Seorang pria di Korea Selatan mengalami mimpi buruk yang tak terbayangkan setelah menjalani operasi pembesaran penis. Alih-alih mendapatkan ukuran yang lebih besar dan meningkatkan kepercayaan diri, ia justru kehilangan fungsi seksual, kemampuan buang air kecil normal, dan menderita tekanan psikologis yang mendalam. Kisah tragis ini menjadi peringatan bagi siapa pun yang mempertimbangkan prosedur kosmetik invasif, menyoroti pentingnya riset yang cermat, ekspektasi yang realistis, dan kepercayaan penuh pada profesional medis yang kompeten.
Pria berusia 35 tahun tersebut menjalani operasi pembesaran penis di distrik Gangnam, Seoul, pada tahun 2020. Gangnam, yang terkenal sebagai pusat operasi plastik dan prosedur kosmetik di Korea Selatan, sering kali menarik pasien dari seluruh dunia yang mencari berbagai macam perbaikan estetika. Namun, dalam kasus ini, daya tarik Gangnam berubah menjadi pengalaman yang menghancurkan.
Selama prosedur yang seharusnya meningkatkan ukuran penisnya, ahli bedah melakukan serangkaian kesalahan fatal. Dokter tersebut, yang identitasnya belum diungkapkan kepada publik, secara tidak sengaja memotong seluruh korpus kavernosum pasien. Korpus kavernosum adalah dua kolom jaringan erektil yang terletak di sepanjang bagian atas penis. Jaringan ini sangat penting untuk mencapai dan mempertahankan ereksi. Pemotongan korpus kavernosum secara efektif menghilangkan kemampuan pria tersebut untuk mencapai ereksi secara alami.
Namun, kesalahan mengerikan tidak berhenti di situ. Ahli bedah juga memotong korpus spongiosum, jaringan yang mengelilingi uretra, saluran yang membawa urin dan sperma keluar dari tubuh. Pemotongan korpus spongiosum dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk kesulitan buang air kecil, nyeri, dan peningkatan risiko infeksi. Akibat kombinasi kesalahan ini, penis pria tersebut terpotong secara horizontal, menyebabkan kerusakan fisik dan emosional yang tak terbayangkan.
Setelah operasi yang gagal, pria tersebut mengajukan tuntutan hukum terhadap ahli bedah yang bertanggung jawab atas bencana tersebut. Dia mencari kompensasi atas hilangnya fungsi seksual, kesulitan buang air kecil, tekanan psikologis, dan biaya pengobatan. Pengadilan awalnya memutuskan untuk mendukung pria tersebut pada Januari 2024, memerintahkan dokter untuk membayar ganti rugi sekitar 28 juta rupiah. Namun, dokter tersebut mengajukan banding atas keputusan tersebut, berusaha untuk mengurangi tanggung jawabnya atas kesalahan yang telah dia lakukan.
Awal bulan ini, pengadilan kembali memutuskan untuk mendukung pria tersebut, memerintahkan dokter untuk membayar tambahan 66 juta rupiah sebagai kompensasi atas kelalaian medis. Keputusan pengadilan mengirimkan pesan yang jelas bahwa profesional medis bertanggung jawab atas tindakan mereka dan bahwa pasien memiliki hak untuk mencari ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh kelalaian medis.
Selama persidangan, terungkap bahwa dokter tersebut dituduh gagal memberi tahu pasien tentang risiko yang terkait dengan prosedur pembesaran penis. Dokter tersebut membantah tuduhan tersebut, tetapi pengadilan menemukan bahwa pasien tidak sepenuhnya menyadari potensi komplikasi sebelum menyetujui operasi tersebut. Pengadilan juga mencatat bahwa prosedur pembesaran penis berisiko lebih tinggi bagi pasien ini karena ia sudah memiliki implan penis yang telah menyatu dengan jaringan penisnya.
Pengadilan berpendapat bahwa jika pasien diberi tahu dengan benar tentang risiko yang terkait dengan operasi tersebut, ada kemungkinan dia akan menolak prosedur tersebut sama sekali. Kegagalan dokter untuk memberikan informed consent yang memadai merupakan pelanggaran terhadap kewajiban etis dan hukumnya kepada pasien.
Selain itu, pengadilan mendengar bahwa cedera yang diderita pria tersebut sebenarnya dapat dihindari jika dokter tersebut telah mengambil tindakan pencegahan yang tepat. Pengadilan menyatakan bahwa dalam kasus perlengketan serius, pembedahan seharusnya dihentikan sebelum menyebabkan cedera. Pengadilan juga menyarankan agar penjahitan harus dipertimbangkan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
Pengadilan menyimpulkan bahwa upaya pembedahan meskipun anatomi penis kurang terlihat menyebabkan cedera yang tidak perlu. Tindakan dokter tersebut menunjukkan kurangnya kehati-hatian dan perhatian terhadap keselamatan pasien.
Kasus tragis ini menyoroti pentingnya informed consent dalam prosedur medis apa pun. Pasien memiliki hak untuk mengetahui risiko, manfaat, dan alternatif yang terkait dengan perawatan yang diusulkan. Profesional medis memiliki kewajiban untuk memberikan informasi ini secara jelas dan ringkas, memungkinkan pasien untuk membuat keputusan yang tepat tentang kesehatan mereka.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya memilih profesional medis yang kompeten dan berpengalaman. Pasien harus melakukan riset mereka, memeriksa kredensial dokter, dan membaca ulasan dari pasien lain sebelum mempercayakan kesehatan mereka kepada siapa pun. Penting untuk diingat bahwa tidak semua dokter sama, dan beberapa mungkin lebih memenuhi syarat daripada yang lain untuk melakukan prosedur tertentu.
Selain itu, kasus ini menjadi peringatan tentang bahaya mengejar standar kecantikan yang tidak realistis. Banyak pria merasa tertekan untuk meningkatkan ukuran penis mereka karena kekhawatiran tentang kinerja seksual dan citra tubuh. Namun, penting untuk diingat bahwa ukuran bukanlah segalanya dan bahwa ada banyak cara untuk meningkatkan kepuasan seksual tanpa harus menjalani operasi yang berisiko.
Menurut peringkat global ukuran penis oleh World Population Review, orang Korea Selatan memiliki salah satu penis terkecil di dunia, dengan ukuran sekitar 9,3 cm saat ereksi. Terlepas dari statistik ini, penting untuk dicatat bahwa ukuran penis sangat bervariasi di antara individu dan bahwa tidak ada ukuran "normal" yang pasti.
Penelitian telah menunjukkan bahwa hanya sepertiga pria yang puas dengan ukuran penis mereka. Ketidakpuasan ini dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan masalah citra tubuh. Sangat penting bagi pria untuk mengembangkan citra tubuh yang positif dan untuk fokus pada kualitas lain yang membuat mereka diinginkan, seperti kepribadian, kecerdasan, dan selera humor.
Sebuah studi YouGov tahun 2015 menemukan bahwa pria muda Inggris lebih mungkin menginginkan penis yang lebih besar dibandingkan pria Jerman atau Amerika. Hampir separuh (sekitar 42 persen) pria di Inggris mengatakan mereka menginginkan penis yang lebih besar, dibandingkan dengan 30 persen di Jerman dan 23 persen di AS. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan budaya dalam standar kecantikan dan citra tubuh.
Kisah pria Korea Selatan yang kehilangan alat kelaminnya saat operasi pembesaran penis adalah pengingat yang menyedihkan tentang risiko yang terkait dengan prosedur kosmetik yang tidak perlu. Penting untuk melakukan riset Anda, memilih dokter yang kompeten, dan memiliki ekspektasi yang realistis sebelum menjalani prosedur medis apa pun. Dan yang paling penting, ingatlah bahwa nilai diri Anda tidak ditentukan oleh ukuran penis Anda.