tabung dengan teknologi canggih.
"Kita tidak perlu malu dan takut lagi bahwa infertilitas itu adalah sesuatu yang harus diobati," tegas dr. Ivan. "Solusi yang ada di dunia pun sudah sangat berkembang sehingga kita bisa mampu memberikan opsi yang terbaik." Pernyataan ini mencerminkan semangat Morula IVF untuk terus berinovasi dan memberikan harapan baru bagi pasangan yang berjuang melawan infertilitas.
Acara tersebut juga dihadiri oleh Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, Meutya Hafid, yang berbagi pengalaman pribadinya dalam menghadapi tantangan infertilitas. Meutya menekankan bahwa infertilitas bukanlah hanya persoalan perempuan, melainkan tanggung jawab bersama laki-laki dan perempuan yang harus dihadapi secara setara.
Perjalanan Meutya bersama sang suami, Noer Fajrieansyah, untuk mendapatkan buah hati mereka, Lyora Shaqueena Ansyah, adalah kisah inspiratif tentang ketekunan dan harapan. Meutya memulai program bayi tabung di usia 37 tahun dan menjalani 10 kali prosedur IVF, serta mengalami 2 kali keguguran. Meskipun menghadapi berbagai rintangan, Meutya dan Fajri tidak menyerah dan merasa sangat terbantu dengan dukungan dari Morula IVF Indonesia, khususnya dari dr. Ivan, dalam pendampingan menyeluruh.
Salah satu teknologi yang sangat membantu Meutya dan Fajri adalah Preimplantation Genetic Testing for Aneuploidies (PGT-A). PGT-A adalah pemeriksaan genetik yang bertujuan untuk mendeteksi kelainan kromosom pada embrio sebelum dilakukan proses transfer embrio. Di Morula IVF, PGT-A berperan penting dalam membantu pemilihan embrio yang paling layak, sehingga dapat mempercepat tercapainya kehamilan dan mengoptimalkan peluang kelahiran hidup (live birth) bagi para pejuang dua garis.
Bersama dr. Ivan, Meutya dan Fajri menjalani prosedur demi prosedur dengan penuh harapan. Pendekatan holistis yang diberikan Morula IVF Indonesia, yang menggabungkan aspek medis, mental, dan emosional, menjadi fondasi kekuatan mereka. Bagi Meutya, dukungan ini sangat krusial mengingat tingginya tanggung jawab publik yang diembannya selama masa kehamilan. Pendekatan secara personal dan humanis ini menjadi ciri khas Morula IVF Indonesia dalam setiap layanan yang diberikan.
Selama hampir tiga dekade, PT Morula Indonesia (Morula IVF Indonesia), bagian dari ekosistem Bundamedik Healthcare System (BMHS), telah memantapkan diri sebagai pionir layanan fertilitas unggulan di Indonesia. Mengusung standar internasional dengan sertifikasi RTAC (Reproductive Technology Accreditation Committee) dari badan akreditasi IVF dari Australia dan New Zealand, Morula IVF menghadirkan teknologi berbasis evidence-based medicine, didukung oleh tenaga medis dan paramedis berpengalaman. Dengan dukungan jaringan klinik terluas di Tanah Air, Morula IVF Indonesia tidak hanya penyedia layanan medis, tetapi juga mitra tepercaya bagi pasangan yang tengah berjuang membangun keluarga impian.
Perjuangan pasangan Meutya dan Fajri turut membawa pesan sosial yang lebih luas. Kisah mereka menjadi refleksi penting bahwa pemahaman masyarakat terhadap infertilitas harus diubah. Meutya menegaskan pentingnya edukasi publik agar stigma terhadap perempuan infertil tidak lagi terjadi. "Ini tidak hanya tentang menjadi ibu, tetapi juga tentang perjuangan pasangan yang berhak mendapatkan dukungan dari sekitar mereka," ungkap Meutya.
Senada dengan Meutya, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, yang juga turut hadir dalam acara tersebut, menyampaikan pentingnya menghapus stigma penyakit melalui empati dan edukasi. "Seperti halnya kusta dan TBC, infertilitas juga harus dilawan stigma negatifnya," ujar Budi. "Penyakit harus diobati dan mereka yang mengalaminya harus diberi dukungan dengan mengedepankan empati." Hal ini sejalan dengan upaya Morula IVF Indonesia dalam menciptakan ruang aman dan mendukung bagi para pejuang dua garis.
Dalam rangka menyambut bulan kemerdekaan Indonesia, Morula IVF Indonesia menghadirkan kabar gembira bagi pasangan yang ingin mewujudkan impian memiliki buah hati melalui program Moru-deka! Program ini menghadirkan Life Time PGT-A (Preimplantation Genetic Testing for Aneuploidy), sebuah komitmen pemeriksaan berbasis PGT-A untuk satu embrio sampai berhasil melahirkan (syarat dan ketentuan berlaku). Program ini berlaku hingga 31 Agustus 2025 dan dapat diakses di seluruh jaringan klinik Morula IVF.
Program Life-Time PGT-A ini merupakan terobosan baru, karena Morula memberikan komitmen untuk program garansi PGT-A kepada pasien, yang diklaim belum pernah dilakukan oleh satupun center fertilitas di Indonesia. Melalui inovasi ini, Morula IVF Indonesia kembali menegaskan komitmennya dalam membawa harapan menjadi nyata bagi keluarga Indonesia.
Mengapa Stigma Infertilitas Harus Dilawan?
Stigma infertilitas dapat memiliki dampak yang merusak bagi individu dan pasangan yang mengalaminya. Beberapa dampak negatif dari stigma ini meliputi:
- Isolasi sosial: Pasangan yang mengalami infertilitas seringkali merasa malu dan terisolasi dari teman, keluarga, dan komunitas mereka. Mereka mungkin merasa tidak nyaman untuk membicarakan masalah mereka atau mencari dukungan karena takut dihakimi atau disalahkan.
- Depresi dan kecemasan: Infertilitas dapat menyebabkan stres, depresi, dan kecemasan yang signifikan. Stigma infertilitas dapat memperburuk perasaan ini dan membuat pasangan merasa lebih sulit untuk mengatasi tantangan yang mereka hadapi.
- Keretakan hubungan: Infertilitas dapat memberikan tekanan yang besar pada hubungan pasangan. Stigma infertilitas dapat membuat pasangan merasa saling menyalahkan atau tidak didukung, yang dapat menyebabkan konflik dan bahkan perceraian.
- Penundaan pengobatan: Stigma infertilitas dapat membuat pasangan menunda mencari pengobatan karena malu atau takut dihakimi. Penundaan ini dapat mengurangi peluang mereka untuk hamil dan memperpanjang penderitaan mereka.
Bagaimana Cara Melawan Stigma Infertilitas?
Melawan stigma infertilitas membutuhkan upaya bersama dari individu, keluarga, komunitas, dan penyedia layanan kesehatan. Beberapa cara untuk melawan stigma ini meliputi:
- Edukasi publik: Meningkatkan kesadaran tentang infertilitas dan menghilangkan mitos dan kesalahpahaman yang terkait dengannya. Edukasi dapat dilakukan melalui kampanye media, seminar, lokakarya, dan sumber daya online.
- Berbagi cerita: Mendorong individu dan pasangan yang mengalami infertilitas untuk berbagi cerita mereka secara terbuka dan jujur. Berbagi cerita dapat membantu menghilangkan rasa malu dan isolasi, serta memberikan inspirasi dan harapan bagi orang lain.
- Memberikan dukungan: Menawarkan dukungan emosional dan praktis kepada individu dan pasangan yang mengalami infertilitas. Dukungan dapat diberikan oleh teman, keluarga, kelompok dukungan, atau profesional kesehatan mental.
- Menggunakan bahasa yang inklusif: Menghindari penggunaan bahasa yang menyalahkan atau menghakimi individu atau pasangan yang mengalami infertilitas. Gunakan bahasa yang netral dan suportif yang mengakui kompleksitas dan sensitivitas masalah ini.
- Mendukung penelitian dan inovasi: Berinvestasi dalam penelitian dan inovasi di bidang fertilitas untuk mengembangkan metode diagnosis dan pengobatan yang lebih efektif dan terjangkau.
- Menyediakan akses ke layanan kesehatan: Memastikan bahwa semua individu dan pasangan memiliki akses yang sama ke layanan kesehatan fertilitas yang berkualitas, tanpa memandang status sosial ekonomi, ras, atau orientasi seksual mereka.
Morula IVF Indonesia, melalui program Lifetime PGT-A dan upaya edukasi serta advokasi yang berkelanjutan, berkomitmen untuk terus menjadi garda terdepan dalam melawan stigma infertilitas dan memberikan harapan bagi pasangan yang mendambakan kehadiran buah hati. Dengan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan stigma infertilitas dapat dihilangkan, sehingga para pejuang dua garis dapat menjalani perjalanan mereka dengan lebih percaya diri, optimis, dan penuh harapan.
Dengan terus berinovasi dan memberikan layanan yang berkualitas, Morula IVF Indonesia berharap dapat mewujudkan impian banyak keluarga Indonesia untuk memiliki buah hati dan membangun keluarga yang bahagia. Program Lifetime PGT-A adalah bukti nyata komitmen Morula dalam memberikan solusi terbaik bagi para pejuang dua garis, serta dalam melawan stigma infertilitas yang masih melekat di masyarakat. Morula IVF Indonesia mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang suportif dan inklusif bagi para pasangan yang berjuang melawan infertilitas.