Bisphenol A (BPA) adalah bahan kimia industri yang pertama kali disintesis pada tahun 1891 dan mulai digunakan secara luas pada tahun 1950-an. Senyawa ini menjadi komponen kunci dalam pembuatan plastik polikarbonat dan resin epoksi. Plastik polikarbonat banyak dimanfaatkan untuk membuat wadah makanan dan minuman, termasuk galon air, botol air isi ulang, dan berbagai produk konsumsi sehari-hari. Sementara itu, resin epoksi seringkali digunakan sebagai lapisan pelindung di bagian dalam produk logam, seperti kaleng makanan, tutup botol, dan bahkan saluran air. Beberapa jenis sealant gigi dan bahan komposit juga diketahui mengandung BPA.
Kekhawatiran mengenai paparan BPA muncul karena berbagai penelitian menunjukkan bahwa BPA dapat berpindah dari wadah yang mengandungnya ke dalam makanan atau minuman. Hal ini menimbulkan potensi risiko kesehatan, terutama bagi anak-anak yang sistem tubuhnya masih berkembang. Paparan BPA pada anak-anak menjadi perhatian khusus karena beberapa faktor. Pertama, ukuran tubuh anak yang lebih kecil dibandingkan orang dewasa membuat dosis BPA yang sama memiliki dampak yang lebih signifikan. Kedua, organ dan sistem tubuh anak masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, sehingga lebih rentan terhadap gangguan dari bahan kimia seperti BPA. Ketiga, aktivitas sehari-hari anak-anak seringkali melibatkan kontak dekat dengan produk plastik, seperti botol susu, botol minum, wadah makanan, dan mainan, yang berpotensi mengandung BPA.
Spesialis anak, dr. Nunki Andria Samudra, SpA, menjelaskan bahwa anak-anak lebih rentan terhadap efek BPA karena proporsi paparan BPA terhadap berat badan mereka lebih tinggi dibandingkan orang dewasa. Ia mencontohkan, jika dibandingkan antara jumlah makanan dan minuman yang dikonsumsi anak-anak dengan berat badan mereka, anak-anak cenderung mengonsumsi lebih banyak makanan dan minuman per kilogram berat badan dibandingkan orang dewasa. Hal ini meningkatkan risiko paparan BPA pada anak-anak.
Lebih lanjut, dr. Nunki menambahkan bahwa penggunaan wadah plastik untuk makanan panas atau melalui proses sterilisasi dapat meningkatkan migrasi BPA ke dalam makanan atau minuman. Proses pemanasan dapat mempercepat pelepasan BPA dari plastik, sehingga meningkatkan jumlah BPA yang tertelan oleh anak-anak.
Temuan ini diperkuat oleh studi yang dipublikasikan dalam Journal Scientific Reports. Studi tersebut menyoroti bahwa masa kanak-kanak adalah periode perkembangan kritis di mana anak-anak lebih sensitif terhadap stresor lingkungan, termasuk BPA dan bahan kimia pengganggu endokrin (endocrine-disrupting chemicals atau EDC) lainnya. Perbedaan fisiologis, perilaku, dan pola makan antara anak-anak dan orang dewasa dapat menyebabkan paparan BPA yang lebih tinggi pada masa kanak-kanak. Oleh karena itu, dampak negatif paparan BPA selama masa janin dan anak usia dini menjadi perhatian yang lebih besar.
Dampak BPA pada Tumbuh Kembang Anak
Paparan BPA secara terus-menerus dapat mengganggu tumbuh kembang anak karena BPA berperan sebagai pengganggu endokrin. Senyawa ini meniru hormon tubuh, terutama hormon estrogen, sehingga mengganggu fungsi hormonal alami. dr. Nunki menjelaskan bahwa BPA dapat meniru hormon estrogen dalam tubuh dan mengganggu keseimbangan hormonal yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.
Studi yang diterbitkan dalam Journal of Chemical Health Risks mendukung pernyataan ini. Studi tersebut menyatakan bahwa BPA telah lama dikenal memiliki efek sebagai pengganggu endokrin dengan sifat anti-tiroid, anti-androgenik, estrogenik, dan anti-estrogenik. Paparan BPA telah dikaitkan dengan berbagai dampak buruk pada kesehatan anak, termasuk penyakit kardiovaskular, resistensi insulin, obesitas, gangguan neurobehavioral, dan gangguan reproduksi. Sebagai pengganggu endokrin, BPA dapat mengacaukan fungsi fisiologis penting seperti respons imun, fungsi tiroid, kesehatan metabolik, pertumbuhan janin, dan perkembangan saraf. Studi tersebut juga mencatat bahwa paparan BPA dikaitkan dengan berat badan lahir rendah, obesitas, gangguan perilaku dan kognitif, serta asma, yang semuanya mengindikasikan potensi masalah kesehatan jangka panjang.
Dampak BPA pada Kognitif Anak
Selain mengganggu tumbuh kembang fisik, paparan BPA sejak usia dini juga dapat memengaruhi perkembangan otak anak. Dampak ini dapat bermanifestasi dalam bentuk perilaku cemas, hiperaktivitas, dan gangguan konsentrasi saat belajar. dr. Nunki menjelaskan bahwa masa pertumbuhan dan perkembangan otak yang pesat pada anak-anak membuat mereka sangat rentan terhadap efek negatif BPA pada fungsi kognitif.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Exposure Science & Environmental Epidemiology meneliti hubungan antara paparan BPA dan perilaku anak. Studi ini menganalisis data dari 11 artikel yang memenuhi kriteria inklusi dan menemukan bahwa paparan prenatal terhadap konsentrasi BPA ibu berhubungan dengan peningkatan gejala kecemasan, depresi, agresi, dan hiperaktivitas pada anak. Paparan BPA pada masa kanak-kanak juga dikaitkan dengan meningkatnya gejala kecemasan, depresi, hiperaktivitas, kesulitan konsentrasi, dan masalah perilaku. Studi tersebut menyimpulkan bahwa bukti observasional yang terbatas menunjukkan adanya kaitan antara paparan BPA, baik sejak dalam kandungan maupun saat masa kanak-kanak, dengan dampak perilaku negatif pada anak. Namun, para peneliti menekankan perlunya penelitian prospektif berbasis kohort untuk memperjelas hubungan ini.
Langkah-Langkah Pencegahan: Memilih Wadah Makanan dan Minuman yang Aman
Meskipun efek samping BPA mungkin tidak selalu terlihat secara langsung, dampaknya dapat muncul bertahun-tahun kemudian. Oleh karena itu, dr. Nunki menekankan pentingnya kehati-hatian orang tua dalam memilih wadah makanan dan minuman untuk anak-anak, mulai dari botol susu hingga galon air minum. Air minum menjadi salah satu jalur paparan yang perlu diwaspadai karena dikonsumsi anak setiap saat.
"Air minum itu kan benar-benar dikonsumsi setiap saat. Anak-anak minum terus, mungkin tiap 2 jam, 3 jam minum. Karena sumber paparan BPA dari botol air minum dan galon itu sering tidak disadari orang tua. Jadi BPA-nya bisa larut ke air, terminum sama anak atau botol atau wadahnya diulang-ulang, pakainya sudah tergores dan akhirnya banyak yang dikonsumsi anak BPA-nya," jelasnya.
dr. Nunki menyarankan untuk memilih botol atau galon berlabel BPA-free dan menghindari botol plastik keras bening tanpa keterangan tersebut, karena umumnya terbuat dari polikarbonat dengan kode daur ulang 7 yang berisiko mengandung BPA. Sebagai alternatif, plastik dengan kode 1 (PET), 2 (HDPE), 4 (LDPE), dan 5 (PP) relatif lebih aman. Sebaliknya, sebaiknya hindari plastik dengan kode 3 (PVC), 6 (PS), dan 7.
Selain memperhatikan jenis plastik, orang tua juga dianjurkan untuk tidak menuang air panas ke dalam botol plastik, tidak merebusnya, dan tidak menyimpannya di tempat yang terpapar panas. Untuk penyimpanan minuman anak di kulkas, botol kaca bisa menjadi pilihan yang lebih aman.
dr. Nunki juga mengingatkan agar peralatan plastik anak, seperti botol minum atau piring, dicuci menggunakan spons lembut dan sabun cair ringan. Hindari menggosok terlalu keras karena dapat menimbulkan goresan yang justru membuat BPA lebih mudah bermigrasi ke makanan atau minuman. Goresan pada permukaan plastik dapat mempercepat pelepasan BPA.
"Karena paparan BPA yang aman sangat kecil, pendekatan terbaik adalah langsung memilih produk-produk yang benar-benar BPA-free. Mulai dari botol susu, wadah makanan anak, mainan plastik, hingga galon di rumah," tegas dr. Nunki.
Dengan memahami risiko paparan BPA dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang tepat, orang tua dapat melindungi kesehatan dan tumbuh kembang anak-anak mereka. Memilih wadah makanan dan minuman yang aman, menghindari pemanasan plastik, dan menggunakan botol kaca sebagai alternatif adalah beberapa cara efektif untuk mengurangi paparan BPA dan memastikan masa depan yang lebih sehat bagi generasi mendatang.